Minggu, 09 September 2012

4.MUZARA’AH atau MUKHABARAH

4.MUZARA’AH atau MUKHABARAH

A. Pengertian

Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminology fiqh terdapat beberapa definisi al-muzara’ah yang dikemukakan ulama fiqh.
Ulama Malikiyah mendefinisikan dengan:
الشر كة فى الزرع
Perserikatan dalam pertanian.
Menurut ulama Hanabilah mendefinisikan dengan:
د فع الأرض إلى من يزر عها أو يعمل عليها واﻠﺯرع بينهما
Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua.
Kedua definisi ini dalam Indonesia disebut sebagai “paroan sawah” Penduduk Irak menyebutnya “al-Mukhabarah”, tetapi dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.
Imam asy-Syafi’iyah mendefinisikan al-mukhabarah dengan:
عمل الأرض ببعض ما يخرج منها واﻟﺒﻨ ر من العا مل
Pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah.
Dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedang dalam al-muzara’ah bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.

B. Hukum Akad al-muzara’ah

Dalam membahas hukum al-muzara’ah terjadi perbedaan pendapat para ulama. Imam Abu Hanifah ( 80-150 H/699-767 M ) dan Zufar ibn Huzail ( 728-774 M ), pakar fiqh Hanafi, berpendapat bahwa akad al-muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka, akad al-muzara’ah dengan bagi hasil, seperti seperempat dan setengah, hukumnya batal.
Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair ibn Huzail adalah sebuah hadis berikut:
أن رسو ل الله عليه وسلم نهى عن المهخا برة.
﴿رواه مسلم عن جا بر بن عبد الله﴾
Rasulallah saw yang melarang melakukan al-mukhabarah. ( HR Muslim dari Jabir ibn Abdillah ).
Al-Mukhabarah dalam sabda Rasulallah itu adalah al-muzara’ah, sekalipun dalam al-mukhabarah bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.
Dalam riwayat Sabit ibn adh-Dhahhak dikatakan:
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن المزرعة.
﴿رواه مسلم عن ثا بت بن الضحا ك﴾
Rasulallah melarang al-muzara’ah ( HR Muslim ).

C. Rukun al-Muzara’ah

Jumhur ulama, yang membolehkan akad al-muzara’ah, mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah. Rukun al-muzara’ah menurut mereka adalah:
a. Pemilik tanah.
b. Petani penggarap.
c. Obyek al-muzara’ah.
d. Ijab dan qabul.

D. Syarat-syarat al-Muzara’ah

Adapun syarat-syarat al-muzara’ah, menurut jumhur ulama, ada yang menyangkut orang yang berakad, benih yang akan ditanam, tanah yang dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad.
Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu—benih yang ditanam itu jelas dan akan menghasilkan. Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:
a. Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering, sehingga tidak dimungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian, maka akad al-muzara’ah tidak sah.
b. Batas-batas tanah itu jelas.
c. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad al-muzara’ah tidak sah.
Syarat-syarat yang menyangkut hasil panen adalah sebagai berikut:
a. Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihaki harus jelas.
b. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada pengkhususan.
c. Pembagian hasil panen itu ditentukan setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan dikemudian hari, dan penentuanya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kuintal untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh dibawah jumlah itu atau dapat juga jauh melampaui kumlah itu.

E. Akibat akad al-Muzara’ah

Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad al-muzara’ah, apabila akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya adalah sebagai berikut:
a. Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan pertanian itu.
b. Biaya pertanian seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik tanh sesuai dengan prosentase bagian masing-masing.
c. Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar