Minggu, 09 September 2012

5. UPAH DALAM ISLAM

5. UPAH DALAM ISLAM

A. Definisi upah dalam Islam

Upah disebut juga dengan ijarah dalam Islam. Ijaroh menurut ulama’ hanafiyah adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan sedangkan menurut ulama’ hanafiyah yaitu transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu,bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.[1] Upah adalah bentuk kompensasi atas jasa yang telah diberikan oleh tenaga kerja. Sedangkan mengupah adalah memberi ganti atas pengambilan manfaat tenaga dan orang lain menurut syarat-syarat tertentu. Untuk mengetahui definisi upah versi Islam secara menyeluruh, telah disebutkan dalam Surat At Taubah : 105 dan An Nahl : 97.
Q.S. At Taubah : 105,yang artinya :
“Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberikanNya kepada kamu apa yang telah kamukerjakan”
Q.S.An Nahl : 9, yang artinya :
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Quraish Shihab dalam bukunya yaitu Tafsir Al Misbah menjelaskan At Taubah:105 ini sbb: “bekerjalah kamu demi karena Allah semata dengan aneka amal yang shaleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”. Ganjaran yang dimaksud dala ayat ini adalah upah atau kompensasi. Demikian juga dengan An Nahl:97, maksud dari kata balasan dalam ayat tersebut adalah upah atau kompensasi. Jadi dalam Islam, jika seseorang mengerjakan pekerjaan dengan niat karena Allah (amal shaleh) maka ia akan mendapatkan balasan baik didunia (berupa upah) maupun diakhirat (berupa pahala), yang berlipat ganda. Dari dua ayat diatas dapat kita simpulkan bahwa upah dalam konsep Islam memiliki dua aspek, yaitu dunia dan akhirat.
Misal, untuk tata cara pembayaran upah, Rasulullah SAW bersabda: “Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah SAW bersabda: “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya” (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani). Sehingga dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas, dan dari hadits-hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa : Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).

B. Prnsip pembayaran upah dalam islam

Pengupahan atau pemberian upah adalah salah satu masalah yang tidak pernah selesai diperdebatkan oleh pihak top manajemen manapun, apapun bentuk organisasinya baik itu swasta maupun pemerintah. Paradigma saat ini, pemberian upah di negara kita disadari atau tidak lebih condong untuk berkiblat ke barat, dimana dalam studi kasusnya upah kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh seperti upah buruh lepas di areal perkebunan, dan upah pekerja buruh bangunan misalnya. Mereka biasanya dibayar mingguan atau bahkan harian. Itu untuk buruh, sedangkan gaji menurut pengertian keilmuan barat terkait dengan imbalan uang yang diterima oleh setiap karyawan atau pekerja tetap yang dibayarkan sebulan sekali. Sehingga dalam pandangan dan pengertian barat, Perbedaan gaji dan upah itu hanya terletak pada Jenis karyawannya yang berkategori karyawan tetap atau tidak tetap dengan sistem pembayarannya secara bulanan, harian atau per periode tertentu.
Dalam hal perbedaan pengertian upah dan gaji menurut konsep Barat seperti yang dijabarkan di atas, dalam Islam disebutkan secara lebih komprehensif tentang upah dan gaji. Allah menegaskan tentang imbalan dalam Qur’an sbb :
“Dan katakanlah : "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan." (At Taubah : 105).

Dalam surat At Taubah 105 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk bekerja, dan Allah pasti membalas semua apa yang telah kita kerjakan. Yang paling penting dalam ayat ini adalah penegasan Allah bahwasanya motivasi atau niat bekerja itu haruslah benar dan apabila motivasi bekerja tidak benar, maka Allah akan membalas dengan cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan balasan yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan.
Konsep keadilan dalam upah inilah yang sangat mendominasi dalam setiap praktek yang pernah terjadi di kekhalifahan Islam. Secara lebih rinci kalau kita lihat hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya)." (HR. Muslim).
Dari hadits ini dapat didefenisikan bahwa upah yang sifatnya materi (upah di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang. Perkataan : “harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri)", bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin makan dan pakaian karyawan yang menerima upah. Selain itu, Hadits ini menegaskan bahwa kebutuhan papan (tempat tinggal) merupakan kebutuhan yang bersifat hak bagi para karyawan. Bahkan menjadi tanggung jawab majikan juga untuk mencarikan jodoh bagi karyawannya yang masih lajang (sendiri). Hal ini ditegaskan pula oleh Doktor Abdul Wahab Abdul Aziz As-Syaisyani dalam kitabnya Huququl Insan Wa Hurriyyatul Asasiyah Fin Nidzomil Islami Wa Nudzumil Ma’siroti bahwa mencarikan istri juga merupakan kewajiban majikan, karena istri adalah kebutuhan pokok bagi para karyawan.
Sangat terlihat dengan jelas dari uraian diatas, sedikitnya terdapat dua perbedaan konsep Upah antara Barat dan Islam:
1. Islam memandang upah sangat besar kaitannya dengan konsep moral, sementara Barat hanya berlandaskan kebutuhan perusahaan saja.
2. Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan yang berdimensi pada akherat (pahala), sementara Barat tidak sama sekali.
Adapun hanya ada sedikit yang bisa disinergikan antara persamaan kedua konsep upah menurut kaca mata Barat dan Islam, yang pertama adalah, prinsip keadilan, dan kedua, prinsip kelayakan (kecukupan). Mari kita lihat kedua prinsip ini dari kaca mata Islam, yaitu :
2. Prinsip adil
Nabi bersabda :
“Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan". (HR. Baihaqi).
hadits riwayat Baihaqi di atas, dapat diketahui bahwa prinsip utama keadilan terletak pada kejelasan aqad (transaksi) dan komitmen atas dasar kerelaan melakukannya (dari yang ber-aqad). Aqad dalam perburuhan adalah aqad yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha. Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dahulu bagaimana upah yang akan diterima oleh pekerja. Upah tersebut meliputi besarnya upah dan tata cara pembayaran upah.
Khusus untuk cara pembayaran upah, Rasulullah bersabda :
“Dari Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya“. (HR.Ibnu Majah dan Imam Thabrani).
Dalam menjelaskan hadits itu, Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, menjelaskan sebagai berikut : Sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena umat Islam terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang benar atau sengaja menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu diperhitungkan atasnya (dipotong upahnya) karena setiap hak dibarengi dengan kewajiban. Selama ia mendapatkan upah secara penuh, maka kewajibannya juga harus dipenuhi. Sepatutnya hal ini dijelaskan secara detail dalam “peraturan kerja" yang menjelaskan masing-masing hak dan kewajiban kedua belah pihak. Bahkan Syeikh Qardhawi mengatakan bahwa bekerja yang baik merupakan kewajiban karyawan atas hak upah yang diperolehnya, demikian juga memberi upah merupakan kewajiban perusahaan atas hak hasil kerja karyawan yang diperolehnya. Dalam keadaan masa kini, maka aturan-aturan bekerja yang baik itu, biasanya dituangkan dalam buku Pedoman Kepegawaian yang ada di masing-masing perusahaan.
Hadits lain yang menjelaskan tentang pembayaran upah ini adalah :
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw. bahwa beliau bersabda: “Allah telah berfirman: “Ada tiga jenis manusia dimana Aku adalah musuh mereka nanti di hari kiamat. Pertama, adalah orang yang membuat komitmen akan memberi atas nama-Ku (bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya. Kedua, orang yang menjual seorang manusia bebas (bukan budak), lalu memakan uangnya. Ketiga, adalah orang yang menyewa seorang upahan dan mempekerjakan dengan penuh, tetapi tidak membayar upahnya" (HR. Bukhari).
Hadits diatas menegaskan tentang waktu pembayaran upah, agar sangat diperhatikan. Keterlambatan pembayaran upah, dikategorikan sebagai perbuatan zalim dan orang yang tidak membayar upah para pekerjanya termasuk orang yang dimusuhi oleh Nabi saw pada hari kiamat. Dalam hal ini, Islam sangat menghargai waktu dan sangat menghargai tenaga seorang karyawan (buruh).

3. Kelayakan (Kecukupan)
Jika Adil berbicara tentang kejelasan, transparansi serta proporsionalitas ditinjau dari berat pekerjaannya, maka Layak berhubungan dengan besaran yang diterima layak disini bermakna cukup dari segi pangan, sandang dan papan.
Dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya)." (HR. Muslim).
Dapat dijabarkan bahwa hubungan antara majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas hubungan pekerjaan formal, tetapi karyawan sudah dianggap merupakan keluarga majikan. Konsep menganggap karyawan sebagai keluarga majikan merupakan konsep Islam yang lebih dari 14 abad yang lalu telah dsabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. Konsep ini dipakai oleh pengusaha-pengusaha Arab pada masa lalu, dimana mereka (pengusaha muslim) seringkali memperhatikan kehidupan karyawannya di luar lingkungan kerjanya. Hal inilah yang sangat jarang dilakukan saat ini.
Wilson menulis dalam bukunya yang berjudul Islamic Business Theory and Practice yang kurang lebih maksudnya adalah “Walaupun perusahaan itu bukanlah perusahaan keluarga, para majikan Muslimin acapkali memperhatikan kehidupan karyawan di luar lingkungan kerjanya, hal ini sulit untuk dipahami oleh para pengusaha Barat".
konsep Islam jauh sangat berbeda dengan konsep upah menurut Barat. Upah menurut Islam sangat besar kaitannya dengan konsep Moral, Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat (pahala). Jadi mulai dari sekarang, marilah kita terapkan prinsip Islam kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar