Minggu, 09 September 2012

2. MUSAQOH

2. MUSAQOH

A. Pengertian dan Dasar Hukum

Secara sederhana musaqoh diartikan dengan kerja sama dalam perawatan tanaman dengan imbalan dari hasil yang diperoleh dari tanaman tersebut.
Yang dimaksud dengan “tanaman” dalam akad ini adalah tanaman tua atau tanaman keras yang berbuah untuk mengharapkan buahnya seperti kelapa dan sawit, atau yang bergetah untuk mengharapkan getahnya, bukan tanaman tua untuk mengharapkan kayunya.
Dasar hukum bolehnya adalah hadist nabi yang mempekerjakan penduduk khaibar yang disebutkan di atas, yang kerjasama pertanian tersebut juga mencakup merawat tanaman. Sedangkan bagian ulama memandangnya sebagai muamalah upah mengupah, berpendapat tidak boleh karena upah tidak boleh dari hasil kerja tapi dalam bentuk nilai uang yang sudah pasti sesuai dengan perjanjian.

B. Rukun dan syarat musaqoh

Ulama hanafiah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad al-musaqoh adalah ijab dari pemilik tanah perkebunan dan qobul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak petani penggarap.
Sedangkan jumhur ulama yang terdiri atas ulama malikiyah, syafi’iyah, dan hanabilah berpendirian bahwa transaksi al-musaqah harus memenuhi lima rukun, yaitu :
a. Dua orang/pihak yang melakukan transaksi
b. Tanah yang dijadikan obyek al-musaqah
c. Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap
d. Ketentuan mengenai pembagian hasil al-musaqah
e. Shigat (ungkapan) ijab dan qabul
Adapun syarat-syarat yang harus di penuhi oleh masing-masing rukun adalah :
1. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi al-musaqah harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil baligh) dan berakal.
2. Obyek al-musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah. Dalam menentukan obyek al-musaqah ini terdapat perbedaan pendapat ulama fikih. Menurut ulama hanafiyah yang boleh menjadi obyek al-musaqah adalahpepohonan yang berbuah (boleh berbuah), seperti kurma, anggur dan terong. Namun menurut ulama Hanafiyah muta’akhirin menyatakan al-musaqah juga berlaku pada pepohonan yang tidak mempunyai buah, jika hal itu dibutuhkan masyarakat. Ulama Malikiyah menyatakan objek al-musaqah adalah tanaman keras dan palawija, seperti kurma, terong, apel, dan anggur; dengan syarat bahwa: (a) akad al-musaqah itu dilakukan sebelum buah layak panen, (b) tenggang waktu yang ditenyukan jelas, (c) akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh, (d) pemilik perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman itu. Menurut ulama Hanabilah, objek al-musaqah adalah pada tanaman yang buahnya boleh dikonsumsi. Sedangkan ulama Syafi’iyah mengatakan yang boleh menjadi objek al-musaqah adalah hanya kurma dan anggur saja, seperti yang dikatakan oleh sabda Rasulullah saw, yang mengatakan: ”Rasulullah menyerahkan perkebunan kurma di Khaibar kepada orang Yahudi dengan ketenyuan sebagian dari hasilnya, baik dari buah-buahan ataupun biji-bijianmenjadi milik orang Yahudi itu.”
3. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk digarap, tanpa campur tangan pemilik tanah.
4. Hasil yang dihasilkan oleh kebun itu adalah hak mereka bersama sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Menurut pendapat al-Syafi’i yang terkuat sah melakukan perjajian musaqah pada kebun yang telah berbuah, tapi buahnya belum dapat dipastikan baik (belum matang).
5. Lamanya perjanjian harus jelas, karena transaksi ini hampir sama dengan transaksi sewa menyewa, agar terhindar dari ketidakpastian. Namun menurut Hanafiyah, penetapan jangka waktu bukanlah suatu keharusan dalam musaqah tetapi dipahami sebagai satu cara terbaik. Sejalan dengan ulama Hanafiyah, Daud az-Zahiri berpendapat bahwa penetapan waktu bukan suatu syarat dan hal itu diserahkan kepada kebiasaan setempat.
C. Hukum-hukum yang Terkait Dengan al-Musaqah

Hukum-hukum yang berkaitan dengan akad al-musaqah yang sahih adalah:
a. Seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman, pengairan kebun, dann segala yang dibutuhkan untuk kebaikan tanaman itu, merupakan tanggung jawab petani penggarap.
b. Seluruh hasil panen dari tanaman itu menjadi milik kedua belah pihak (petani dan pemilik).
c. Jika kebun itu tidak menghasilkan apa-apa, maka masing-masing pihak tidak mendapatkan apa-apa.
d. Akad al-musaqah yang telah disepakati mengikat kedua belah pihak, sehingga masing-masing pihak tidak boleh membatalkan akad itu, kecuali ada halangan yang membuat tidak mungkin untuk melanjutkan akad yang telah disetujui itu.
e. Petani penggarap tidak boleh melakukan akad al musaqah lain dengan pihak ketiga, kecuali atas izin dari pemilik perkebuan pertama.
Akad al-musaqah bisa fasid apabila:
a. Seluruh hasil panen disyaratkan menjadi pemilik salah satu pihak yang berakad, sehingga makna serikat tidak ada dalam akad itu.
b. Mensyaratkan jumlah tertentu dari hasil panen salah satu pihak, misalnya seperti seperdua dan sebagainya, atau bagian petani dalam bentuk uang, sehingga makna al-musaqah sebagai serikat dalam panen tidak ada lagi.
c. Disyaratkan pemilik kebun juga ikut bekerja dikebun itu.
d. Disyaratkan bahwa mencangkul tanah menjadi kewajiban petani penggarap karena dalam akad al-musaqah pekerjaan sejenis ini bukan pekerjaan petani, karena perserikatan dilakukan hanyalah untuk memelihara dan mengairi tanaman, bukan memulai tanam.
e. Mensyaratkan seluruh pekerjaan yang bukan merupakan kewajiban petani dan pemilik.
f. Melakukan kesepakatan terhadap tenggang waktu.
Jika akad al-musaqah fasid maka akibat hukumnya adalah:
a. Petani penggarap tidak boleh dipaksa bekerja dikebun itu
b. Hasil panen seluruhnya menjadi milik pemilik kebun, sedangkan petani penggarap tidak menerima apapun dari hasil kebun itu, tapi ia hanya berhak mendapatkan upah yang wajar yang berlaku di daerah itu.
D. Berakhirnya Akad al-Musaqah

Menurut ulama fiqh, akad al-musaqah berakhir apabila:
a. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad habis,
b. Salah satu pihak meninggal dunia,
c. Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak dapat meneruskan akad.
Uzur yang dimaksud dalam hal ini diantaranya apabila petani penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan petani penggarap sakit yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja. Jika petani itu yang wafat maka akli warisnya boleh melanjutkan akad itu jika tanaman itu belum panen. Sedangkan apabila pemilik perkebunan yang waafat maka pekerjaan petani harus dilanjutkan. Jika kedua belah pihak yang berakad meninggal dunia, maka ahli waris kedua belah pihak boleh memilih antara meneruskan akad atau menghentikannya.
Akan tetapi ulama Malikiyah menyatakan bahwa akad al-musaqah adalah akad yang boleh diawarisi, jika salah satu pihak meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena uzur dari pihak petani. Ulama Syafi’iyah juga mengatakan bahwa akad al-musaqah tidak boleh dibatalkan karena uzur. Apabila petani memounyai uzur maka harus ditunjuk seseorang yang bertanggung jawab untuk melakukan pekerjaan itu. Menurut ulama Hanabilah, akad al-musaqah adalah akad yang tidak mengikat kedua belah pihak. Oleh sebab itu salah satu pihak boleh membatalkan akad tersebut. Jika pembatalan akad dilaksanakan setelah pohon berbuah, maka buah itu dibagi dua antara pemilik dan penggarap, sesuai dengan kesepakatan yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar