Minggu, 09 September 2012

10. Al BAI’ ( JUAL-BELI )

10. Al BAI’ ( JUAL-BELI )

A. Pengertian Jual-Beli

Jual-Beli (albaingu) artinya menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain).Kata al-baingu dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata: as-siraau (beli). Dengan demikian kata : al-baingu berarti kata “jual” dan sekaligus juga berarti kata “beli”.
Sedangkan secera istilah jual-beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan Syara’ dan disepakati. Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun,dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual-beli sehingga bila syarat –syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak Syara’.
Benda dapat mencakup pengertian barang dengan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai, yakni benda-benda yang berharga dan dapat dibenarkan penggunanya menurut Syara’. Benda itu adakalanya tetap (tidak dapat dipindahkan), ada yang dapat dibagi-bagi, ada kalanya tidak dapat dibagi-bagi, ada harta yang ada perumpamaannya (mitsli) dan tak ada yang menyerupainya (qimi) dan yang lain-lainnya. penggunaan harta tersebut diperbolehkan sepanjang tidak dilarang Syara’.Benda-benda seperti alkohol, babi, dan barang terlarang lainnya haram diperjual belikan sehingga jual-beli tersebut dipandang batal dan jika dijadikan harga penukar, maka jual-beli tersebut dianggap fasid.
Jual-beli menurut Ulama Malikiyah ada dua macam, yaitu jual-beli yang bersifat umum dan jual-beli yang bersifat khusus.
Jual-beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad yang mengikat dua belah pihak. Tukar menukar yaitu salah satu pihak menyerahkan ganti penukaran atas sesuatu yang ditukarkan oleh pihak lain. Dan sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda yang ditukarkan adalah zat (berbentuk), ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi bukan mafaatnya atau bukan hasilnya.

Jual-beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan mas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisir dan ada seketika(tidak ditamgguhkan), tidak merupakan utang baik barang itu ada dihadapan si pembeli maupun tidak barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.

B. Hukum Jual Beli
Para Ulama fiqih mengambil suatu kesimpulan, bahwa jual beli itu hukumnya mubah (boleh). Namun menurur Imam asy-Syatibi(ahli fiqih Mazhab Imam Maliki, hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam situasi tertentu. Sebagai contoh Bila suatu waktu terjadi ihtiar, yaitu penimbunan barang, sehingga persediaan(stok) hilang dari pasar dan harga menjolak naik. Apabila terjadi praktek semacam itu, maka pemerintah boleh memaksa para pedagang menjual barang-barang sesuai dengan harga pasar sebelum terjadi pelonjakan harga barang itu. Para pedagang wajib memenuhi ketentuan pemerintah didalam menentukan harga dipasaran.

C. Rukun dan Syarat Jual-Beli
Agar perjanjian/akad jual-beli yang dibuat oleh para pihak mempunyai daya ikat, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat dan rukunnya.
Menurut Jumhur Ulama rukun jual- beli itu ada empat :
1. Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
2. Sighat (lafal ijab dan Kabul)
3. Ada barang yang dibeli
4. Ada nilai tukar pengganti barang
Menurut Jumhur Ulama, bahwa syarat jual-beli sesuai dengan rukun jual-beli yang disebutkan di atas adalah sebagai berikut.
a. Syarat orang yang berakad
Ulama fiqih sepakat, bahwa orang yang melakukan akad jual-beli harus memenuhi syarat.
 Berakal. Bahwa yang melakukan akad jual-beli itu, harus telah akil baligh dan berakal. Apabila orang yang berakal itu masih mumayyiz, maka akad jual-beli itu tidak sah, sekalipun mendapat izin dari walinya.
 Orang yang melakukan akad itu, adalah orang yang berbeda. Maksudnya, seseorang tidak dapat bertindak sebagai pembeli dan penjual dalam waktu yang bersamaan.

b. Syarat yang terkait dengan ijab dan Kabul
Apabila ijab dan Kabul telah diucapkan dalam akad jual-beli, maka pemilikan barang dan uang telah berpindah tangan.
Adapun syarat ijab dan Kabul itu adalah sebagai berikut:
 Orang yang mengucapkannya telah akil baligh dan berakal (Jumhur Ulama ) atau telah berakal (Ulama Mazhab Hanafi), sesuai dengan perbedaan mereka menentukan syarat-syarat sepaerti telah dikemukakan di atas.
 Kabul sesuai dengan ijab.
 Ijab dan Kabul dilakukan dalam satu majlis.

c. Syarat yang diperjualbelikan
 Barang itu ada, atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk menggandakan barang itu, pada saat diperlukan barang itu sudah ada dan dapat dihadirkan pada tempat yang telah disepakati bersama.
 Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
 Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang, tidak boleh diperjualbelikan, seperti memperjual-belikan iakan dilaut, emas dalam tanah, karena ikan dan emas itu belum dimiliki penjual.
 Dapat diserahkan pada saat akad berlangsung, atua pada waktu yang telah disepakati bersama ketika akad berlangsung.

d. Syarat nilai tukar (harga barang)
Nilai tukar barang adalah termasuk unsur yang terpenting. Berkaitan dengan nilai tukar ini, ulumu fiqih membedakan antara as-tsamm dan as-Si’r.
Menurut mereka, as-tsamm adalah harga pasar yang berlaku ditengah-tengah masyarakat, sedangkan as-Si’r adalah modal barang yang seharunya diterima para pedagang sebelum dijual kepada konsumen. Dengan demikian, ada dua harga, yaitu harga antara sesama pedagang dan harga antara pedagang dan konsumen (harga jual pasar ). Harga yang dapat dipermainkan para pedagang adalah as-tsamn, bukan harga as-aSi’r.

Ulama fiqih mengemukakan syarat as-tsamn,sebagai berikut:
 Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jamlahnya.
 Dapat diserahkan pada saat waktu akad (transaksi), sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit.
 Apabili jual beli itu dilakukan secara barter maka barang yang dijadikan nilai tukar, bukan barang yang diharamkan syara’seperti babi dan khamar karena kedua jenis benda itu tidak bernilai dalam pandangan syara’.

D. Macam-macam Jual Beli
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hokum dan batal menurut hukum, dari segi objek jual beli dan segi pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk.
1. Jual beli benda yang kelihatan
Pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada didepan penjual dan pembeli.

2. Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya
Jual beli salam(pesanan), untuk jual beli yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu. Maksudnya ialah perjanjian yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan dengan masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.

3. Jual beli benda yang tidak ada
Jual beli yang dilarang oleh agama Islam karena barangnya tidak tentu atau masih gelap sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak.

Jual beli yang dilarang dan hukumnya adalah sebagai berikut :
a. Barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi,berhala, bangkai, dan khamar.
b. Jual beli sperma(mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina agar dapat memperoleh keturunan.
c. Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya.
d. Jual beli dengan muhaqallah. Baqalah berarti tanah, sawah, dan kebun, maksud muhaqalah disini ialah menjual tanaman-tanaman yang masih diladang atau sawah. Hal ini dilarang agama sebab ada persangkaan riba didalamnya.
e. Jual beli dengan munabbadzah, yaitu jual beli secara lempar melempar,seperti seorang berkata “lemparkan kepadaku apa yamg ada padamu, nanti kulemparkan pula padamu apa yamg ada padaku.
E. Khiyar Dalam Jual Beli
Dalam jual beli, menurut agama islam dibolehkan memilih, apakah akan meneruskan jual beli atau akan membatalkannya. Karena terjadi oleh sesuatu hal, khiar dibagi menjadi tiga macam yaitu:
a. Khiar majelis,artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya, selama keduannya masih ada dalam satu tempat (majelis).
b. Khiar syarat, yaitu penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun pembeli, seperti orang berkata, “saya jual rumah ini seharga 100 juta dengan syarat khiar-selama tiga hari.
c. Khiar aib,atinya dalam jual beli ini diisyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibel, seperti orang berkata,”saya beli mobil itu seharga sekian, bila mobil itu cacat akan saya kembalikan.

F. Unsur Kelalain Dalam Jual Beli
Dalam jual beli bisa saja terjadi kelalaian, baik dari pihak penjual maupun dari pihak pembeli, baik pada saat terjadi akad, maupun sesudahnya. Menurut ulama fiqih, bentuk kelalaian dalam jual beli diantaranya.
a. Barang yang dijual itu, bukan milik penjual (barang titipan, jaminan hutang ditangan penjual, barang curian).
b. Sesiai perjanjian, barang tersebut harus diserahkan pembeli pada waktu tertentu, tetapi ternyata barang tidak diantarkan dan tidak tepat waktu.
c. Barang tersebut rusak sebelum sampai ke tangan pembeli.
d. Barang tersebut tidak sesuai dengan contoh yang telah disepakati. Dalam kasus-kasus seperti ini, risikonya adalah ganti rugi dari pihak yang lalai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar