Jangan cekik aku
Berikan aku napas yang panjang
Sehari, seminggu, sebulan, setahun, saja …
Aku baru lahir
Jangan injak aku
Berikan aku harapan
Untuk dewasa
Untuk bermimpi
Aku masih kecil
Jangan sentil aku
Berikan aku semangat
Untuk belajar hidup
Aku baru beranjak remaja
Jangan kungkung aku
Berikan aku ruang
Untuk bersahabat dengan hidup
Aku baru beranjak dewasa
Jangan larang aku
Biar ku jelajahi seluruh penjuru tempat ini
Untuk mencari apa pun yang ku mau
Aku sudah dewasa !
Jangan halangi aku
Biar ku atur semuanya
Untuk dapatkan apa pun yang ku mau
Aku tak lagi dewasa
Jangan bantah aku
Aku yang berkuasa !
Aku yang berhak segalanya
Aku adalah bos !
Jangan tolak aku
Ambil saja aku
Tenang saja, tak ada yang tahu
Simpan aku di kantongmu
Aku adalah uang
Jangan bersamaku
Buang jauh-jauh jalur yang mengarah kepadaku
Kau akan takut bersamaku
Aku adalah neraka
Aku adalah bayi yang ingin bernapas panjang
Aku adalah anak kecil yang ingin memiliki mimpi
Aku adalah remaja dengan penuh semangat hidup
Aku adalah seorang yang beranjak dewasa dengan segala keingintahuan
Aku adalah manusia dewasa yang ingin bebas berkarya
Aku adalah orang tua yang tau semuanya
Aku adalah bos yang punya segalanya
Aku adalah uang yang membutakanmu
Aku adalah neraka yang akan menjadi rumahmu
Pondok Pesantren Putra -putri BAHRULLAHUT Jl.gunung kelir sawah joho kec : warungasem kab : batang 51252 JATENG - INDONESIA
Selasa, 11 September 2012
TOLONG BERIKAN AKU HIDUP
RENUNGAN UNTUK WANITA KU
Sore itu,, menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di masjid ini seusai ashar.. seorang akhwat datang, tersenyum dan duduk disampingku, mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula pada pertanyaan itu. “anty sudah menikah?”. “Belum mbak”, jawabku. Kemudian akhwat itu bertanya lagi “kenapa?” hanya bisa ku jawab dengan senyuman.. ingin ku jawab karena masih kuliah, tapi rasanya itu bukan alasan.
“Mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya. “nunggu suami” jawabnya. Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya
“Mbak kerja di mana?”, entahlah keyakinan apa yang meyakiniku bahwa mbak ini seorang pekerja, padahal setahu ku, akhwat-akhwat seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” , jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.
“Kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah cara satu cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.
Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.
Ukhty, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan didatangi oleh ikhwan yang sangat mencintai akhirat.
“Saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari, es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya.
Waktu itu jam 7 malam, suami baru menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya capek sekali ukhty. Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya pusing. Dan parahnya saya juga lagi pusing . Suami minta diambilkan air minum, tapi saya malah berkata, “abi, umi pusing nih, ambil sendiri lah”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci. Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi demam, tinggi sekali panasnya. Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air minum saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini saya terlalu sibuk di luar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.”
Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yang di usapnya.
“Anty tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 600-700rb/bulan. 10x lipat dari gaji saya. Dan malam itu saya benar-benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya, dan setiap kali memberikan hasil jualannya , ia selalu berkata “umi,,ini ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah-mudahan umi ridho”, begitu katanya. Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya”, lanjutnya
“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya, dan gampang menyepelekan suami.” Lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.
“Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua, dan saudara-saudara saya tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja . Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain.”
Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh kesahnya. Subhanallah, apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.
“Kak, kita itu harus memikirkan masa depan. Kita kerja juga untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini besar. Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah. Salah kakak juga sih, kalo mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”. Ceritanya kembali, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat.
“anty tau, saya hanya bisa nangis saat itu. Saya menangis bukan Karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya. Bagaimana mungkin dia maremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membanguni saya untuk sujud dimalam hari. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah di hadapannya hanya karena sebuah pekerjaaan. Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya. Semoga saya tak lagi membantah perintah suami. Semoga saya juga ridho atas besarnya nafkah itu. Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan itu. Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tapi lihatlah suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya. Semoga jika anty mendapatkan suami seperti saya, anty tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami anty pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku. Mengambil tas laptopnya, bergegas ingin meninggalkannku. Kulihat dari kejauhan seorang ikhwan dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, meninggalkannku. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridho.
Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling baik dalam hidupku.
Pelajaran yang membuatku menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam benakku..
Subhanallah..
Semoga pekerjaan, harta tak pernah menghalangimu untuk tidak menerima pinangan dari laki-laki yang baik agamanya.
“Mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya. “nunggu suami” jawabnya. Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya
“Mbak kerja di mana?”, entahlah keyakinan apa yang meyakiniku bahwa mbak ini seorang pekerja, padahal setahu ku, akhwat-akhwat seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” , jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.
“Kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah cara satu cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.
Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.
Ukhty, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan didatangi oleh ikhwan yang sangat mencintai akhirat.
“Saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari, es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya.
Waktu itu jam 7 malam, suami baru menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya capek sekali ukhty. Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya pusing. Dan parahnya saya juga lagi pusing . Suami minta diambilkan air minum, tapi saya malah berkata, “abi, umi pusing nih, ambil sendiri lah”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci. Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi demam, tinggi sekali panasnya. Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air minum saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini saya terlalu sibuk di luar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.”
Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yang di usapnya.
“Anty tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 600-700rb/bulan. 10x lipat dari gaji saya. Dan malam itu saya benar-benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya, dan setiap kali memberikan hasil jualannya , ia selalu berkata “umi,,ini ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah-mudahan umi ridho”, begitu katanya. Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya”, lanjutnya
“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya, dan gampang menyepelekan suami.” Lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.
“Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua, dan saudara-saudara saya tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja . Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain.”
Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh kesahnya. Subhanallah, apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.
“Kak, kita itu harus memikirkan masa depan. Kita kerja juga untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini besar. Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah. Salah kakak juga sih, kalo mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”. Ceritanya kembali, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat.
“anty tau, saya hanya bisa nangis saat itu. Saya menangis bukan Karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya. Bagaimana mungkin dia maremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membanguni saya untuk sujud dimalam hari. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah di hadapannya hanya karena sebuah pekerjaaan. Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya. Semoga saya tak lagi membantah perintah suami. Semoga saya juga ridho atas besarnya nafkah itu. Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan itu. Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tapi lihatlah suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya. Semoga jika anty mendapatkan suami seperti saya, anty tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami anty pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku. Mengambil tas laptopnya, bergegas ingin meninggalkannku. Kulihat dari kejauhan seorang ikhwan dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, meninggalkannku. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridho.
Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling baik dalam hidupku.
Pelajaran yang membuatku menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam benakku..
Subhanallah..
Semoga pekerjaan, harta tak pernah menghalangimu untuk tidak menerima pinangan dari laki-laki yang baik agamanya.
KUNCI KEBAHAGIAAN
SEBAB-SEBAB LAPANGNYA DADA
(1) Sebab utama lapangnya dada adalah: TAUHID.
Seperti apa kesempurnaan, kekuatan, dan bertambahnya tauhid seseorang, seperti itu pula kelapangan dadanya. Alloh ta’ala berfirman:
أَفَمَن شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِّنْ رَبِّه [الزمر: 22].
Apakah orang yang dibukakan hatinya oleh Alloh untuk menerima Islam, yang oleh karenanya dia mendapat cahaya dari Tuhannya, (sama dengan orang yang hatinya membatu?!)
Alloh juga berfirman:
فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلاَمِ، وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجاً كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى السَّمَاءِ [الأنعام: 125].
Barangsiapa dikehendaki Alloh mendapat hidayah, maka Dia akan membukakan hatinya untuk menerima Islam. Sedang barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, maka Dia akan jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia sedang mendaki ke langit.
Maka, petunjuk dan tauhid adalah sebab utama lapangnya dada. Sebaliknya syirik dan kesesatan, adalah sebab utama sempit dan gundahnya dada.
(2) Diantara sebab lapangnya dada adalah: Cahaya yang ditanamkan Alloh ke dalam hati hamba-Nya, yakniCAHAYA IMAN.
Sungguh cahaya itu akan melapangkan dan meluaskan dada, serta membahagiakan hati. Apabila cahaya ini hilang dari hati seorang hamba, maka hati itu akan menjadi ciut dan gundah, sehingga menjadikannya berada dalam penjara yang paling sempit dan sulit.
At-Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Jami’nya, bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Jika cahaya (iman) itu masuk ke dalam hati, maka ia akan menjadi luas dan lapang”. Mereka (para sahabat) bertanya: “Wahai Rosululloh, lalu apa tanda-tandanya?” Beliau menjawab: “(Tandanya adalah jika hatinya menginginkan) kembali ke rumah keabadian, menjauh dari rumah kepalsuan, dan bersiap-siap menghadapi kematian sebelum ia datang”.
Maka, seorang hamba akan mendapatkan kelapangan dadanya, sesuai bagiannya dari cahaya (iman) ini. Hal ini menyerupai cahaya dan kegelapan yang kasat mata, karena cahaya dapat melapangkan hati, sedang kegelapan bisa menciutkannya.
(3) Diantaranya lagi adalah: ILMU.
Ilmu akan melapangkan dada dan meluaskannya, hingga ia bisa menjadikannya lebih luas dari dunia. Sebaliknya kebodohan bisa menjadikan hati ciut, terkepung, dan terpenjara. Semakin luas ilmu seorang hamba, maka semakin lapang dan luas pula dadanya. Tentu, hal ini tidak berlaku untuk semua ilmu, akan tetapi hanya untuk ilmu yang diwariskan dari Rosul -shollallohu alaihi wasallam, yakni ilmu yang bermanfaat. Oleh karena itu, ahli ilmu menjadi orang yang paling lapang dadanya, paling luas hatinya, paling bagus akhlaknya, dan paling baik hidupnya.
(4) Diantaranya lagi adalah: Kembali kepada Alloh ta’ala, mencintai-Nya sepenuh hati, menghadap pada-Nya, dan mencari kenikmatan dalam mengibadahi-Nya. Karena, tidak ada sesuatu pun yang lebih mampu melapangkan dada seorang hamba melebihi itu semua, hingga kadang hati itu mengatakan: “Seandainya di dalam surga nanti, keadaanku seperti ini, maka sungguh itu berarti aku dalam kehidupan yang baik”.
Sungguh kecintaan itu memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam melapangkan dada, membaikkan jiwa, dan menikmatkan hati. Tidak ada yang tahu hal itu, kecuali orang yang pernah merasakannya. Dan ketika cinta itu semakin kuat dan hebat, maka saat itu pula dada menjadi semakin luas dan lapang.
Dan hati ini tidak akan menciut, kecuali saat melihat para pengangguran yang kosong dari hal ini. Sungguh melihat mereka hanya akan mengotorkan mata hati, dan berkumpul dengan mereka hanya akan membuat gerah jiwa.
Diantara sebab utama ciutnya dada adalah: Berpalingnya hati dari Alloh ta’ala, bergantungnya hati pada selain-Nya, lalainya hati dari mengingat-Nya, dan kecintaan hati pada selain-Nya.
Karena, barangsiapa mencintai sesuatu selain Alloh, niscaya ia akan disiksa dengannya, dan hatinya akan terpenjara oleh kecintaannya pada sesuatu tersebut.
Sehingga tiada orang di muka bumi ini, yang lebih sengsara, lebih penat, lebih buruk, dan lebih payah hidupnya melebihinya.
Maka, di sini ada dua cinta:
(a) Cinta yang merupakan: surga dunia, kebahagiaan jiwa, dan kelezatan hati. Cinta yang merupakan kenikmatan, santapan, dan obatnya ruh. Bahkan dialah kehidupan ruh dan sesuatu yang paling disenanginya. Dialah cinta kepada Alloh semata dengan sepenuh hati, dan tertariknya semua kesenangan, keinginan, dan kecintaan hati hanya kepada-Nya.
(b) Dan cinta yang merupakan: siksaan ruh, kegundahan jiwa, penjara hati, dan sempitnya dada. Dialah sebab sakit, susah, dan beratnya jiwa. Itulah kecintaan kepada selain Alloh subhanahu wa ta’ala.
(5) Diantara sebab-sebab lapangnya dada adalah: Melanggengkan dzikir (mengingat)-Nya di segala tempat dan masa. Karena, dzikir itu memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam melapangkan dada dan menikmatkan hati. Sebaliknya, lalai memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menciutkan, memenjarakan, dan menyiksa hati seorang hamba.
(6) Diantaranya lagi adalah: Membantu orang lain, dan memberikan manfaat kepada mereka, dengan apa yang ia mampui, dari hartanya, kedudukannya, badannya, dan berbagai macam kebaikan untuk orang lain.
Oleh karena itu, orang yang dermawan dan punya banyak jasa, adalah orang yang paling lapang dadanya, paling baik jiwanya, dan paling nikmat hatinya. Sedangkan si bakhil yang tidak punya jasa baik, adalah orang yang paling sempit dadanya, paling buruk hidupnya, dan paling banyak gundah gulananya.
Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- telah memberikan perumpamaan untuk si bakhil dan sang dermawan dalam sebuah hadits shohih (riwayat Muslim: 1021), yaitu: Seperti dua orang yang mempunyai baju perang dari besi. Setiap kali sang dermawan ingin bersedekah, baju besi itu menjadi tambah luas dan lebar, hingga ia menyeret bajunya dan menjadi panjang jejaknya. Sedangkan si bakhil, setiap kali ingin bersedekah, maka semua lingkaran rantai (yang menjadi penghubung rangkaian baju besi) itu menetapi tempatnya, dan tidak melebar hingga tidak cukup untuknya.
Maka, inilah perumpamaan lapang dan luasnya dada seorang mukmin yang dermawan, dan ini pula perumpamaan ciut dan sempitnya dada si bakhil.
(7) Dan diantaranya lagi adalah: Keberanian.
Makanya seorang pemberani adalah seorang yang lapang dadanya, serta luas jiwa dan hatinya.
Sedangkan pengecut, adalah seorang yang paling ciut dadanya, dan paling terbatas hatinya. Ia tidak memiliki kesenangan dan kebahagiaan. Ia juga tidak memiliki kenikmatan, kecuali kenikmatan yang dirasakan oleh hewan saja.
Adapun kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan, dan kesenangan jiwa, maka itu tidak akan diberikan kepada mereka yang pengecut, sebagaimana ia tidak diberikan kepada mereka yang bakhil, dan mereka yang berpaling dari Alloh subhanah, lalai dari mengingat-Nya, jahil dengan-Nya, dengan nama-namaNya, dengan sifat-sifatNya, dan dengan agama-Nya, serta hatinya tergantung dengan selain-Nya.
Sungguh kenikmatan dan kebahagiaan ini, akan menjadi taman dan surga di alam kubur nanti. Sebaliknya keciutan dan kesempitan hati mereka, akan menjadi siksaan dan penjara di alam kuburnya.
Maka, keadaan hamba di alam kubur nanti, itu seperti keadaan hati di dalam dada, baik dalam hal kenikmatan, siksaan, kebebasan, maupun terpenjaranya.
Dan bukan patokan, bila ada kelapangan hati bagi si ini, dan keciutan hati bagi si itu, karena adanya sesuatu yang datang. Karena ia akan hilang dengan hilangnya sesuatu yang datang itu. Akan tetapi yang menjadi patokan adalah sifat yang menancap di hati, yang dapat membuatnya lapang atau ciut. Itulah timbangannya… Wallohul musta’an.
(8) Diantaranya lagi -bahkan ini salah satu yang utama- adalah: Membersihkan hati dari kotoran, seperti sifat-sifat tercela yang menyebabkan hati menjadi ciut, tersiksa, dan menghalangi kesehatannya.
Karena, jika sebab-sebab lapangnya hati itu datang kepada seseorang, sedang ia belum mengeluarkan sifat-sifat tercela itu dari hatinya, maka ia tidak akan mendapatkan kelapangan hati yang berarti. Hasil akhirnya adalah adanya dua materi yang memenuhi hatinya, dan hatinya akan dikuasai oleh apa yang lebih banyak menempati hatinya.
(9) Dan diantaranya lagi adalah: Meninggalkan setiap yang berlebihan, baik dalam ucapan, penglihatan, pendengaran, pergaulan, makanan, ataupun tidur. Karena sikap berlebihan dalam ini semua, dapat menyebabkan hati menjadi sakit, gundah, resah, terkepung, terpenjara, ciut, dan tersiksa karenanya. Bahkan kebanyakan siksaam dunia dan akhirat, bersumber darinya.
Maka, laa ilaaha illallooh… betapa ciutnya dada orang yang menyimpan semua penyakit ini, betapa susah hidupnya, betapa buruk keadaannya, dan betapa terkepung hatinya…
Dan Laa ilaaha illallooh… betapa nikmatnya kehidupan seseorang yang dadanya menyimpan semua sifat yang terpuji itu, serta cita-citanya berputar dan mengitari semua sifat itu. Tentulah orang ini memiliki bagian yang agung dari firman Alloh ta’ala:
إنَّ الأَبْرَارَ لَفِى نَعِيم [الانفطار: 13]
Sesungguhnya orang yang baik amalannya, berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan.
Adapun yang itu, mereka memiliki bagian yang besar dari firman-Nya:
وإنَّ الفُجَّارَ لَفِى جَحِيمٍ [الانفطار: 14]
Sesungguhnya orang-orang yang buruk amalannya, berada dalam neraka (yang penuh kesengsaraan)
Dan diantara keduanya ada banyak tingkatan yang berbeda-beda, tiada yang dapat menghitungnya, kecuali Allohtabaaroka wa ta’aala.
Maksud kami (membawakan pembahasan ini adalah agar kita tahu): Bahwa Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- adalah makhluk yang paling sempurna dalam semua sifat terpuji yang bisa menjadikan kelapangan dada, keluasan hati, qurrotu ain, dan kehidupan jiwa. Oleh karena itulah, beliau menjadi makhluk yang paling sempurna dalam kelapangan dada, kehidupan hati, dan qurrotu ain. Belum lagi keistimewaan beliau dalam kelapangan hidup yang bisa dilihat mata.
Dan makhluk yang paling sempurna dalam menirunya, dialah makhluk yang paling sempurna dalam kelapangan, kelezatan, dan qurrotu ainnya. Seperti apa seorang hamba dalam meniru beliau, maka seperti itu pula ia akan mendapatkan kelapangan dada, qurrotu ain, dan kelezatan jiwanya.
Maka, beliau -shollallohu alaihi wasallam- adalah orang yang menempati posisi puncak kesempurnaan dari kelapangan dada, kemuliaan nama, dan minimnya dosa. Dan bagi pengikutnya dalam semua itu, ada bagian yang sesuai dengan kadar pengikutannya kepada beliau… wallohul musta’an.
Dan demikian pula (dalam hal lainnya), bagi pengikut beliau, ada bagian dari perlindungan, penjagaan, pembelaan, pemuliaan, pertolongan Alloh untuk mereka, tergantung porsi peneladanan mereka terhadap beliau. Ada yang dapat bagian sedikit, ada juga yang dapat bagian banyak. Maka barangsiapa yang mendapati kebaikan pada dirinya, maka hendaklah ia memuji Alloh. Adapun yang mendapati selain itu, maka janganlah ia mencela selain dirinya.
(Bagi yang ingin membaca naskah aslinya dalam bahasa arab, silahkan merujuknya ke kitab Zaadul Ma’aad, karya Ibnul Qoyyim, jilid 2, hal. 23)
(1) Sebab utama lapangnya dada adalah: TAUHID.
Seperti apa kesempurnaan, kekuatan, dan bertambahnya tauhid seseorang, seperti itu pula kelapangan dadanya. Alloh ta’ala berfirman:
أَفَمَن شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِّنْ رَبِّه [الزمر: 22].
Apakah orang yang dibukakan hatinya oleh Alloh untuk menerima Islam, yang oleh karenanya dia mendapat cahaya dari Tuhannya, (sama dengan orang yang hatinya membatu?!)
Alloh juga berfirman:
فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلاَمِ، وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجاً كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى السَّمَاءِ [الأنعام: 125].
Barangsiapa dikehendaki Alloh mendapat hidayah, maka Dia akan membukakan hatinya untuk menerima Islam. Sedang barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, maka Dia akan jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia sedang mendaki ke langit.
Maka, petunjuk dan tauhid adalah sebab utama lapangnya dada. Sebaliknya syirik dan kesesatan, adalah sebab utama sempit dan gundahnya dada.
(2) Diantara sebab lapangnya dada adalah: Cahaya yang ditanamkan Alloh ke dalam hati hamba-Nya, yakniCAHAYA IMAN.
Sungguh cahaya itu akan melapangkan dan meluaskan dada, serta membahagiakan hati. Apabila cahaya ini hilang dari hati seorang hamba, maka hati itu akan menjadi ciut dan gundah, sehingga menjadikannya berada dalam penjara yang paling sempit dan sulit.
At-Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Jami’nya, bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Jika cahaya (iman) itu masuk ke dalam hati, maka ia akan menjadi luas dan lapang”. Mereka (para sahabat) bertanya: “Wahai Rosululloh, lalu apa tanda-tandanya?” Beliau menjawab: “(Tandanya adalah jika hatinya menginginkan) kembali ke rumah keabadian, menjauh dari rumah kepalsuan, dan bersiap-siap menghadapi kematian sebelum ia datang”.
Maka, seorang hamba akan mendapatkan kelapangan dadanya, sesuai bagiannya dari cahaya (iman) ini. Hal ini menyerupai cahaya dan kegelapan yang kasat mata, karena cahaya dapat melapangkan hati, sedang kegelapan bisa menciutkannya.
(3) Diantaranya lagi adalah: ILMU.
Ilmu akan melapangkan dada dan meluaskannya, hingga ia bisa menjadikannya lebih luas dari dunia. Sebaliknya kebodohan bisa menjadikan hati ciut, terkepung, dan terpenjara. Semakin luas ilmu seorang hamba, maka semakin lapang dan luas pula dadanya. Tentu, hal ini tidak berlaku untuk semua ilmu, akan tetapi hanya untuk ilmu yang diwariskan dari Rosul -shollallohu alaihi wasallam, yakni ilmu yang bermanfaat. Oleh karena itu, ahli ilmu menjadi orang yang paling lapang dadanya, paling luas hatinya, paling bagus akhlaknya, dan paling baik hidupnya.
(4) Diantaranya lagi adalah: Kembali kepada Alloh ta’ala, mencintai-Nya sepenuh hati, menghadap pada-Nya, dan mencari kenikmatan dalam mengibadahi-Nya. Karena, tidak ada sesuatu pun yang lebih mampu melapangkan dada seorang hamba melebihi itu semua, hingga kadang hati itu mengatakan: “Seandainya di dalam surga nanti, keadaanku seperti ini, maka sungguh itu berarti aku dalam kehidupan yang baik”.
Sungguh kecintaan itu memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam melapangkan dada, membaikkan jiwa, dan menikmatkan hati. Tidak ada yang tahu hal itu, kecuali orang yang pernah merasakannya. Dan ketika cinta itu semakin kuat dan hebat, maka saat itu pula dada menjadi semakin luas dan lapang.
Dan hati ini tidak akan menciut, kecuali saat melihat para pengangguran yang kosong dari hal ini. Sungguh melihat mereka hanya akan mengotorkan mata hati, dan berkumpul dengan mereka hanya akan membuat gerah jiwa.
Diantara sebab utama ciutnya dada adalah: Berpalingnya hati dari Alloh ta’ala, bergantungnya hati pada selain-Nya, lalainya hati dari mengingat-Nya, dan kecintaan hati pada selain-Nya.
Karena, barangsiapa mencintai sesuatu selain Alloh, niscaya ia akan disiksa dengannya, dan hatinya akan terpenjara oleh kecintaannya pada sesuatu tersebut.
Sehingga tiada orang di muka bumi ini, yang lebih sengsara, lebih penat, lebih buruk, dan lebih payah hidupnya melebihinya.
Maka, di sini ada dua cinta:
(a) Cinta yang merupakan: surga dunia, kebahagiaan jiwa, dan kelezatan hati. Cinta yang merupakan kenikmatan, santapan, dan obatnya ruh. Bahkan dialah kehidupan ruh dan sesuatu yang paling disenanginya. Dialah cinta kepada Alloh semata dengan sepenuh hati, dan tertariknya semua kesenangan, keinginan, dan kecintaan hati hanya kepada-Nya.
(b) Dan cinta yang merupakan: siksaan ruh, kegundahan jiwa, penjara hati, dan sempitnya dada. Dialah sebab sakit, susah, dan beratnya jiwa. Itulah kecintaan kepada selain Alloh subhanahu wa ta’ala.
(5) Diantara sebab-sebab lapangnya dada adalah: Melanggengkan dzikir (mengingat)-Nya di segala tempat dan masa. Karena, dzikir itu memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam melapangkan dada dan menikmatkan hati. Sebaliknya, lalai memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menciutkan, memenjarakan, dan menyiksa hati seorang hamba.
(6) Diantaranya lagi adalah: Membantu orang lain, dan memberikan manfaat kepada mereka, dengan apa yang ia mampui, dari hartanya, kedudukannya, badannya, dan berbagai macam kebaikan untuk orang lain.
Oleh karena itu, orang yang dermawan dan punya banyak jasa, adalah orang yang paling lapang dadanya, paling baik jiwanya, dan paling nikmat hatinya. Sedangkan si bakhil yang tidak punya jasa baik, adalah orang yang paling sempit dadanya, paling buruk hidupnya, dan paling banyak gundah gulananya.
Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- telah memberikan perumpamaan untuk si bakhil dan sang dermawan dalam sebuah hadits shohih (riwayat Muslim: 1021), yaitu: Seperti dua orang yang mempunyai baju perang dari besi. Setiap kali sang dermawan ingin bersedekah, baju besi itu menjadi tambah luas dan lebar, hingga ia menyeret bajunya dan menjadi panjang jejaknya. Sedangkan si bakhil, setiap kali ingin bersedekah, maka semua lingkaran rantai (yang menjadi penghubung rangkaian baju besi) itu menetapi tempatnya, dan tidak melebar hingga tidak cukup untuknya.
Maka, inilah perumpamaan lapang dan luasnya dada seorang mukmin yang dermawan, dan ini pula perumpamaan ciut dan sempitnya dada si bakhil.
(7) Dan diantaranya lagi adalah: Keberanian.
Makanya seorang pemberani adalah seorang yang lapang dadanya, serta luas jiwa dan hatinya.
Sedangkan pengecut, adalah seorang yang paling ciut dadanya, dan paling terbatas hatinya. Ia tidak memiliki kesenangan dan kebahagiaan. Ia juga tidak memiliki kenikmatan, kecuali kenikmatan yang dirasakan oleh hewan saja.
Adapun kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan, dan kesenangan jiwa, maka itu tidak akan diberikan kepada mereka yang pengecut, sebagaimana ia tidak diberikan kepada mereka yang bakhil, dan mereka yang berpaling dari Alloh subhanah, lalai dari mengingat-Nya, jahil dengan-Nya, dengan nama-namaNya, dengan sifat-sifatNya, dan dengan agama-Nya, serta hatinya tergantung dengan selain-Nya.
Sungguh kenikmatan dan kebahagiaan ini, akan menjadi taman dan surga di alam kubur nanti. Sebaliknya keciutan dan kesempitan hati mereka, akan menjadi siksaan dan penjara di alam kuburnya.
Maka, keadaan hamba di alam kubur nanti, itu seperti keadaan hati di dalam dada, baik dalam hal kenikmatan, siksaan, kebebasan, maupun terpenjaranya.
Dan bukan patokan, bila ada kelapangan hati bagi si ini, dan keciutan hati bagi si itu, karena adanya sesuatu yang datang. Karena ia akan hilang dengan hilangnya sesuatu yang datang itu. Akan tetapi yang menjadi patokan adalah sifat yang menancap di hati, yang dapat membuatnya lapang atau ciut. Itulah timbangannya… Wallohul musta’an.
(8) Diantaranya lagi -bahkan ini salah satu yang utama- adalah: Membersihkan hati dari kotoran, seperti sifat-sifat tercela yang menyebabkan hati menjadi ciut, tersiksa, dan menghalangi kesehatannya.
Karena, jika sebab-sebab lapangnya hati itu datang kepada seseorang, sedang ia belum mengeluarkan sifat-sifat tercela itu dari hatinya, maka ia tidak akan mendapatkan kelapangan hati yang berarti. Hasil akhirnya adalah adanya dua materi yang memenuhi hatinya, dan hatinya akan dikuasai oleh apa yang lebih banyak menempati hatinya.
(9) Dan diantaranya lagi adalah: Meninggalkan setiap yang berlebihan, baik dalam ucapan, penglihatan, pendengaran, pergaulan, makanan, ataupun tidur. Karena sikap berlebihan dalam ini semua, dapat menyebabkan hati menjadi sakit, gundah, resah, terkepung, terpenjara, ciut, dan tersiksa karenanya. Bahkan kebanyakan siksaam dunia dan akhirat, bersumber darinya.
Maka, laa ilaaha illallooh… betapa ciutnya dada orang yang menyimpan semua penyakit ini, betapa susah hidupnya, betapa buruk keadaannya, dan betapa terkepung hatinya…
Dan Laa ilaaha illallooh… betapa nikmatnya kehidupan seseorang yang dadanya menyimpan semua sifat yang terpuji itu, serta cita-citanya berputar dan mengitari semua sifat itu. Tentulah orang ini memiliki bagian yang agung dari firman Alloh ta’ala:
إنَّ الأَبْرَارَ لَفِى نَعِيم [الانفطار: 13]
Sesungguhnya orang yang baik amalannya, berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan.
Adapun yang itu, mereka memiliki bagian yang besar dari firman-Nya:
وإنَّ الفُجَّارَ لَفِى جَحِيمٍ [الانفطار: 14]
Sesungguhnya orang-orang yang buruk amalannya, berada dalam neraka (yang penuh kesengsaraan)
Dan diantara keduanya ada banyak tingkatan yang berbeda-beda, tiada yang dapat menghitungnya, kecuali Allohtabaaroka wa ta’aala.
Maksud kami (membawakan pembahasan ini adalah agar kita tahu): Bahwa Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- adalah makhluk yang paling sempurna dalam semua sifat terpuji yang bisa menjadikan kelapangan dada, keluasan hati, qurrotu ain, dan kehidupan jiwa. Oleh karena itulah, beliau menjadi makhluk yang paling sempurna dalam kelapangan dada, kehidupan hati, dan qurrotu ain. Belum lagi keistimewaan beliau dalam kelapangan hidup yang bisa dilihat mata.
Dan makhluk yang paling sempurna dalam menirunya, dialah makhluk yang paling sempurna dalam kelapangan, kelezatan, dan qurrotu ainnya. Seperti apa seorang hamba dalam meniru beliau, maka seperti itu pula ia akan mendapatkan kelapangan dada, qurrotu ain, dan kelezatan jiwanya.
Maka, beliau -shollallohu alaihi wasallam- adalah orang yang menempati posisi puncak kesempurnaan dari kelapangan dada, kemuliaan nama, dan minimnya dosa. Dan bagi pengikutnya dalam semua itu, ada bagian yang sesuai dengan kadar pengikutannya kepada beliau… wallohul musta’an.
Dan demikian pula (dalam hal lainnya), bagi pengikut beliau, ada bagian dari perlindungan, penjagaan, pembelaan, pemuliaan, pertolongan Alloh untuk mereka, tergantung porsi peneladanan mereka terhadap beliau. Ada yang dapat bagian sedikit, ada juga yang dapat bagian banyak. Maka barangsiapa yang mendapati kebaikan pada dirinya, maka hendaklah ia memuji Alloh. Adapun yang mendapati selain itu, maka janganlah ia mencela selain dirinya.
(Bagi yang ingin membaca naskah aslinya dalam bahasa arab, silahkan merujuknya ke kitab Zaadul Ma’aad, karya Ibnul Qoyyim, jilid 2, hal. 23)
Senin, 10 September 2012
TAFSIR SURAT THOHA AYAT 2
Allah swt berfirman,
مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى
Maknanya adalah, “Wahai engkau, tidaklah Kami menurunkan kepadamu Al-Qur’an untuk menyusahkanmu. Tidaklah Kami menurunkannya maka Kami membebanimu dengan apa yang tidak kau sanggupi dari mengamalkannya.” Tidaklah Kami menurunkan (dengan keagungan Kami) kepadamu (yang terkemuka dari makhluk Kami) Al-Qur’an (Kitab yang paling agung, yang terkumpul segala kebaikan, penolak segala keburukan, yang telah Kami mudahkan dengan lisanmu) untuk membuatmu susah (yaitu lelahnya hatimu karena sedikitnya yang mengikuti seruanmu dan penentangan kaummu). Az-Zamakhsyari berkata, “Bahwa tidak ada atasmu kecual untuk menyampaikan dan mengingatkan; tidak ditetapkan atasmu untuk bertanggung jawab atas keimanan mereka sehingga tidak perlu melampaui batas dalam menyampaikan risalah serta pengajaran yang baik.”
Pada ayat ini juga terdapat qiro’at/bacaan (ما نزلنا عليك القرآن) sebagai isyarat bahwa Al-Qur’an diturunkan bertahap, tidak sekaligus. Dalam bahasa Arab, huruf (مَا), memiliki fungsi dan makna yang bermacam-macam. Di antaranya, huruf ini bisa merupakan kata sambung (isim maushul), partikel negasi/pengingkaran (harf nafi), serta kata tanya (istifham). Jika ia berfungsi sebagai kata sambung, maka arti dari huruf (مَا) adalah ‘yang’. Sedangkan jika huruf tersebut berfungsi sebagai partikel negasi, maka artinya adalah ‘tidak’. Dalam teks, ia dapat dibedakan melihat konteks kalimat selanjutnya. Untuk pengucapan, pembedanya terletak pada unsur suprasegmentalnya, yaitu unsur bunyi bahasa yang berupa panjang-pendek, lembut-keras, tekanan, nada, dan jeda. Dalam mengucapkan (مَا) dalam arti ‘yang’, tidak diperlukan penekanan; sedangkan jika huruf tersebut berfungsi sebagai partikel negasi, maka perlu penekanan serta terkadang dihiperbolis dengan panjangnya pelafalan. Penempatan kata negasi di awal perkataan merupakan salah satu gaya bahasa Al-Qur’an untuk penegasan suatu hal. Preposisi (علي) secara harfiyah bisa diterjemahkan ‘di atas’. Jika ia tidak berangkai dengan preposisi (ل) maka artinya bisa ditarik secara umum. Akan tetapi, jika preposisi (علي) menemui kata lain dengan preposisi (ل) -secara harfiyah berarti ‘pada’- dalam satu kalimat secara bersamaan, makna preposisi tersebut tidak bisa lagi diterjemahkan secara harfiyah ‘di atas’ atau ‘pada’ lagi. Namun, makna (ل) menunjukkan makna yang baik, sedangkan (علي) menunjukkan makna yang buruk. Contoh dalam Al-Qur’an seperti pada Al-Baqarah ayat 286 (لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ). Adapun huruf lam (ل) pada kata (لِتَشْقَى) adalah sebagai penanda peruntukan/kegunaan (ta`lil).
Surat ini adalah Makkiyyah kesemuanya. Ayatnya berjumlah seratus tiga puluh lima. Terdiri dari 1641 kata dan 5242 huruf. Kaitan surat ini dengan bagian akhir dari surat sebelumnya adalah bahwa ketika Allah menegaskan tentang Al-Qur’an dipermudah dengan lisan (bahasa) Rasulullah saw pada ayat (لتبشر به المتقين وتنذر به قوماً لداً) -Maryam 97- hal ini kemudian dikuatkan dengan firman-Nya (ما أنزلنا عليك القرآن لتشقى إلاّ تذكرة لمن يخشى). Surat ini diawali dengan penegasan kepada Rasulullah saw bahwa tidak ditetapkan atasnya kesusahan dengan risalah yang diturunkan. Setelah itu ada bagian perintah untuk menyembah Allah, Tuhan satu-satunya, yang mengetahui baik yang tampak maupun yang tersembunyi, yang mengetahui yang diluar hati maupun yang dilubuknya, Tuhan tempat manusia kembali baik mereka yang taat maupun yang berpaling. Kemudian diceritakan kisah Musa as di awal risalah, pengutusannya kepada Bani Israil, usaha membawa mereka keluar dari Mesir, dan khususnya cerita munajat Musa as dengan Allah serta pertemuan Musa as dengan Fir`aun dan para penyihirnya, yang dalam kesemuanya itu Allah menegaskan selalui menyertai Musa as (dan Harun as) dikarenakan Allah-lah yang memilihnya. Lalu adapula sekilas kisah tentang Adam as yang diberikan rahmat dan hidayah oleh Allah setelah ia melakukan kesalahan, sehingga manusia setelahnya diberi pilihan untuk mendapat petunjuk atau sesat setelah adanya peringatan serta risalah. Kemudian ditutup dengan kisah penggambaran setelah kiamat.
Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw berkata, “Aku diberikan (surat) Thaha dan dua Surat Taasiin dari lauh-lauh Musa.” (Dikeluarkan oleh Baihaqi dalam As-Sunan dan Hakim dalam Al-Mustadrak). Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah membaca surat Thaha dan surat Yasin seribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. Ketika para malaikat mendengar Al-Qur’an, mereka berkata, ‘Beruntunglah umat yang diturunkan surat itu padanya, beruntunglah rongga yang mengandung surat itu, dan beruntunglah lidah yang berbicara dengan surat itu.’” (Diriwayatkan oleh Darimi dalam As-Sunan). Kedua riwayat tersebut lemah.
Al-Kalbi berkata, “Ketika wahyu diturunkan kepada Rasulullah saw di Makkah, beliau bersungguh-sungguh dalam beribadah, lama berdiri dalam shalat, serta shalat semalaman penuh, maka Allah menurunkan ayat tersebut dan memerintahkan untuk memperingan diri.” Juwaibit meriwayatkan dari Adh-Dhahhak, setelah Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasul-Nya, maka beliau dan juga para sahabatnya melaksanakannya, lalu orang-orang musyrik dari kaum Quraisy berkata: “Al-Qur’an ini diturunkan kepada Muhammad agar dia menjadi susah.” Muqatil berkata, “Sesungguhnya Abu Jahal, Walid bin Mughirah, An-Nadhr bin Al-Harits, dan Muth`im bin `Adi berkata kepada Rasulullah saw ketika mereka melihat banyaknya ibadah beliau, ‘Sungguh kau menjadi susah dengan meninggalkan agama kami, agama bapak-bapakmu.’ Rasulullah menjawab, ‘Tidak demikian, namun aku diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam.’ Mereka berkata lagi, ‘Tidak, bahkan kamu menjadi susah.’” Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat tersebut (Thaha 1-3).
Dalam Sirah Ibnu Hisyam, disebutkan Ibnu Ishaq meriwayatkan tentang keislaman `Umar seperti yang diceritakan oleh adiknya, Fathimah binti Al-Khaththab. Tatkala pada suatu hari Fathimah dan suaminya, Sa`id bin Zaid bin `Amr bin Nufail, dikunjungi oleh Khabbab bin Arat yang membacakan Al-Qur’an di rumah mereka. Ketika itu mereka semua masih menyembunyikan keislamannya dari keluarga besarnya. Di pihak lain, `Umar keluar rumah sambil menghunus pedangnya, dengan maksud ingin membunuh Rasulullah saw. Dalam perjalanan menuju rumah Nabi, ia berpapasan dengan Nu`aim bin `Abdullah An-Naham, seorang laki-laki yang juga dari sesama kaum, Bani `Ady bin Ka`ab. “Hendak ke mana engkau wahai `Umar?” Sapa orang tersebut. “Aku mencari Muhammad, orang yang telah keluar dari agama itu, yang menyelisihi pemimpin Quraisy dan menjelekkan agama mereka serta menghina tuhan-tuhan mereka. Maka aku akan membunuh Muhammad.” Jawabnya. Nu`aim berkata, “Demi Allah! Sudah lupa diri kau wahai `Umar! Apakah engkau mengira Bani Abdi Manaf akan membiarkanmu bebas di bumi jika kau membunuh Muhammad?! Apa kau tidak menengok keluargamu dan memperhatikan mereka?” `Umar bertanya, “Ada apa dengan keluargaku?” Nu`aim menjawab, “Iparmu yang juga anak pamanmu, Sa`id bin Zaid bin `Amr, serta adikmu Fathimah binti Al-Khaththab juga telah berislam dan mengikuti Muhammad dalam agamanya.” Maka `Umar mengurungkan niatnya menuju rumah Rasulullah, dan segera mengubah tujuannya yaitu pergi menemui adik perempuannya dan iparnya. Sementara itu di dalam rumahnya, Fathimah adik `Umar dan suaminya sedang menghadapi shahifah (lembaran wahyu) yang berisi surat Thaha yang dibacakan oleh Khabbab bin Arat. Ketika Khabbab mendengar kedatangan `Umar ia segera menyingkir ke bagian belakang ruangan, sedangkan Fathimah menyembunyikan shahifah Al-Qur’an. Tatkala masuk rumah, `Umar yang sempat mendengar ayat Al-Qur’an yang dibaca Khabbab langsung bertanya, “Apa suara bisik-bisik yang sempat aku dengar dari kalian tadi?” Maka dijawab oleh keduanya bahwa itu hanya sekedar bisik-bisik diantara mereka. “Kudengar bahwa kalian mengikuti agama Muhammad.” Lanjut `Umar sembari menyerang iparnya, Sa`id bin Zaid. Fathimah mendekat untuk menolong suaminya dan mencegah tindakan `Umar. Namun tangan `Umar keburu memukul hingga mengenai adiknya sampai berdarah. Dengan berang Fathimah berujar, “Memang benar kami telah berislam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Silakan perbuat apasaja yang kau mau!” Melihat keteguhan adiknya yang ia lukai, `Umar menyesal atas apa yang telah ia perbuat. “Berikan padaku lembaran yang tadi kalian baca! Aku ingin melihat apa yang telah dibawa Muhammad.” Kata `Umar. Adiknya menjawab, “Sungguh kami takut kepadamu.” `Umar menimpali sambil bersumpah demi tuhan-tuhannya, “Jangan takut padaku.” Dengan harapan kakaknya mau masuk Islam, Fathimah berkata, “Engkau najis lantaran syirik. Sungguh ini (lembaran Al-Qur’an) tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci.” `Umar segera bangkit dan mandi. Selesai mandi ia pegangi lembaran berisi Surat Thaha itu dan mulailah ia membaca isinya. “Alangkah indah dan mulianya kalam ini.” Mendengar ucapan `Umar, Khabbab segera muncul dari ruang belakang lalu berkata, ” Demi Allah, sungguh aku berharap Allah memilihmu atas do`a Nabi saw yang kudengar kemarin, ‘Ya Allah kuatkanlah Islam dengan Abi Al-Hakam bin Hisyam atau dengan `Umar bin Al-Khaththab.’” Mendengar itu, `Umar berkata, ” Wahai Khabbab, tunjukkan padaku di mana Muhammad berada saat ini, aku akan menemuinya dan berislam!” Khabbab menjawab, “Rasulullah saat ini sedang berada di sebuah rumah di kaki bukit Shafa bersama sekelompok sahabatnya.” `Umar segera bergegas menuju tempat yang dimaksud dengan masih membawa pedangnya (karena begitu terburu), iapun menggedor pintu rumah. Seseorang mengintip dari celah pintu dan nampak olehnya sosok `Umar sedang berdiri sambil menghunus pedang. Ia panik dan kembali kepada Rasulullah saw seraya berkata, “Ya Rasulullah, itu `Umar bin Khaththab membawa pedang.” Hamzah bin `Abdul Muththalib, yang juga berada di tempat itu, berkata “Silakan dia masuk. Jika lelaki itu menghendaki kebaikan, kita jamu dia; Jika dia datang menghendaki keburukan, kita bunuh dia dengan pedangnya sendiri.” Rasulullah berkata, “Persilakan dia!” Maka lelaki yang menghampiri `Umar mempersilakannya dan mengantarnya menghadap Rasulullah di dalam ruangan. Beliau saw berkata, “Apa gerangan yang membuatmu datang? Demi Allah, aku kira engkau tidak mau menghentikan tindakanmu, hingga Allah menurunkan bencana?!” Maka `Umar berkata, ” Ya Rasulullah, Aku datang untuk beriman kepada Allah dan Rasulnya dan apa yang datang dari Allah.” Maka bertakbirlah Rasulullah saw sedemikian hingga terdengar oleh seluruh yang berada di dalam ruangan, bahwa `Umar telah masuk Islam.
Tidaklah Al-Qur’an itu diturunkan untuk membawa kesulitan di dunia atau hari kemudian, melainkan ia diturunkan ke dalam hatimu untuk memberi kebahagiaan dengan berakhlak sesuai dengan akhlak Al-Qur’an sehingga menjadi berakhlak mulia yang membahagiaan penduduk langit dan bumi. Karena sesungguhnya agama Islam dan Al-Qur’an adalah kedamaian yang membawa kepada kemenangan dan sebab mendasar bagi setiap kebahagiaan. Karena sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesusahan bagimu “يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ” (Al-Baqarah 185) serta tidak menjadikan kesempitan dalam agama “وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ” (Al-Hajj 78). Al-Qur’an diturunkan sebagai pengingat bagi mereka yang takut kepada Rabb-nya sehingga menyikapinya dengan ketaatan. Justru kekafiran itulah kesusahan yang sebenarnya.
Bukanlah maksud wahyu dan turunnya Al-Qur’an kepadamu serta disyari`atkannya syari`at untuk menyulitkan dengannya, dan menjadikan syari’at itu beban yang menyusahkan bagi penerimanya, dan melemahkan kemampuan orang-orang yang beramal. Wahyu, Al-Qur’an, dan syari`at adalah manhaj dari Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang menjadikannya sarana bagi kebahagiaan, keberuntungan serta kemenangan, yang tujuannya dimudahkan dalam menuju pintu-pintu dan jalannya. Ia adalah makanan yang bergizi bagi hati dan ruh, serta rahmat bagi badan. Ia bisa disikapi oleh fitrah yang murni dan akal yang lurus dengan penerimaan dan kepatuhan, dengan pengetahuan bahwa ia membawa kebaikan serta kemuliaan di dunia dan akhirat.
Al-Qur’an tidak diturunkan untuk membawa kepada kepayahan, tidak diturunkan untuk menyulitkan dalam tilawah dan beribadah dengannya hingga melampaui kesanggupan, tidak pula ia terlalu sulit untuk diterima. Ia adalah pembawa kemudahan bagi manusia, tidak menguras energi yang melebihi kemanusiawian. Ia tidak membebani kecuali sesuai dengan kemampuan optimasi umat. Beribadah menuruti hukum-hukumnya adalah dalam batasan nikmat, bukan hukum yang mencelakakan. Ia adalah kesempatan untuk meniti pertemuan dengan Sang Pencipta dalam keteguhan, kekuatan, dan ketenangan yang diliputi keridhoan-Nya
Barangsiapa yang diberi ilmu oleh Allah, berarti Dia telah menghendaki kebaikan yang banyak baginya, sebagaimana yang ditegasan di dalam kitab shaihain dari Mu’awiyah, dimana dia bercerita, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, maka Dia akan memahamkan ilmu agama kepadanya.” (HR Bukhari dan Muslim). Diriwayatkan oleh Thabrani dari Tsa`labah bin Hakam dari Nabi saw, “Allah akan berkata pada para ulama (yang mengamalkan ilmu mereka) di hari kiamat, ‘Sesungguhnya Aku tidak menjadikan ilmu-Ku dan kebijaksanaan-Ku pada kalian melainkan Aku ingin mengampuni kalian atas apa yang telah kalian lakukan dan Aku tidak peduli (besarnya dosa kalian).’” Qatadah mengemukakan: “Tidak. Demi Allah, Allah tidak menjadikannya (Al-Qur’an) sebagai suatu yang menyusahkan, tetapi justru Dia menjadikannya sebagai rahmat, cahaya, dan petunjuk menuju ke surga.” Sesungguhnya Allah menurunkan kitab-Nya dan mengutus Rasul-Nya sebagai rahmat yang dilimpahkan kepada para hamba-Nya agar orang yang ingat semakin ingat, dan orang yang mendengar bisa mengambil manfaat dari apa yang didengarnya dari Kitab Allah. Dan Al-Qur’an merupakan peringatan yang diturunkan oleh Allah yang memuat ketetapan halal dan haram-Nya.
Ad-Din adalah cahaya dan kekayaan, di dunia dan lebih-lebih lagi di akhirat. Tanpa Ad-Din, maka sebaliknyalah yang berlaku di tengah segala kesemuan dunia. Hadits qudsi riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah, ia bercerita, Rasulullah bersabda: “Allah Ta’ala berfirman, ‘Hai anak cucu Adam, luangkanlah waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan memenuhi dadamu dengan kekayaan dan akan Aku tutup kemiskinanmu. Dan jika kamu tidak melakukannya, maka akan Aku penuhi dadamu dengan kesibukan dan tidak pula Aku menutupi kemiskinanmu.’” Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, aku pernah mendengar Nabi bersabda, “Barangsiapa yang menjadikan semua kesusahan menjadi satu kesusahan saja, yaitu kesusahan pada hari kembali kepada-Nya (kiamat), maka Allah akan mencukupkan baginya dari kesusahan dunianya. Dan barangsiapa yang menjadikan kesusahannya bercabang-cabang dalam berbagai kehidupan dunia, maka Allah tidak akan peduli kepadanya, di lembah mana dari bumi-Nya ini ia akan binasa.” Diriwayatkan pula dari hadits Syu’bah, dari Zaid bin Tsabit, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai pusat perhatiannya (tujuannya), maka Allah menceraikan urusannya dan menjadikan kemiskinannya ada di hadapan matanya. Tidak ada sesuatu pun dari dunia ini datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuannya, maka Allah akan menyatukan urusannya dan melimpahkan kekayaan-Nya di dalam hatinya, lalu dunia datang kepadanya dalam keadaan hina.” Disebutkan dalam shahihain, Rasulullah bersabda: “Tidak ada seorang Nabi pun melainkan telah diberikan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan, yang kepadanya manusia beriman. Sedangkan yang diberikan kepadaku adalah berupa wahyu yang diwahyukan oleh Allah kepadaku. Maka aku berharap, aku mempunyai pengikut yang paling banyak pada hari Kiamat kelak.”
Dengan demikian pelajaran yang didapat dari penggalan ayat dari Surat Thaha ini adalah: 1. Sanggahan atas anggapan bahwa beban syari`at adalah kesusahan dan penganiayaan bagi hamba. 2. Penetapan aqidah atas wahyu dan nubuwwah. 3. Penetapan sifat-sifat ilahi seperti istawa dengan kewajiban mengimaninya tanpa ta’wil atau ta`thil atau tasybih, namun dengan menetapkannya sesuai dengan kemuliaan Allah. 4. Penetapan rububiyyah Allah atas segala sesuatu. 5. Penetapan tauhid serta asma Allah yang baik dan sifat-Nya yang tinggi.
Allahu wa Rasuluhu a`lam.
Rujukan:
Jami` Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, Ibnu Jarir Ath-Thabari
Tafsir Al-Qur’an Al-`Azhim, Ibnu Katsir
Ma`alim At-Tanzil, Al-Baghawi
Ruhul Ma`ani fi Tafsir Al-Qur’an Al-`Azhim wa As-Sab` Al-Matsani, Syihabuddin Mahmud Al-Alusi
Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, Muhammad Ibnu Hayyan
Fathul Qadir, Asy-Syaukani
Zadul Masir, Ibnul Jauzi
Mafatihul Ghaib, Fakhruddin Ar-Razi
Nazhm Ad-Durar fi Tanasib Al-Ayat wa As-Suwar, Ibrahim Al-Biqa`i
Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, Nashiruddin Al-Baidhawi
Al-Kasysyaf, Abul Qasim Mahmud Az-Zamakhsyari
An-Nukat wal `Uyun, Abul Hasan `Ali Al-Mawardi
Ad-Durl Mantsur fi Ta’wil bil Ma’tsur, Jalaluddin As-Suyuthi
At-Tahrir wa At-Tanzil, Ibnu `Asyur
Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb
Tafsir Haqqi, Al-Haqqi
Tafsir Al-Wasith, Muhammad Sayyid Thanthawi
Aisarut Tafasir li Kalam Al-`Aliyyil Kabir, Abu Bakar Al-Jaza’iri
Taysir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalam Al-Mannan, `Abdurrahman bin Nashir bin Sa`di
Aisarut Tafasir, As’ad Haumid
Adhwaul Bayan, Muhammad Amin Asy-Syanqithi
Zahrotut Tafasir, Abi Zahrah
Lubabut Ta’wil fi Ma`anit Tanzil, `Alauddin `Ali Al-Khazin
مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى
Maknanya adalah, “Wahai engkau, tidaklah Kami menurunkan kepadamu Al-Qur’an untuk menyusahkanmu. Tidaklah Kami menurunkannya maka Kami membebanimu dengan apa yang tidak kau sanggupi dari mengamalkannya.” Tidaklah Kami menurunkan (dengan keagungan Kami) kepadamu (yang terkemuka dari makhluk Kami) Al-Qur’an (Kitab yang paling agung, yang terkumpul segala kebaikan, penolak segala keburukan, yang telah Kami mudahkan dengan lisanmu) untuk membuatmu susah (yaitu lelahnya hatimu karena sedikitnya yang mengikuti seruanmu dan penentangan kaummu). Az-Zamakhsyari berkata, “Bahwa tidak ada atasmu kecual untuk menyampaikan dan mengingatkan; tidak ditetapkan atasmu untuk bertanggung jawab atas keimanan mereka sehingga tidak perlu melampaui batas dalam menyampaikan risalah serta pengajaran yang baik.”
Pada ayat ini juga terdapat qiro’at/bacaan (ما نزلنا عليك القرآن) sebagai isyarat bahwa Al-Qur’an diturunkan bertahap, tidak sekaligus. Dalam bahasa Arab, huruf (مَا), memiliki fungsi dan makna yang bermacam-macam. Di antaranya, huruf ini bisa merupakan kata sambung (isim maushul), partikel negasi/pengingkaran (harf nafi), serta kata tanya (istifham). Jika ia berfungsi sebagai kata sambung, maka arti dari huruf (مَا) adalah ‘yang’. Sedangkan jika huruf tersebut berfungsi sebagai partikel negasi, maka artinya adalah ‘tidak’. Dalam teks, ia dapat dibedakan melihat konteks kalimat selanjutnya. Untuk pengucapan, pembedanya terletak pada unsur suprasegmentalnya, yaitu unsur bunyi bahasa yang berupa panjang-pendek, lembut-keras, tekanan, nada, dan jeda. Dalam mengucapkan (مَا) dalam arti ‘yang’, tidak diperlukan penekanan; sedangkan jika huruf tersebut berfungsi sebagai partikel negasi, maka perlu penekanan serta terkadang dihiperbolis dengan panjangnya pelafalan. Penempatan kata negasi di awal perkataan merupakan salah satu gaya bahasa Al-Qur’an untuk penegasan suatu hal. Preposisi (علي) secara harfiyah bisa diterjemahkan ‘di atas’. Jika ia tidak berangkai dengan preposisi (ل) maka artinya bisa ditarik secara umum. Akan tetapi, jika preposisi (علي) menemui kata lain dengan preposisi (ل) -secara harfiyah berarti ‘pada’- dalam satu kalimat secara bersamaan, makna preposisi tersebut tidak bisa lagi diterjemahkan secara harfiyah ‘di atas’ atau ‘pada’ lagi. Namun, makna (ل) menunjukkan makna yang baik, sedangkan (علي) menunjukkan makna yang buruk. Contoh dalam Al-Qur’an seperti pada Al-Baqarah ayat 286 (لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ). Adapun huruf lam (ل) pada kata (لِتَشْقَى) adalah sebagai penanda peruntukan/kegunaan (ta`lil).
Surat ini adalah Makkiyyah kesemuanya. Ayatnya berjumlah seratus tiga puluh lima. Terdiri dari 1641 kata dan 5242 huruf. Kaitan surat ini dengan bagian akhir dari surat sebelumnya adalah bahwa ketika Allah menegaskan tentang Al-Qur’an dipermudah dengan lisan (bahasa) Rasulullah saw pada ayat (لتبشر به المتقين وتنذر به قوماً لداً) -Maryam 97- hal ini kemudian dikuatkan dengan firman-Nya (ما أنزلنا عليك القرآن لتشقى إلاّ تذكرة لمن يخشى). Surat ini diawali dengan penegasan kepada Rasulullah saw bahwa tidak ditetapkan atasnya kesusahan dengan risalah yang diturunkan. Setelah itu ada bagian perintah untuk menyembah Allah, Tuhan satu-satunya, yang mengetahui baik yang tampak maupun yang tersembunyi, yang mengetahui yang diluar hati maupun yang dilubuknya, Tuhan tempat manusia kembali baik mereka yang taat maupun yang berpaling. Kemudian diceritakan kisah Musa as di awal risalah, pengutusannya kepada Bani Israil, usaha membawa mereka keluar dari Mesir, dan khususnya cerita munajat Musa as dengan Allah serta pertemuan Musa as dengan Fir`aun dan para penyihirnya, yang dalam kesemuanya itu Allah menegaskan selalui menyertai Musa as (dan Harun as) dikarenakan Allah-lah yang memilihnya. Lalu adapula sekilas kisah tentang Adam as yang diberikan rahmat dan hidayah oleh Allah setelah ia melakukan kesalahan, sehingga manusia setelahnya diberi pilihan untuk mendapat petunjuk atau sesat setelah adanya peringatan serta risalah. Kemudian ditutup dengan kisah penggambaran setelah kiamat.
Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw berkata, “Aku diberikan (surat) Thaha dan dua Surat Taasiin dari lauh-lauh Musa.” (Dikeluarkan oleh Baihaqi dalam As-Sunan dan Hakim dalam Al-Mustadrak). Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah membaca surat Thaha dan surat Yasin seribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. Ketika para malaikat mendengar Al-Qur’an, mereka berkata, ‘Beruntunglah umat yang diturunkan surat itu padanya, beruntunglah rongga yang mengandung surat itu, dan beruntunglah lidah yang berbicara dengan surat itu.’” (Diriwayatkan oleh Darimi dalam As-Sunan). Kedua riwayat tersebut lemah.
Al-Kalbi berkata, “Ketika wahyu diturunkan kepada Rasulullah saw di Makkah, beliau bersungguh-sungguh dalam beribadah, lama berdiri dalam shalat, serta shalat semalaman penuh, maka Allah menurunkan ayat tersebut dan memerintahkan untuk memperingan diri.” Juwaibit meriwayatkan dari Adh-Dhahhak, setelah Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasul-Nya, maka beliau dan juga para sahabatnya melaksanakannya, lalu orang-orang musyrik dari kaum Quraisy berkata: “Al-Qur’an ini diturunkan kepada Muhammad agar dia menjadi susah.” Muqatil berkata, “Sesungguhnya Abu Jahal, Walid bin Mughirah, An-Nadhr bin Al-Harits, dan Muth`im bin `Adi berkata kepada Rasulullah saw ketika mereka melihat banyaknya ibadah beliau, ‘Sungguh kau menjadi susah dengan meninggalkan agama kami, agama bapak-bapakmu.’ Rasulullah menjawab, ‘Tidak demikian, namun aku diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam.’ Mereka berkata lagi, ‘Tidak, bahkan kamu menjadi susah.’” Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat tersebut (Thaha 1-3).
Dalam Sirah Ibnu Hisyam, disebutkan Ibnu Ishaq meriwayatkan tentang keislaman `Umar seperti yang diceritakan oleh adiknya, Fathimah binti Al-Khaththab. Tatkala pada suatu hari Fathimah dan suaminya, Sa`id bin Zaid bin `Amr bin Nufail, dikunjungi oleh Khabbab bin Arat yang membacakan Al-Qur’an di rumah mereka. Ketika itu mereka semua masih menyembunyikan keislamannya dari keluarga besarnya. Di pihak lain, `Umar keluar rumah sambil menghunus pedangnya, dengan maksud ingin membunuh Rasulullah saw. Dalam perjalanan menuju rumah Nabi, ia berpapasan dengan Nu`aim bin `Abdullah An-Naham, seorang laki-laki yang juga dari sesama kaum, Bani `Ady bin Ka`ab. “Hendak ke mana engkau wahai `Umar?” Sapa orang tersebut. “Aku mencari Muhammad, orang yang telah keluar dari agama itu, yang menyelisihi pemimpin Quraisy dan menjelekkan agama mereka serta menghina tuhan-tuhan mereka. Maka aku akan membunuh Muhammad.” Jawabnya. Nu`aim berkata, “Demi Allah! Sudah lupa diri kau wahai `Umar! Apakah engkau mengira Bani Abdi Manaf akan membiarkanmu bebas di bumi jika kau membunuh Muhammad?! Apa kau tidak menengok keluargamu dan memperhatikan mereka?” `Umar bertanya, “Ada apa dengan keluargaku?” Nu`aim menjawab, “Iparmu yang juga anak pamanmu, Sa`id bin Zaid bin `Amr, serta adikmu Fathimah binti Al-Khaththab juga telah berislam dan mengikuti Muhammad dalam agamanya.” Maka `Umar mengurungkan niatnya menuju rumah Rasulullah, dan segera mengubah tujuannya yaitu pergi menemui adik perempuannya dan iparnya. Sementara itu di dalam rumahnya, Fathimah adik `Umar dan suaminya sedang menghadapi shahifah (lembaran wahyu) yang berisi surat Thaha yang dibacakan oleh Khabbab bin Arat. Ketika Khabbab mendengar kedatangan `Umar ia segera menyingkir ke bagian belakang ruangan, sedangkan Fathimah menyembunyikan shahifah Al-Qur’an. Tatkala masuk rumah, `Umar yang sempat mendengar ayat Al-Qur’an yang dibaca Khabbab langsung bertanya, “Apa suara bisik-bisik yang sempat aku dengar dari kalian tadi?” Maka dijawab oleh keduanya bahwa itu hanya sekedar bisik-bisik diantara mereka. “Kudengar bahwa kalian mengikuti agama Muhammad.” Lanjut `Umar sembari menyerang iparnya, Sa`id bin Zaid. Fathimah mendekat untuk menolong suaminya dan mencegah tindakan `Umar. Namun tangan `Umar keburu memukul hingga mengenai adiknya sampai berdarah. Dengan berang Fathimah berujar, “Memang benar kami telah berislam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Silakan perbuat apasaja yang kau mau!” Melihat keteguhan adiknya yang ia lukai, `Umar menyesal atas apa yang telah ia perbuat. “Berikan padaku lembaran yang tadi kalian baca! Aku ingin melihat apa yang telah dibawa Muhammad.” Kata `Umar. Adiknya menjawab, “Sungguh kami takut kepadamu.” `Umar menimpali sambil bersumpah demi tuhan-tuhannya, “Jangan takut padaku.” Dengan harapan kakaknya mau masuk Islam, Fathimah berkata, “Engkau najis lantaran syirik. Sungguh ini (lembaran Al-Qur’an) tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci.” `Umar segera bangkit dan mandi. Selesai mandi ia pegangi lembaran berisi Surat Thaha itu dan mulailah ia membaca isinya. “Alangkah indah dan mulianya kalam ini.” Mendengar ucapan `Umar, Khabbab segera muncul dari ruang belakang lalu berkata, ” Demi Allah, sungguh aku berharap Allah memilihmu atas do`a Nabi saw yang kudengar kemarin, ‘Ya Allah kuatkanlah Islam dengan Abi Al-Hakam bin Hisyam atau dengan `Umar bin Al-Khaththab.’” Mendengar itu, `Umar berkata, ” Wahai Khabbab, tunjukkan padaku di mana Muhammad berada saat ini, aku akan menemuinya dan berislam!” Khabbab menjawab, “Rasulullah saat ini sedang berada di sebuah rumah di kaki bukit Shafa bersama sekelompok sahabatnya.” `Umar segera bergegas menuju tempat yang dimaksud dengan masih membawa pedangnya (karena begitu terburu), iapun menggedor pintu rumah. Seseorang mengintip dari celah pintu dan nampak olehnya sosok `Umar sedang berdiri sambil menghunus pedang. Ia panik dan kembali kepada Rasulullah saw seraya berkata, “Ya Rasulullah, itu `Umar bin Khaththab membawa pedang.” Hamzah bin `Abdul Muththalib, yang juga berada di tempat itu, berkata “Silakan dia masuk. Jika lelaki itu menghendaki kebaikan, kita jamu dia; Jika dia datang menghendaki keburukan, kita bunuh dia dengan pedangnya sendiri.” Rasulullah berkata, “Persilakan dia!” Maka lelaki yang menghampiri `Umar mempersilakannya dan mengantarnya menghadap Rasulullah di dalam ruangan. Beliau saw berkata, “Apa gerangan yang membuatmu datang? Demi Allah, aku kira engkau tidak mau menghentikan tindakanmu, hingga Allah menurunkan bencana?!” Maka `Umar berkata, ” Ya Rasulullah, Aku datang untuk beriman kepada Allah dan Rasulnya dan apa yang datang dari Allah.” Maka bertakbirlah Rasulullah saw sedemikian hingga terdengar oleh seluruh yang berada di dalam ruangan, bahwa `Umar telah masuk Islam.
Tidaklah Al-Qur’an itu diturunkan untuk membawa kesulitan di dunia atau hari kemudian, melainkan ia diturunkan ke dalam hatimu untuk memberi kebahagiaan dengan berakhlak sesuai dengan akhlak Al-Qur’an sehingga menjadi berakhlak mulia yang membahagiaan penduduk langit dan bumi. Karena sesungguhnya agama Islam dan Al-Qur’an adalah kedamaian yang membawa kepada kemenangan dan sebab mendasar bagi setiap kebahagiaan. Karena sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesusahan bagimu “يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ” (Al-Baqarah 185) serta tidak menjadikan kesempitan dalam agama “وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ” (Al-Hajj 78). Al-Qur’an diturunkan sebagai pengingat bagi mereka yang takut kepada Rabb-nya sehingga menyikapinya dengan ketaatan. Justru kekafiran itulah kesusahan yang sebenarnya.
Bukanlah maksud wahyu dan turunnya Al-Qur’an kepadamu serta disyari`atkannya syari`at untuk menyulitkan dengannya, dan menjadikan syari’at itu beban yang menyusahkan bagi penerimanya, dan melemahkan kemampuan orang-orang yang beramal. Wahyu, Al-Qur’an, dan syari`at adalah manhaj dari Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang menjadikannya sarana bagi kebahagiaan, keberuntungan serta kemenangan, yang tujuannya dimudahkan dalam menuju pintu-pintu dan jalannya. Ia adalah makanan yang bergizi bagi hati dan ruh, serta rahmat bagi badan. Ia bisa disikapi oleh fitrah yang murni dan akal yang lurus dengan penerimaan dan kepatuhan, dengan pengetahuan bahwa ia membawa kebaikan serta kemuliaan di dunia dan akhirat.
Al-Qur’an tidak diturunkan untuk membawa kepada kepayahan, tidak diturunkan untuk menyulitkan dalam tilawah dan beribadah dengannya hingga melampaui kesanggupan, tidak pula ia terlalu sulit untuk diterima. Ia adalah pembawa kemudahan bagi manusia, tidak menguras energi yang melebihi kemanusiawian. Ia tidak membebani kecuali sesuai dengan kemampuan optimasi umat. Beribadah menuruti hukum-hukumnya adalah dalam batasan nikmat, bukan hukum yang mencelakakan. Ia adalah kesempatan untuk meniti pertemuan dengan Sang Pencipta dalam keteguhan, kekuatan, dan ketenangan yang diliputi keridhoan-Nya
Barangsiapa yang diberi ilmu oleh Allah, berarti Dia telah menghendaki kebaikan yang banyak baginya, sebagaimana yang ditegasan di dalam kitab shaihain dari Mu’awiyah, dimana dia bercerita, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, maka Dia akan memahamkan ilmu agama kepadanya.” (HR Bukhari dan Muslim). Diriwayatkan oleh Thabrani dari Tsa`labah bin Hakam dari Nabi saw, “Allah akan berkata pada para ulama (yang mengamalkan ilmu mereka) di hari kiamat, ‘Sesungguhnya Aku tidak menjadikan ilmu-Ku dan kebijaksanaan-Ku pada kalian melainkan Aku ingin mengampuni kalian atas apa yang telah kalian lakukan dan Aku tidak peduli (besarnya dosa kalian).’” Qatadah mengemukakan: “Tidak. Demi Allah, Allah tidak menjadikannya (Al-Qur’an) sebagai suatu yang menyusahkan, tetapi justru Dia menjadikannya sebagai rahmat, cahaya, dan petunjuk menuju ke surga.” Sesungguhnya Allah menurunkan kitab-Nya dan mengutus Rasul-Nya sebagai rahmat yang dilimpahkan kepada para hamba-Nya agar orang yang ingat semakin ingat, dan orang yang mendengar bisa mengambil manfaat dari apa yang didengarnya dari Kitab Allah. Dan Al-Qur’an merupakan peringatan yang diturunkan oleh Allah yang memuat ketetapan halal dan haram-Nya.
Ad-Din adalah cahaya dan kekayaan, di dunia dan lebih-lebih lagi di akhirat. Tanpa Ad-Din, maka sebaliknyalah yang berlaku di tengah segala kesemuan dunia. Hadits qudsi riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah, ia bercerita, Rasulullah bersabda: “Allah Ta’ala berfirman, ‘Hai anak cucu Adam, luangkanlah waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan memenuhi dadamu dengan kekayaan dan akan Aku tutup kemiskinanmu. Dan jika kamu tidak melakukannya, maka akan Aku penuhi dadamu dengan kesibukan dan tidak pula Aku menutupi kemiskinanmu.’” Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, aku pernah mendengar Nabi bersabda, “Barangsiapa yang menjadikan semua kesusahan menjadi satu kesusahan saja, yaitu kesusahan pada hari kembali kepada-Nya (kiamat), maka Allah akan mencukupkan baginya dari kesusahan dunianya. Dan barangsiapa yang menjadikan kesusahannya bercabang-cabang dalam berbagai kehidupan dunia, maka Allah tidak akan peduli kepadanya, di lembah mana dari bumi-Nya ini ia akan binasa.” Diriwayatkan pula dari hadits Syu’bah, dari Zaid bin Tsabit, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai pusat perhatiannya (tujuannya), maka Allah menceraikan urusannya dan menjadikan kemiskinannya ada di hadapan matanya. Tidak ada sesuatu pun dari dunia ini datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuannya, maka Allah akan menyatukan urusannya dan melimpahkan kekayaan-Nya di dalam hatinya, lalu dunia datang kepadanya dalam keadaan hina.” Disebutkan dalam shahihain, Rasulullah bersabda: “Tidak ada seorang Nabi pun melainkan telah diberikan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan, yang kepadanya manusia beriman. Sedangkan yang diberikan kepadaku adalah berupa wahyu yang diwahyukan oleh Allah kepadaku. Maka aku berharap, aku mempunyai pengikut yang paling banyak pada hari Kiamat kelak.”
Dengan demikian pelajaran yang didapat dari penggalan ayat dari Surat Thaha ini adalah: 1. Sanggahan atas anggapan bahwa beban syari`at adalah kesusahan dan penganiayaan bagi hamba. 2. Penetapan aqidah atas wahyu dan nubuwwah. 3. Penetapan sifat-sifat ilahi seperti istawa dengan kewajiban mengimaninya tanpa ta’wil atau ta`thil atau tasybih, namun dengan menetapkannya sesuai dengan kemuliaan Allah. 4. Penetapan rububiyyah Allah atas segala sesuatu. 5. Penetapan tauhid serta asma Allah yang baik dan sifat-Nya yang tinggi.
Allahu wa Rasuluhu a`lam.
Rujukan:
Jami` Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, Ibnu Jarir Ath-Thabari
Tafsir Al-Qur’an Al-`Azhim, Ibnu Katsir
Ma`alim At-Tanzil, Al-Baghawi
Ruhul Ma`ani fi Tafsir Al-Qur’an Al-`Azhim wa As-Sab` Al-Matsani, Syihabuddin Mahmud Al-Alusi
Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, Muhammad Ibnu Hayyan
Fathul Qadir, Asy-Syaukani
Zadul Masir, Ibnul Jauzi
Mafatihul Ghaib, Fakhruddin Ar-Razi
Nazhm Ad-Durar fi Tanasib Al-Ayat wa As-Suwar, Ibrahim Al-Biqa`i
Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, Nashiruddin Al-Baidhawi
Al-Kasysyaf, Abul Qasim Mahmud Az-Zamakhsyari
An-Nukat wal `Uyun, Abul Hasan `Ali Al-Mawardi
Ad-Durl Mantsur fi Ta’wil bil Ma’tsur, Jalaluddin As-Suyuthi
At-Tahrir wa At-Tanzil, Ibnu `Asyur
Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb
Tafsir Haqqi, Al-Haqqi
Tafsir Al-Wasith, Muhammad Sayyid Thanthawi
Aisarut Tafasir li Kalam Al-`Aliyyil Kabir, Abu Bakar Al-Jaza’iri
Taysir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalam Al-Mannan, `Abdurrahman bin Nashir bin Sa`di
Aisarut Tafasir, As’ad Haumid
Adhwaul Bayan, Muhammad Amin Asy-Syanqithi
Zahrotut Tafasir, Abi Zahrah
Lubabut Ta’wil fi Ma`anit Tanzil, `Alauddin `Ali Al-Khazin
AL-QUR'AN MUDAH DI PELAJARI
Tarbiyah Syakhsiyah 10 - Membekali Diri dengan Al-Qur’an
*diringkas dari buku “Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah : 16 Langkah Membangun Kepribadian Qur’ani” karya Ustadz Abdul Aziz Abdur Rauf, Al-Hafidz, Lc.
Allah menurunkan Al-Qur’an bagi umat manusia sebagai minhajul hayah (pedoman hidup) yang tidak terikat ruang dan waktu. Sesungguhnya kebenaran dan keindahan Al-Qur’an yang telah dinikmati generasi sahabat dan para salafus shalih dapat kita nikmati pula. Kita harus yakin bahwa jaminan kemudahan menikmati Al-Qur’an -diberikan Allah kepada siapapun- tetap berlaku sepanjang zaman.
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an itu untuk dipelajari. Adakah manusia yang mau mempelajari. (Al-Qamar [54] : 17, 22, 32, dan 40)
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُهَاجِرٍ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْجُرَشِيِّ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّوَّاسَ بْنَ سَمْعَانَ الْكِلَابِيَّ يَقُولُا
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يُؤْتَى بِالْقُرْآنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ تَقْدُمُهُ سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَآلُ عِمْرَانَ وَضَرَبَ لَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَمْثَالٍ مَا نَسِيتُهُنَّ بَعْدُ قَالَ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ ظُلَّتَانِ سَوْدَاوَانِ بَيْنَهُمَا شَرْقٌ أَوْ كَأَنَّهُمَا حِزْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ صَاحِبِهِمَا
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Abdu Rabbih telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim dari Muhammad bin Muhajir dari Al Walid bin Abdurrahman Al Jurasyi dari Jubair bin Nufair ia berkata, saya mendengar An Nawwas bin Sam’an Al Kilabi berkata; Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Al Qur`an akan didatangkan pada hari kiamat bersama Ahlinya yang telah beramal dengannya, dan yang pertama kali adalah surat Al Baqarah dan Ali Imran.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tiga permisalan terkait dengan keduanya, aku tidak akan melupakannya setelah itu. yakni: “Seperti dua tumpuk awan hitam yang diantara keduanya terdapat cahaya, atau seperti dua kelompok burung yang sedang terbang dalam formasi hendak membela pembacanya.” (HR Muslim)
Itulah harapan Allah dan Rasul-Nya kepada setiap mukmin. Untuk itu, Al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia. Sungguh hidup yang hanya sekali ini akan sia-sia jika tidak dimanfaatkan untuk mendapatkan ruh dan cahaya dari Al-Qur’an sebagai penghias jiwa kita. Para salafus shalih sering berdo’a, “Ya Allah, hiasilah diri kami dengan Al-qur’an.”
Dengan Al-Qur’an kita harus dapat memberi sibghah (mewarnai diri) menjadi orang yang “harum baunya dan lezat rasanya” seperti buah utrujjah. Dalam arti, keberadaan kita di tengah-tengah keluarga, masyarakat, bahkan seluruh manusia harus dapat menyebarkan semerbak ketakwaan, mujahadah, jihad, dan sabar. Seperti semerbak bunga-bunga yang harum di taman bunga sebagai atsar (pengaruh) Al-Qur’an yang telah memberi sibghah kepada diri kita.
حَدَّثَنَا هُدْبَةُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ حَدَّثَنَا أَنَسٌ عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالْأُتْرُجَّةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الَّذِي لَا يَقْرَأُ كَالتَّمْرَةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلَا رِيحَ لَهَا وَمَثَلُ الْفَاجِرِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْفَاجِرِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ طَعْمُهَا مُرٌّ وَلَا رِيحَ لَهَا
Telah menceritakan kepada kami Hudbah bin Khalid telah menceritakan kepada kami Hammam telah menceritakan kepada kami Qatadah telah menceritakan kepada kami Anas dari Abu Musa radliyallahu’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Perumpamaan orang mukmin yang membaca Al Qur’an seperti utrujah, rasanya enak dan baunya wangi, dan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Al Qur’an seperti kurma, rasanya enak namun tidak berbau, dan perumpaman orang durhaka yang membaca Al Qur’an seperti buah raihana, baunya wangi namun rasanya pahit, dan perumpamaan orang durhaka yang tidak membaca Al Qur’an seperti buah hanzhalah, rasanya pahit dan tidak berbau.” (HR Bukhari)
Bau yang harum menunjukkan bahwa -mereka yang aktif dengan Al-Qur’an- diamnya saja, membawa ketenangan dan kebahagiaan bagi orang-orang yang berada di sekitarnya. Adapun rasa yang lezat menunjukkan atsar atau dampak positif yang luas atas aktivitasnya. Dengan demikian, bersama Al-Qur’an semakin besarlah manfaat gerakan dakwah yang akan dirasakan oleh manusia di sekelilingnya. Oleh karena itu, seorang yang menyeru kepada jalan allah seharusnya lebih menuntut dirinya untuk menjadi utrujjah-utrujjah masa kini atau menjadi penerus utrujjah-utrujjah yang telah mendahuluinya (salafus shalih). Generasi salaf adalah contoh nyata manusia-manusia utrujjah yang telah membuktikan diri mereka dengan kesabaran, mujahadah, dan keistiqamahan mereka hidup bersama Al-Qur’an. Maka sudah seharusnya kita pun mampu menjadi penerus mereka dan hidup seperti mereka. Dan tidak satupun dalam hidup ini yang menghalangi kita -kecuali diri kita sendiri- untuk menjadi utrujjah seperti Rasulullah, para sahabat, dan pendahulu kita.
Setelah kita sadar betapa pentingnya Al-Qur’an bagi kehidupan, kedekatan yang kuat kepada Allah akan terbentuk dalam diri kita karena Al-Qur’an akan menumbuhkan quwwatudz dzikir (kekuatan selalu ingat kepada Allah), quwwatul munajat (kekuatan selalu berkomunikasi dengan Allah), dan quwwatu hubb (kekuatan mencintai Allah) dalam diri kita yang kemudian melahirkan hati yang peka dalam menerima taujihat (pengarahan) Allah. Al-Qur’an telah memberi kekuatan spiritual yang luar biasa kepada orang-orang yang jujur kepada Rabb-nya untuk meraih kehidupan yang istimewa di sisi-Nya. Mereka buncahkan kecintaan kepada Allah berupa amal dan sikap hidup mereka dengan memenuhi setiap seruan dalam Kitab-Nya. Segala sesuatu yang dianggap berat sebagian manusia, justru mereka rasakan sangat ringan dan sangat nikmat.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang telah dipancarkan Al-Qur’an ke dalam diri kita? sejauh mana Al-Qur’an telah memberi kekuatan kepada diri kita dalam melaksanakan perintah-perintah Allah dengan segera, bahkan tidak hanya kesegeraan, tetapi dilaksanakan dengan penuh riang dan gembira dari awal sampai selesai tanpa menunda-nunda? Disinilah pentingnya memahami bahwa hakikat membekali diri dengan Al-Qur’an, adalah jika ayat-ayat yang kita baca selalu digali pesan-pesan di baliknya.
Imam Hasan Al-Bashri pernah mengecam orang yang mejadikan tilawahnya sebagai amalan seolah Al-Qur’an itu cukup dibaca tanpa serius dalam pengamalannya, apalagi menganggap bahwa membaca (melafadzkan kalimat-kalimatnya) sebagai satu-satunya bentuk pengamalan Al-Qur’an. Logikanya, jika pengamalan Al-Qur’an dengan semata-mata tilawah (tanpa menghafal, tadabbur, dan penerapannya dalam kehidupan) saja dicela ulama, apalagi bagi orang yang enggan membacanya? Terlebih lagi, bagaimana jika mereka yang enggan membaca itu adalah orang yang telah menyatakan diri bertekad memperjuangkan Islam?
Untuk itu, pembekalan diri kita dengan Al-Qur’an harus dimulai dari tahapan-tahapan yang benar. Komitmen adab terhadap Al-Qur’an merupakan upaya yang sangat efektif dalam menumbuhkan kesadaran berinteraksi dengan Al-Qur’an dan mampu menghidupkan ruh-ruhnya. Kesadaran itu akan tercapai melalui tahapan-tahapan berikut: Tumbuhkan sedalam-dalamnya keimanan kita kepada Allah. Lakukan semua perintah-Nya sebaik-baiknya, niscaya iman akan tumbuh dalam diri kita. Keimanan yang baik akan mampu merasakan keagungan Al-Qur’an dengan baik. Biasakan diri mentadabburi Al-Qur’an melalui Al-Qur’an terjemahan, kitab tafsir, atau mengikuti kajian tafsir di majelis-majelis ilmu. Berusaha segera melaksanakan segala yang dikehendaki Allah. Sebab, merealisasi satu ayat tidak hanya berdampak bagi peningkatan iman, tetapi berdampak pula pada semakin dalamnya pemahaman kita terhadap isyarat-isyarat Al-Qur’an. Berusaha merasakan bahwa semua khitab (instruksi) Allah adalah khitab untuk diri kita, bukan untuk orang lain. Abdullah bin Mas`ud ra berkata, “Wahai kaum mukminin! Jika Allah menyerumu, konsentrasikan pendengaranmu. Karena di balik itu ada suatu kebaikan yang diperintahkan atau kejahatan yang dilarang.”
Dengan cara-cara seperti inilah, insya Allah setiap ayat yang kita baca, dengar, hafal dan bentuk interaksi apapun akan selalu membekali diri kita, untuk menghadapi kehidupan yang penuh dengan tantangan ini.
AL-QUR'AN PELITA DI TENGAH KEGELAPAN
Pasca wafatnya khalifah Abu Bakar ra, mushhaf Ash-Shiddiqiyyah beralih ke tangan `Umar bin Khaththab ra sebagai khalifah kaum muslimin yang baru selama sepuluh tahun kepemimpinan beliau. Kemudian setelah `Umar ra meninggal dunia, mushhaf tersebut disimpan oleh putrinya, Hafshah ra, ummul mukminin, istri Rasulullah saw. Ketika `Utsman bin `Affan ra menjadi khalifah, beliau tidak serta merta mengambil alih kepemilikan mushhaf. Sebagaimana diketahui bahwa `Utsman ra memiliki sifat haya’ (malu), sehingga dapat dimengerti jika beliau mendahulukan respek ketimbang memerintahkan kepada Hafshah ra untuk menyerahkan mushhaf kepadanya sebagai khalifah yang baru. `Utsman ra memberikan kepercayaan kepada Hafshah ra dengan statusnya sebagai putri `Umar ra serta istri Nabi saw. Mushhaf berada di tangan terpercaya dan tidak perlu dikhawatirkan.
Pada masa kekhilafahan `Utsman ra, Islam meluas hingga Russia (kini) sampai Armenia dan Azerbaijan. Di daerah tersebut bertemu dua pasukan besar kaum muslimin: pasukan Iraq yang mana mereka membaca Al-Qur’an dengan qiro’at seorang sahabat yang mulia, `Abdullah bin Mas`ud ra; dan pasukan dari Syam yang membaca dengan qiro’at Abu Darda’ ra. Diantara kedua pasukan itu saling mendengar bacaan Al-Qur’an satu sama lain. Salah seorang pasukan membaca, “وأتموا الحج والعمرة للبيت” kemudian yang lain berkata, “Bukan seperti itu. Tapi seperti ini: وَاَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ” (Al-Baqarah: 196) saling membantah dan berselisih hingga mendekati perkelahian. Sengketa itu diketahui oleh seorang sahabat kepercayaan Rasulullah saw, yang menyimpan rahasia nama-nama orang munafiq di masa nabi, Hudzaifah bin Yaman ra, yang pada satu kesempatan pernah berkata, “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan, adapun aku bertanya tentang keburukan karena takut terjerumus ke dalamnya.” Terlihat bagaimana jauhnya pandangan Hudzaifah ra melebihi yang lain.
Hudzaifah ra melihat bagaimana berselisihnya pasukan tersebut hingga saling mengaku, “Bacaanku lebih shahih daripada bacaanmu.” Kemudian beliau kembali ke madinah dan menyampaikan kejadian itu serta kekhawatirannya kepada khalifah `Utsman bin `Affan ra, “Cegahlah umat ini sebelum mereka menyelisihi kitabnya sebagaimana Yahudi dan Nashrani berselisih.” `Utsman ra menghadapi situasi dimana di kalangan umat tersebar Al-Qur’an, ada yang bacaannya terdokumentasi, dan ada yang dipertanyakan. Maka `Utsman ra bertindak untuk mengembalikan kaum muslimin kepada nash yang benar, yaitu nash yang tertulis pada mushhaf ash-shiddiqiyah berupa salinan dari manuskrip yang ditulis di hadapan Rasulullah. Tentang perdebatan ayat tersebut, pada mushhaf tertulis (لله) dan bukannya (للبيت); maka yang shahih adalah (لله) dan bukannya (للبيت). Maka bagi yang membaca (للبيت) itu menyelisihi nash asli yang tertulis. Permasalahan ini terjadi pada perorangan. Namun bagaimana imbasnya jika terjadi pada seluruh umat?!
Allah telah memberi petunjuk kepada para khalifah. Dalam hal ini Rasulullah saw pun pernah bersabda, “Ikutilah sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang diberi petunjuk setelahku. Gigitlah petunjuk itu dengan gerahammu.” Khalifah `Utsman ra kemudian kembali memanggil seorang Zaid bin Tsabit ra. Seperti telah dibahas, Zaid ra adalah penulis Al-Qur’an di masa Rasulullah saw, kemudian menulisnya lagi di masa Abu Bakar ra, lalu kembali mendapat tugas yang sama di hadapan `Utsman ra.
Karena kini halnya menjadi urgen, `Utsman menghubungi Hafshah ra dan meminta dikirimi mushhaf untuk kemudian nantinya akan dikembalikan lagi. Maka Hafshah ra mengirim mushhaf utuh Al-Qur’an lengkap tertulis. Lalu dibentuklah komite yang terdiri dari orang-orang Quraisy, dikarenakan Quraisy merupakan arab yang paling fasih serta di antara mereka adalah para penulis. Komite tersebut dipimpin langsung oleh Zaid bin Tsabit ra. Inilah fasa baru dalam sekian tahapan penulisan Al-Qur’an. Komite tersebut bertugas untuk menyalin mushhaf ash-shiddiqi, yang ditulis oleh Zaid ra di masa Abu Bakar ra, menjadi beberapa salinan. Di bawah pimpinan Zaid ra, mulailah komite ini membuat salinan demi salinan sejumlah yang diperintahkan oleh Khalifah `Utsman ra. Semua salinan itu persis seperti aslinya, huruf dan kalimatnya, merujuk kepada mushhaf ash-shiddiqi yang berasal dari tulisan di hadapan Rasulullah saw.
Mushhaf-mushhaf yang baru tersebut dikirimkan ke berbagai wilayah besar. Inilah tahap ketiga. Mushhaf itu ditujukan guna menjadi pedoman dalam menulis Al-Qur’an. Satu salinan masing-masing dikirimkan ke Kufah, Bashrah, Syam, dan Makkah. Adapun untuk Madinah disisakan dua salinan, satu untuk kaum muslimin di kota itu, dan satu lagi disimpan oleh khalifah. Dan ada yang meriwayatkan bahwa salinan juga dikirimkan ke Yaman dan Bahrain (di masa itu Bahrain adalah daerah sepanjang pesisir timur jazirah Arab yang kini wilayah itu termasuk juga Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Qatar). Maka dikatakan kepada kaum di wilayah itu untuk melihat mushhaf yang dikirimkan. Jika cocok dengan tulisan Al-Qur’an yang ada padanya, biarkan; namun jika ada yang berbeda maka buanglah (bakar) dan rujuklah kepada mushhaf dari khalifah `Utsman ra. Catat bahwa `Utsman ra tidak mengada-adakan sesuatu yang baru. Semua yang dilakukan beliau adalah membawa umat kepada nash asli yang ditulis di masa Ash-Shiddiq. Adapun perintah membakar mushhaf yang menyelisihi adalah bentuk penghormatan terhadap kalimat-kalimat Allah yang tercantum diantaranya agar tidak dibuang bersama sampah-sampah lain.
Akhirnya, setelah hadir mushhaf referensi kiriman khalifah, masuklah ke tahapan selanjutnya yaitu penulisan salinan besar-besaran sehingga mushhaf Al-Qur’an tersebar luas di negeri-negeri kaum muslimin. Segala puji bagi Allah, karena semua mushhaf itu shahih, tidak ada tempat bagi tambahan dan tidak ada pengurangan satu huruf pun.
Perhatian kaum muslimin kepada kitab Rabb-nya seakan tiada batas, walaupun telah tersebar luas dengan jumlah yang tak terhitung. Para ulama berkata, apa yang tertulis di mushhaf yang mana tulisannya itu merujuk kepada tulisan yang dibuat di hadapan Rasulullah saw dan telah mengalami beberapa tahap salinan, mengandung dua hal pokok. Pertama, yang bentuk tulisannya sama dengan tulisan umumnya (imla’); kedua, yang bentuk tulisannya berbeda dari tulisan umumnya di beberapa segi, atau memiliki tambahan huruf. Contoh, kata (الحَمْدُ) dari ayat “الْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَـٰلَمِينَ” (Al-Fatihah: 2) adalah sama antara yang tertulis di mushhaf dengan tulisan biasa pada umumnya. Bagitu juga halnya dengan kata (لله) dan (رب). Adapun kata (العَـٰلَمِينَ) pada imla’ (tulisan umum) ditulis dengan alif mad tegak setelah huruf `ain: (العالمين), namun ianya ditulis di hadapan Rasulullah saw berupa (العَـٰلَمِينَ) tanpa alif yang memanjang. Adapula yang tertulis dengan cara tertentu yang berbeda dengan cara membacanya, seperti kata (الصَّلَوٰة) yang ditulis dengan waw namun dibaca dengan alif. Adapun ditulis waw adalah dengan hikmah Allah yang mengetahuinya. Para ulama kemudian mengumpulkan bagian-bagian yang pada mushhaf ditulis berbeda dengan apa yang biasa ditulis secara umumnya hingga muncullah disiplin ilmu baru yang direpresentasikan dalam kitab-kitab rasm mashahif. Dari situ dirumuskan kaidah-kaidah penulisan mushhaf yang mana terdapat perbedaan cara penulisan dengan imla’ umumnya. Misalnya, bab tentang alif yang dibuang, membahas tentang kata-kata yang menghilangkan alif seperti pada ayat “مَـٰلِكِ يَوْمِ الدِّينِ” (Al-Fatihah: 4) tidak ditulis dengan alif seperti (مالك) sebagaimana ia dibaca. Contoh lain pada ayat “ذلِكَ الْكِتَـٰبُ” (Al-Baqarah: 2) juga tidak ditulis dengan alif. Ada pula, bab tentang alif tambahan, membahas tentang kata-kata dalam Al-Qur’an yang padanya tambahan alif seperti pada (قَالُواْ) di akhir katanya, dan dinamai alif tafriq yang ditulis namun tidak dilafalkan. Bab tentang waw tambahan, membahas tentang kata-kata dalam Al-Qur’an yang padanya tambahan waw seperti pada (أُوْلـٰئِكَ) tertulis waw akan tetapi tidak dilafazkan. Contoh lain pada ayat “أُولِي الأيْدِي والأبصَـٰرِ” (Shad: 45) waw pada kata (أُولِي) ditulis tapi tidak diucapkan. Bagitu pula halnya dengan bab tentang ya’ tambahan, serta sebaliknya bab tentang ya’ yang dibuang. Kemudian bab tentang yang ditulis berpisah (أَن َّلا), sebaliknya juga bab tentang yang ditulis bersambung (أَلاَّ). Bab tentang yang ditulis dengan ta’ mabsuthah seperti pada kata (رَحْمَت) yang di beberapa bagian dalam mushhaf ditulis dengan ta’ mabsuthah; dan di bagian-bagian lain ditulis dengan ta’ marbuthah. Kesemua hal itu (beserta perkara lainnya) masuk dalam pembahasan ulama. Demikianlah penjagaan dalam bantuk kaidah-kaidah penulisan. Hal ini dikarenakan mushhaf asli di masa `Utsman ra bisa saja lapuk karena masa, terbakar, atau hilang, atau karena peperangan. Kekhawatiran itupun terjadi. Sebagian mushhaf musnah karena terbakar, dan sebagian karena hal lainnya. Namun, nash Al-Qur’an tetap lestari dengan rahmat Allah terjaga hingga zaman kita. Maka dari itu, mushhaf yang ada pada masa kini wajib kita akui sebagai yang terjamin keshahihahnnya. Demi Allah, isinya sama dengan apa yang ditulis di hadapan Rasulullah pada tahap penulisan yang paling awal. Tidak ada tambahan huruf; tidak ada pengurangan huruf; tidak ada buatan `Utsman ra sedikitpun. Adapun penamaan mushhaf `utsmani atau rasm `utsmani adalah sebagai konotasi, bukan hakikat.
Rasm `utsmani berarti rasm (penulisan) yang disebarkan dimasa `Utsman ra, dan bukan rasm yang dibuat `Utsman ra. Ada beberapa kitab yang membahas tentang ini dan mengambil kesimpulan yang berbeda. Persepsi itu tidaklah shahih. `Utsman ra tidak melakukan apapun kecuali membuat salinan mushhaf ash-shiddiqiyah. Adapun tentang pendapat-pendapat yang berkata lain, maka itu semua tanpa dalil. Dengan demikian, sampai kepada kita mushhaf tertulis yang (jism-nya: bentuk huruf-per-huruf) murni tanpa pengurangan maupun tambahan. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu datang kepada mereka (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al Qur’an itu adalah kitab yang mulia.” (Fushshilat: 41) Kata `aziz (yang mulia) dalam arti bahasa ialah tercegah dari apa-apa yang ingin mendekatinya. Jika dikatakan, “فلان عزيز في قومه” yakni bermakna ia dijaga sehingga kaumnya tidak bisa meraihnya. Kalimat “وَإِنَّهُ لَكِتَـٰبٌ عَزِيزٌ” yakni berarti tidak mungkin bisa didekati oleh pengubahan atau penyelewengan. “Yang tidak datang kepadanya (Al Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42). Semua kata dengan penulisan rasm `utsmani telah ditulis dengan hikmah yang mungkin saja sebagainnya tidak bisa dimengerti oleh kita. Begitulah Al-Qur’an adalah keajaiban yang tidak pernah habis. Maka siapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an ditulis setelah zaman Muhammad saw hendaknya memberi bukti. Adapun perkataan-perkataan tanpa dalil, maka tidak ada pendirian dalam hal itu.
Pada masa kekhilafahan `Utsman ra, Islam meluas hingga Russia (kini) sampai Armenia dan Azerbaijan. Di daerah tersebut bertemu dua pasukan besar kaum muslimin: pasukan Iraq yang mana mereka membaca Al-Qur’an dengan qiro’at seorang sahabat yang mulia, `Abdullah bin Mas`ud ra; dan pasukan dari Syam yang membaca dengan qiro’at Abu Darda’ ra. Diantara kedua pasukan itu saling mendengar bacaan Al-Qur’an satu sama lain. Salah seorang pasukan membaca, “وأتموا الحج والعمرة للبيت” kemudian yang lain berkata, “Bukan seperti itu. Tapi seperti ini: وَاَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ” (Al-Baqarah: 196) saling membantah dan berselisih hingga mendekati perkelahian. Sengketa itu diketahui oleh seorang sahabat kepercayaan Rasulullah saw, yang menyimpan rahasia nama-nama orang munafiq di masa nabi, Hudzaifah bin Yaman ra, yang pada satu kesempatan pernah berkata, “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan, adapun aku bertanya tentang keburukan karena takut terjerumus ke dalamnya.” Terlihat bagaimana jauhnya pandangan Hudzaifah ra melebihi yang lain.
Hudzaifah ra melihat bagaimana berselisihnya pasukan tersebut hingga saling mengaku, “Bacaanku lebih shahih daripada bacaanmu.” Kemudian beliau kembali ke madinah dan menyampaikan kejadian itu serta kekhawatirannya kepada khalifah `Utsman bin `Affan ra, “Cegahlah umat ini sebelum mereka menyelisihi kitabnya sebagaimana Yahudi dan Nashrani berselisih.” `Utsman ra menghadapi situasi dimana di kalangan umat tersebar Al-Qur’an, ada yang bacaannya terdokumentasi, dan ada yang dipertanyakan. Maka `Utsman ra bertindak untuk mengembalikan kaum muslimin kepada nash yang benar, yaitu nash yang tertulis pada mushhaf ash-shiddiqiyah berupa salinan dari manuskrip yang ditulis di hadapan Rasulullah. Tentang perdebatan ayat tersebut, pada mushhaf tertulis (لله) dan bukannya (للبيت); maka yang shahih adalah (لله) dan bukannya (للبيت). Maka bagi yang membaca (للبيت) itu menyelisihi nash asli yang tertulis. Permasalahan ini terjadi pada perorangan. Namun bagaimana imbasnya jika terjadi pada seluruh umat?!
Allah telah memberi petunjuk kepada para khalifah. Dalam hal ini Rasulullah saw pun pernah bersabda, “Ikutilah sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang diberi petunjuk setelahku. Gigitlah petunjuk itu dengan gerahammu.” Khalifah `Utsman ra kemudian kembali memanggil seorang Zaid bin Tsabit ra. Seperti telah dibahas, Zaid ra adalah penulis Al-Qur’an di masa Rasulullah saw, kemudian menulisnya lagi di masa Abu Bakar ra, lalu kembali mendapat tugas yang sama di hadapan `Utsman ra.
Karena kini halnya menjadi urgen, `Utsman menghubungi Hafshah ra dan meminta dikirimi mushhaf untuk kemudian nantinya akan dikembalikan lagi. Maka Hafshah ra mengirim mushhaf utuh Al-Qur’an lengkap tertulis. Lalu dibentuklah komite yang terdiri dari orang-orang Quraisy, dikarenakan Quraisy merupakan arab yang paling fasih serta di antara mereka adalah para penulis. Komite tersebut dipimpin langsung oleh Zaid bin Tsabit ra. Inilah fasa baru dalam sekian tahapan penulisan Al-Qur’an. Komite tersebut bertugas untuk menyalin mushhaf ash-shiddiqi, yang ditulis oleh Zaid ra di masa Abu Bakar ra, menjadi beberapa salinan. Di bawah pimpinan Zaid ra, mulailah komite ini membuat salinan demi salinan sejumlah yang diperintahkan oleh Khalifah `Utsman ra. Semua salinan itu persis seperti aslinya, huruf dan kalimatnya, merujuk kepada mushhaf ash-shiddiqi yang berasal dari tulisan di hadapan Rasulullah saw.
Mushhaf-mushhaf yang baru tersebut dikirimkan ke berbagai wilayah besar. Inilah tahap ketiga. Mushhaf itu ditujukan guna menjadi pedoman dalam menulis Al-Qur’an. Satu salinan masing-masing dikirimkan ke Kufah, Bashrah, Syam, dan Makkah. Adapun untuk Madinah disisakan dua salinan, satu untuk kaum muslimin di kota itu, dan satu lagi disimpan oleh khalifah. Dan ada yang meriwayatkan bahwa salinan juga dikirimkan ke Yaman dan Bahrain (di masa itu Bahrain adalah daerah sepanjang pesisir timur jazirah Arab yang kini wilayah itu termasuk juga Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Qatar). Maka dikatakan kepada kaum di wilayah itu untuk melihat mushhaf yang dikirimkan. Jika cocok dengan tulisan Al-Qur’an yang ada padanya, biarkan; namun jika ada yang berbeda maka buanglah (bakar) dan rujuklah kepada mushhaf dari khalifah `Utsman ra. Catat bahwa `Utsman ra tidak mengada-adakan sesuatu yang baru. Semua yang dilakukan beliau adalah membawa umat kepada nash asli yang ditulis di masa Ash-Shiddiq. Adapun perintah membakar mushhaf yang menyelisihi adalah bentuk penghormatan terhadap kalimat-kalimat Allah yang tercantum diantaranya agar tidak dibuang bersama sampah-sampah lain.
Akhirnya, setelah hadir mushhaf referensi kiriman khalifah, masuklah ke tahapan selanjutnya yaitu penulisan salinan besar-besaran sehingga mushhaf Al-Qur’an tersebar luas di negeri-negeri kaum muslimin. Segala puji bagi Allah, karena semua mushhaf itu shahih, tidak ada tempat bagi tambahan dan tidak ada pengurangan satu huruf pun.
Perhatian kaum muslimin kepada kitab Rabb-nya seakan tiada batas, walaupun telah tersebar luas dengan jumlah yang tak terhitung. Para ulama berkata, apa yang tertulis di mushhaf yang mana tulisannya itu merujuk kepada tulisan yang dibuat di hadapan Rasulullah saw dan telah mengalami beberapa tahap salinan, mengandung dua hal pokok. Pertama, yang bentuk tulisannya sama dengan tulisan umumnya (imla’); kedua, yang bentuk tulisannya berbeda dari tulisan umumnya di beberapa segi, atau memiliki tambahan huruf. Contoh, kata (الحَمْدُ) dari ayat “الْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَـٰلَمِينَ” (Al-Fatihah: 2) adalah sama antara yang tertulis di mushhaf dengan tulisan biasa pada umumnya. Bagitu juga halnya dengan kata (لله) dan (رب). Adapun kata (العَـٰلَمِينَ) pada imla’ (tulisan umum) ditulis dengan alif mad tegak setelah huruf `ain: (العالمين), namun ianya ditulis di hadapan Rasulullah saw berupa (العَـٰلَمِينَ) tanpa alif yang memanjang. Adapula yang tertulis dengan cara tertentu yang berbeda dengan cara membacanya, seperti kata (الصَّلَوٰة) yang ditulis dengan waw namun dibaca dengan alif. Adapun ditulis waw adalah dengan hikmah Allah yang mengetahuinya. Para ulama kemudian mengumpulkan bagian-bagian yang pada mushhaf ditulis berbeda dengan apa yang biasa ditulis secara umumnya hingga muncullah disiplin ilmu baru yang direpresentasikan dalam kitab-kitab rasm mashahif. Dari situ dirumuskan kaidah-kaidah penulisan mushhaf yang mana terdapat perbedaan cara penulisan dengan imla’ umumnya. Misalnya, bab tentang alif yang dibuang, membahas tentang kata-kata yang menghilangkan alif seperti pada ayat “مَـٰلِكِ يَوْمِ الدِّينِ” (Al-Fatihah: 4) tidak ditulis dengan alif seperti (مالك) sebagaimana ia dibaca. Contoh lain pada ayat “ذلِكَ الْكِتَـٰبُ” (Al-Baqarah: 2) juga tidak ditulis dengan alif. Ada pula, bab tentang alif tambahan, membahas tentang kata-kata dalam Al-Qur’an yang padanya tambahan alif seperti pada (قَالُواْ) di akhir katanya, dan dinamai alif tafriq yang ditulis namun tidak dilafalkan. Bab tentang waw tambahan, membahas tentang kata-kata dalam Al-Qur’an yang padanya tambahan waw seperti pada (أُوْلـٰئِكَ) tertulis waw akan tetapi tidak dilafazkan. Contoh lain pada ayat “أُولِي الأيْدِي والأبصَـٰرِ” (Shad: 45) waw pada kata (أُولِي) ditulis tapi tidak diucapkan. Bagitu pula halnya dengan bab tentang ya’ tambahan, serta sebaliknya bab tentang ya’ yang dibuang. Kemudian bab tentang yang ditulis berpisah (أَن َّلا), sebaliknya juga bab tentang yang ditulis bersambung (أَلاَّ). Bab tentang yang ditulis dengan ta’ mabsuthah seperti pada kata (رَحْمَت) yang di beberapa bagian dalam mushhaf ditulis dengan ta’ mabsuthah; dan di bagian-bagian lain ditulis dengan ta’ marbuthah. Kesemua hal itu (beserta perkara lainnya) masuk dalam pembahasan ulama. Demikianlah penjagaan dalam bantuk kaidah-kaidah penulisan. Hal ini dikarenakan mushhaf asli di masa `Utsman ra bisa saja lapuk karena masa, terbakar, atau hilang, atau karena peperangan. Kekhawatiran itupun terjadi. Sebagian mushhaf musnah karena terbakar, dan sebagian karena hal lainnya. Namun, nash Al-Qur’an tetap lestari dengan rahmat Allah terjaga hingga zaman kita. Maka dari itu, mushhaf yang ada pada masa kini wajib kita akui sebagai yang terjamin keshahihahnnya. Demi Allah, isinya sama dengan apa yang ditulis di hadapan Rasulullah pada tahap penulisan yang paling awal. Tidak ada tambahan huruf; tidak ada pengurangan huruf; tidak ada buatan `Utsman ra sedikitpun. Adapun penamaan mushhaf `utsmani atau rasm `utsmani adalah sebagai konotasi, bukan hakikat.
Rasm `utsmani berarti rasm (penulisan) yang disebarkan dimasa `Utsman ra, dan bukan rasm yang dibuat `Utsman ra. Ada beberapa kitab yang membahas tentang ini dan mengambil kesimpulan yang berbeda. Persepsi itu tidaklah shahih. `Utsman ra tidak melakukan apapun kecuali membuat salinan mushhaf ash-shiddiqiyah. Adapun tentang pendapat-pendapat yang berkata lain, maka itu semua tanpa dalil. Dengan demikian, sampai kepada kita mushhaf tertulis yang (jism-nya: bentuk huruf-per-huruf) murni tanpa pengurangan maupun tambahan. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu datang kepada mereka (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al Qur’an itu adalah kitab yang mulia.” (Fushshilat: 41) Kata `aziz (yang mulia) dalam arti bahasa ialah tercegah dari apa-apa yang ingin mendekatinya. Jika dikatakan, “فلان عزيز في قومه” yakni bermakna ia dijaga sehingga kaumnya tidak bisa meraihnya. Kalimat “وَإِنَّهُ لَكِتَـٰبٌ عَزِيزٌ” yakni berarti tidak mungkin bisa didekati oleh pengubahan atau penyelewengan. “Yang tidak datang kepadanya (Al Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42). Semua kata dengan penulisan rasm `utsmani telah ditulis dengan hikmah yang mungkin saja sebagainnya tidak bisa dimengerti oleh kita. Begitulah Al-Qur’an adalah keajaiban yang tidak pernah habis. Maka siapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an ditulis setelah zaman Muhammad saw hendaknya memberi bukti. Adapun perkataan-perkataan tanpa dalil, maka tidak ada pendirian dalam hal itu.
AL-QUR'AN IMAM KU
Sebagaimana telah diketahui bahwa Nabi saw adalah seorang dari bangsa Arab. Bangsa Arab berbicara dengan menggunakan bahasa Arab. Pada zaman Muhammad saw, bangsa Arab terdiri dari banyak kabilah yang sebagiannya menetap di Makkah, Yatsrib (Madinah), sebagian lagi tinggal di kawasan Bani Tamim (sekarang Riyadh), adapula yang berdomisili di pesisir timur jazirah Arab. Kabilah-kabilah tersebut berbicara dengan bahasa Arab. Setelah sebelumnya dibahas dari segi penulisan, di segmen ini akan dibahas tentang Al-Qur’an dari segi lisan.
Nabi saw berasal dari kabilah yang paling terkenal dan mulia di antara bangsa Arab, yaitu kabilah Quraisy. Kabilah Quraisy adalah keturunan dari Ismail bin Ibrahim as. Seluruh bangsa Arab pada zaman Nabi saw memiliki kesamaan dalam berbahasa. Namun, terdapat pula perbedaan dalam beberapa kata. Perbedaan itu dinamai lahjah. Begitulah kondisi yang ada ketika Al-Qur’an diturunkan dan bangsa Arab terdiri dari banyak lahjah dalam bahasanya. Perbedaan lahjah itu terdiri dari tiga hal mendasar.
Pertama, perbedaan cara pengucapan pada suatu kata yang sama. Sebagian Arab mengucaplan (يُؤْمِنُون); yang lain melafalkan (يُومِنُونَ). Kata yang sama namun berbeda dalam cara mengucapkannya. Sebagian lagi mengucapkan (عليهِم); yang lain melafalkan (عليهُم); lain lagi (عليهِمُو). Sama saja itupun kata yang satu dan tidak berubah maknanya, akan tetapi berbeda cara pengucapannya. Sebagian Arab berkata (موسى) dengan fathah; yang lain berkata (موسى) dengan imalah kubra; dan yang lain berkata (موسى) dengan imalah shughra. Semua itu bahasa Arab, namun kabilah ini cara mengucapkannya begitu dalam kesehariannya. Mereka memanggil satu sama lain dengan panggilan (يا موسى) dengan imalah; dan di kabilah lain memanggil (يا موسَى) dengan fathah. Inilah jenis perbedaan lahjah yang pertama.
Kedua, perbedaan makna kata. Suatu kata dikenal oleh kabilah yang satu dan juga kabilah yang lain. Akan tetapi, kabilah yang satu ketika mengucapkan kata tersebut menghendaki suatu arti; sedangkan kabilah yang lain ketika mengucapkan kata yang sama menghendaki arti yang lain. Contoh pada kata (صبأ), yang bagi kabilah Quraisy berarti “penyembah bintang” dan juga bermakna secara umum “keluar dari agama”. Tentang hal ini ada satu kisah, ketika Rasulullah saw mengutus Khalid bin Walid ra bersama sejumlah sahabat kepada suatu kabilah untuk menyelidiki apakah mereka sudah berislam atau tidak. Bagitu Khalid ra sampai dan menemui sejumlah orang dari kabilah, orang-orang dari kabilah itu berkata, “صبَأْنا صبأنا” yang mereka maksud adalah “kami telah keluar dari agama kami dan masuk Islam.” Utusan Rasulullah saw memahaminya dengan makna bahwa orang-orang kabilah itu adalah penyembah bintang. Maka utusan Rasulullah saw berkata, “Kalian akan kami perangi.” Sampai berita itu kepada Nabi saw, kemudian Beliau saw bersabda, “اللهم إني أبرأ إليك ممّا صنَع خالد” Contoh lain pada kata (لمَستُمْ) yang bagi sebagian kabilah bermaksud (لمَستم) dari kata (اللَّمس) yang berarti “menyentuh”; sedangkan bagi kabilah lain bermaksud (الجِماع) yang berarti “berhubungan badan.” Ada pula kata (قُرُوء) yang bagi sebagian kabilah bermakna “masa suci wanita”; dan bagi kabilah lain bermakna “haid”. Itulah juga yang dimaksud lahjah.
Ketiga, adanya kata pada satu lahjah yang tidak ada pada lahjah yang lainnya. Abu Bakar ra pernah ditanya tentang ayat, “وَفَـٰكِهَةً وَأَبًّا” (`Abasa: 31) Kata (أبّاً) tidak ada dalam perbendaharaan kata Quraisy. Abu Bakar ra adalah orang Quraisy sehingga beliau tidak mengetahuinya, dan berkata, “Di bumi mana aku akan berpijak; di langit mana aku akan bernaung, jika aku berkata tentang kitabullah apa yang aku tidak ketahui.” Kemudian tentang kalimat “فَاطِرُ السَّمَـٰو ٰتِ” Ibnu `Abbas ra berkata, “Aku tidak mengetahui apa maksudnya ‘فَاطِرُ السَّمَـٰو ٰتِ’ hingga datang dua orang Arab menemui `Umar bin Khaththab ra di tepi sumur kemudian salah satunya berkata, ‘يا أمير المؤمنين: أنا فطَرْتها’ (Wahai Amirul Mukminin, aku yang menggali-membuat- sumur itu)” Maka ‘فَاطِرُ السَّمَـٰو ٰتِ’ berarti ‘pencipta langit’. Ibnu `Abbas ra adalah orang Quraisy yang dijuluki ‘penerjemah Al-Qur’an’ dan dengan gelar itupun beliau tidak mengetahui arti kata tersebut. Jelas bahwa kata tersebut tidak digunakan dalam bahasa dan lingkungan Quraisy. Al-Qur’an disebut sebagai `Arabiy dan bukan Qurasyiy. Al-Qur’an meliputi bahasa seluruh kabilah atau sebagian besar darinya. Akan tetapi, kata-kata di dalamnya banyak berasal dari lahjah Quraisy karena Qurasyiy dikenal di seluruh kabilah lantaran kebagusan serta letak geografisnya yang strategis.
Kini jika kita mengamati lahjah penduduk Makkah, akan didapati kemiripan dengan bahasa Mesir, Indonesia, India, Turki, Syam, Iraq, dan sebagainya. Hal itu dikarenakan letak geografisnya yang menyebabkan ia didatangi oleh banyak orang dari berbagai penjuru sehingga bahasanya menyebar dan sebagian kata-katanya diserap oleh bangsa lain. Begitu pula pada zaman Rasulullah saw dimana kaumnya saling mengambil lahjah satu sama lain. Allah berfirman, “وَءَاتَتْ كُلَّ وَٰحِدَةٍ مِّنْهُنَّ سِكّينًا” (Yusuf: 31) Kata (سكّين) -berarti pisau- tidak dipakai oleh kabilah Daus. Salah satu sahabat dari kabilah itu adalah Abu Hurairah `Abdurrahman bin Shakhr Ad-Dausiy ra yang satu ketika duduk di majelis, dan Rasulullah saw berkata kepadanya, “أعطني السكّين” (berikan pisau itu padaku) Maka bingunglah Abu Hurairah ra, “ما هذه السكّين ؟” (apa itu السكّين?) Rasulullah saw mengulangi permintaannya, “يا أبا هريرة أعطني السكّين” (wahai Abu Hurairah, berikan pisau itu padaku) Maka Abu Hurairah berkata, “آلمُدْيَة تريد ؟” (آلمُدْيَة yang engkau minta?) Itu karena di kabilah Abu Hurairah ra, pisau (السكين) disebut dengan kata (مُدْيَة). Maka Abu Hurairah ra berkata, “Aku tidak pernah mendengar kata ‘السكين’ sebelum mendengarnya dari Rasulullah saw.”
Begitulah situasi kebahasaan pada masa diturunkannya Al-Qur’an di zaman Rasulullah saw. Tiga hal itu adalah pokok perbedaan di antara lahjah atau dialek mereka. Ambil kasus, jika kita meminta orang dari maghrib (Maroko) untuk berbicara dengan lahjah Mesir, apakah bisa? Atau orang Mesir berbicara dengan lahjah Iraq? Demikian pula pada zaman diturunkannya Al-Qur’an, jika orang yang bisanya berkata (يُؤْمِنُونَ) disuruh untuk berkata (يُومِنُونَ); atau siapa yang biasa berkata (موسى) dengan fathah supaya mengucapkan (موسى) dengan imalah, dan sebaliknya. Tentu saja hal itu sulit.
Datang Jibril as dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan kepada umatmu Al-Qur’an dengan satu huruf.” maksudnya satu cara. Rasulullah saw berkata, “Wahai Jibril, sesungguhnya aku diutus kepada kaum ummiy (buta huruf) yang diantara mereka ada orang tua dan wanita. Maka mintalah keringanan dari Rabbmu.” Jibril as pergi kemudian kembali lagi dan berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf.” Hingga akhirnya Jibril as berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan kepada umatmu Al-Qur’an dengan tujuh huruf, semuanya baik dan mencukupi.” Maka Nabi saw berkata kepada para sahabat, “Bacalah sebagaimana kamu diajarkan.” Oleh karena itu, jika datang sahabat yang membaca dengan imalah, maka Nabi saw membenarkannya; dan jika datang sahabat yang tidak membaca dengan imalah, maka Nabi saw juga membenarkannya. Begitulah karena beliau saw diperintahkan untuk membacakan Al-Qur’an seperti itu. “Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dengan tujuh huruf.”
Ingat kembali bahwa Al-Qur’an diturunkan ke dalam hati Nabi saw dan bukan ke pendengaran. Ada beberapa yang berkata, “Begitukah Jibril membaca kali pertama dengan fathah dan kali kedua dengan imalah?” Jawabannya, sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw tidak seperti kita bertalaqqi. Al-Qur’an diturunkan ke dalam hatinya yang mulia dengan cara yang dinamai wahyu. Tidak ada yang mengetahui bagaimananya kecuali sang penerimanya sendiri. Perlu kita garisbawahi bahwa semua ilmu diturunkan serta-merta ke dalam hati Nabi saw, berbeda dengan cara talaqqi kita melalui telinga.
Nabi saw diperintahkan untuk membacakan kepada manusia sesuai dengan karakter bahasanya. Hal itu untuk memudahkan umat. Contohnya, jika Nabi saw membacakan kepada salah seorang sahabat “وَعَلَى أَبْصَـٰرِهِمْ غِشَـٰوَةٌ” dan kepada sahabat yang lain membacakan “وَعَلَى أَبْصَـٰرِهِمْ غِشَـٰوَةٌ” dengan imalah pada (أَبْصَـٰرِهِمْ) dan kepada sahabat yang lain lagi membacakan “وَعَلَى أَبْصَـٰرِهِمْ غِشَـٰوَةٌ” dengan imalah di dua kata (أَبْصَـٰرِهِمْ) serta (غِشَـٰوَةٌ), maknanya tidak berbeda antara satu dengan yang lain. Namun barangkali yang satu sulit untuk melafazkan bacaan yang lain.
Abu Bakar As-Sijistani, seorang ulama besar Al-Qur’an, menceritakan, “Seorang arab badui membaca kepadaku di Masjidil Haram, ‘الَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُوا الصَّـٰلِحَـٰتِ طُوبَى لَهُمْ وَحُسْنُ مَـآبٍ’ (Ar-Ra`d: 29) Maka aku berkata -membenarkan- kepadanya ‘طُوبى’ arab badui itu membaca lagi ‘طيبى’ Aku berkata -membenarkan- lagi ‘طُوبى’ kemudian arab badui itu membaca lagi ‘طيبى’ Tidak juga sesuai. Setelah lama seperti itu terus, akhirnya aku berkata kepadanya, ‘طو, طو ,’ Kemudian arab badui itu berkata ‘طي , طي..’ Yakni tak kunjung sesuai, seolah-olah ia berkata, ‘Dialekku tidak bisa diubah.’”
Oleh karena itu, kemudahan Rabbani ini adalah rahmat bagi umat dengan tidak membebani mereka dengan sesuatu yang tidak mampu dipikul. Para sahabat mempelajari Al-Qur’an dari Rasulullah saw mengikut lahjah dan kabilah mereka. Kemudian setelah sempurna, mereka beranjak untuk menyampaikan Al-Qur’an secara lisan. Maka setiap sahabat membacakan kepada generasi setelahnya sebagaimana apa yang dipelajarinya. Misal, bagi yang mempelajari “حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ أُمَّهَاتُكُمُ وَبَنَاتُكُمُ وَأَخَوٰتـُكُمُ وَعَمَّـٰتـُكُمُ” dengan dhommah mim jama`, begitu pulalah menyampaikannya. Sedangkan bagi yang bertalaqqi “حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوٰتـُكُمْ وَعَمَّـٰتـُكُمْ” (An-Nisa: 23) dengan sukun mim jama`, dengan begitu pulalah menyampaikannya.
Dengan cara itulah Al-Qur’an disampaikan kepada tabi`in. Setiap sahabat mengajarkan kepada generasi setelahnya sebagaimana yang ia pelajari. Maka kentaralah perbedaan cara membaca (qiro’at) pada nash al-Qur’an.
Nabi saw berasal dari kabilah yang paling terkenal dan mulia di antara bangsa Arab, yaitu kabilah Quraisy. Kabilah Quraisy adalah keturunan dari Ismail bin Ibrahim as. Seluruh bangsa Arab pada zaman Nabi saw memiliki kesamaan dalam berbahasa. Namun, terdapat pula perbedaan dalam beberapa kata. Perbedaan itu dinamai lahjah. Begitulah kondisi yang ada ketika Al-Qur’an diturunkan dan bangsa Arab terdiri dari banyak lahjah dalam bahasanya. Perbedaan lahjah itu terdiri dari tiga hal mendasar.
Pertama, perbedaan cara pengucapan pada suatu kata yang sama. Sebagian Arab mengucaplan (يُؤْمِنُون); yang lain melafalkan (يُومِنُونَ). Kata yang sama namun berbeda dalam cara mengucapkannya. Sebagian lagi mengucapkan (عليهِم); yang lain melafalkan (عليهُم); lain lagi (عليهِمُو). Sama saja itupun kata yang satu dan tidak berubah maknanya, akan tetapi berbeda cara pengucapannya. Sebagian Arab berkata (موسى) dengan fathah; yang lain berkata (موسى) dengan imalah kubra; dan yang lain berkata (موسى) dengan imalah shughra. Semua itu bahasa Arab, namun kabilah ini cara mengucapkannya begitu dalam kesehariannya. Mereka memanggil satu sama lain dengan panggilan (يا موسى) dengan imalah; dan di kabilah lain memanggil (يا موسَى) dengan fathah. Inilah jenis perbedaan lahjah yang pertama.
Kedua, perbedaan makna kata. Suatu kata dikenal oleh kabilah yang satu dan juga kabilah yang lain. Akan tetapi, kabilah yang satu ketika mengucapkan kata tersebut menghendaki suatu arti; sedangkan kabilah yang lain ketika mengucapkan kata yang sama menghendaki arti yang lain. Contoh pada kata (صبأ), yang bagi kabilah Quraisy berarti “penyembah bintang” dan juga bermakna secara umum “keluar dari agama”. Tentang hal ini ada satu kisah, ketika Rasulullah saw mengutus Khalid bin Walid ra bersama sejumlah sahabat kepada suatu kabilah untuk menyelidiki apakah mereka sudah berislam atau tidak. Bagitu Khalid ra sampai dan menemui sejumlah orang dari kabilah, orang-orang dari kabilah itu berkata, “صبَأْنا صبأنا” yang mereka maksud adalah “kami telah keluar dari agama kami dan masuk Islam.” Utusan Rasulullah saw memahaminya dengan makna bahwa orang-orang kabilah itu adalah penyembah bintang. Maka utusan Rasulullah saw berkata, “Kalian akan kami perangi.” Sampai berita itu kepada Nabi saw, kemudian Beliau saw bersabda, “اللهم إني أبرأ إليك ممّا صنَع خالد” Contoh lain pada kata (لمَستُمْ) yang bagi sebagian kabilah bermaksud (لمَستم) dari kata (اللَّمس) yang berarti “menyentuh”; sedangkan bagi kabilah lain bermaksud (الجِماع) yang berarti “berhubungan badan.” Ada pula kata (قُرُوء) yang bagi sebagian kabilah bermakna “masa suci wanita”; dan bagi kabilah lain bermakna “haid”. Itulah juga yang dimaksud lahjah.
Ketiga, adanya kata pada satu lahjah yang tidak ada pada lahjah yang lainnya. Abu Bakar ra pernah ditanya tentang ayat, “وَفَـٰكِهَةً وَأَبًّا” (`Abasa: 31) Kata (أبّاً) tidak ada dalam perbendaharaan kata Quraisy. Abu Bakar ra adalah orang Quraisy sehingga beliau tidak mengetahuinya, dan berkata, “Di bumi mana aku akan berpijak; di langit mana aku akan bernaung, jika aku berkata tentang kitabullah apa yang aku tidak ketahui.” Kemudian tentang kalimat “فَاطِرُ السَّمَـٰو ٰتِ” Ibnu `Abbas ra berkata, “Aku tidak mengetahui apa maksudnya ‘فَاطِرُ السَّمَـٰو ٰتِ’ hingga datang dua orang Arab menemui `Umar bin Khaththab ra di tepi sumur kemudian salah satunya berkata, ‘يا أمير المؤمنين: أنا فطَرْتها’ (Wahai Amirul Mukminin, aku yang menggali-membuat- sumur itu)” Maka ‘فَاطِرُ السَّمَـٰو ٰتِ’ berarti ‘pencipta langit’. Ibnu `Abbas ra adalah orang Quraisy yang dijuluki ‘penerjemah Al-Qur’an’ dan dengan gelar itupun beliau tidak mengetahui arti kata tersebut. Jelas bahwa kata tersebut tidak digunakan dalam bahasa dan lingkungan Quraisy. Al-Qur’an disebut sebagai `Arabiy dan bukan Qurasyiy. Al-Qur’an meliputi bahasa seluruh kabilah atau sebagian besar darinya. Akan tetapi, kata-kata di dalamnya banyak berasal dari lahjah Quraisy karena Qurasyiy dikenal di seluruh kabilah lantaran kebagusan serta letak geografisnya yang strategis.
Kini jika kita mengamati lahjah penduduk Makkah, akan didapati kemiripan dengan bahasa Mesir, Indonesia, India, Turki, Syam, Iraq, dan sebagainya. Hal itu dikarenakan letak geografisnya yang menyebabkan ia didatangi oleh banyak orang dari berbagai penjuru sehingga bahasanya menyebar dan sebagian kata-katanya diserap oleh bangsa lain. Begitu pula pada zaman Rasulullah saw dimana kaumnya saling mengambil lahjah satu sama lain. Allah berfirman, “وَءَاتَتْ كُلَّ وَٰحِدَةٍ مِّنْهُنَّ سِكّينًا” (Yusuf: 31) Kata (سكّين) -berarti pisau- tidak dipakai oleh kabilah Daus. Salah satu sahabat dari kabilah itu adalah Abu Hurairah `Abdurrahman bin Shakhr Ad-Dausiy ra yang satu ketika duduk di majelis, dan Rasulullah saw berkata kepadanya, “أعطني السكّين” (berikan pisau itu padaku) Maka bingunglah Abu Hurairah ra, “ما هذه السكّين ؟” (apa itu السكّين?) Rasulullah saw mengulangi permintaannya, “يا أبا هريرة أعطني السكّين” (wahai Abu Hurairah, berikan pisau itu padaku) Maka Abu Hurairah berkata, “آلمُدْيَة تريد ؟” (آلمُدْيَة yang engkau minta?) Itu karena di kabilah Abu Hurairah ra, pisau (السكين) disebut dengan kata (مُدْيَة). Maka Abu Hurairah ra berkata, “Aku tidak pernah mendengar kata ‘السكين’ sebelum mendengarnya dari Rasulullah saw.”
Begitulah situasi kebahasaan pada masa diturunkannya Al-Qur’an di zaman Rasulullah saw. Tiga hal itu adalah pokok perbedaan di antara lahjah atau dialek mereka. Ambil kasus, jika kita meminta orang dari maghrib (Maroko) untuk berbicara dengan lahjah Mesir, apakah bisa? Atau orang Mesir berbicara dengan lahjah Iraq? Demikian pula pada zaman diturunkannya Al-Qur’an, jika orang yang bisanya berkata (يُؤْمِنُونَ) disuruh untuk berkata (يُومِنُونَ); atau siapa yang biasa berkata (موسى) dengan fathah supaya mengucapkan (موسى) dengan imalah, dan sebaliknya. Tentu saja hal itu sulit.
Datang Jibril as dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan kepada umatmu Al-Qur’an dengan satu huruf.” maksudnya satu cara. Rasulullah saw berkata, “Wahai Jibril, sesungguhnya aku diutus kepada kaum ummiy (buta huruf) yang diantara mereka ada orang tua dan wanita. Maka mintalah keringanan dari Rabbmu.” Jibril as pergi kemudian kembali lagi dan berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf.” Hingga akhirnya Jibril as berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan kepada umatmu Al-Qur’an dengan tujuh huruf, semuanya baik dan mencukupi.” Maka Nabi saw berkata kepada para sahabat, “Bacalah sebagaimana kamu diajarkan.” Oleh karena itu, jika datang sahabat yang membaca dengan imalah, maka Nabi saw membenarkannya; dan jika datang sahabat yang tidak membaca dengan imalah, maka Nabi saw juga membenarkannya. Begitulah karena beliau saw diperintahkan untuk membacakan Al-Qur’an seperti itu. “Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dengan tujuh huruf.”
Ingat kembali bahwa Al-Qur’an diturunkan ke dalam hati Nabi saw dan bukan ke pendengaran. Ada beberapa yang berkata, “Begitukah Jibril membaca kali pertama dengan fathah dan kali kedua dengan imalah?” Jawabannya, sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw tidak seperti kita bertalaqqi. Al-Qur’an diturunkan ke dalam hatinya yang mulia dengan cara yang dinamai wahyu. Tidak ada yang mengetahui bagaimananya kecuali sang penerimanya sendiri. Perlu kita garisbawahi bahwa semua ilmu diturunkan serta-merta ke dalam hati Nabi saw, berbeda dengan cara talaqqi kita melalui telinga.
Nabi saw diperintahkan untuk membacakan kepada manusia sesuai dengan karakter bahasanya. Hal itu untuk memudahkan umat. Contohnya, jika Nabi saw membacakan kepada salah seorang sahabat “وَعَلَى أَبْصَـٰرِهِمْ غِشَـٰوَةٌ” dan kepada sahabat yang lain membacakan “وَعَلَى أَبْصَـٰرِهِمْ غِشَـٰوَةٌ” dengan imalah pada (أَبْصَـٰرِهِمْ) dan kepada sahabat yang lain lagi membacakan “وَعَلَى أَبْصَـٰرِهِمْ غِشَـٰوَةٌ” dengan imalah di dua kata (أَبْصَـٰرِهِمْ) serta (غِشَـٰوَةٌ), maknanya tidak berbeda antara satu dengan yang lain. Namun barangkali yang satu sulit untuk melafazkan bacaan yang lain.
Abu Bakar As-Sijistani, seorang ulama besar Al-Qur’an, menceritakan, “Seorang arab badui membaca kepadaku di Masjidil Haram, ‘الَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُوا الصَّـٰلِحَـٰتِ طُوبَى لَهُمْ وَحُسْنُ مَـآبٍ’ (Ar-Ra`d: 29) Maka aku berkata -membenarkan- kepadanya ‘طُوبى’ arab badui itu membaca lagi ‘طيبى’ Aku berkata -membenarkan- lagi ‘طُوبى’ kemudian arab badui itu membaca lagi ‘طيبى’ Tidak juga sesuai. Setelah lama seperti itu terus, akhirnya aku berkata kepadanya, ‘طو, طو ,’ Kemudian arab badui itu berkata ‘طي , طي..’ Yakni tak kunjung sesuai, seolah-olah ia berkata, ‘Dialekku tidak bisa diubah.’”
Oleh karena itu, kemudahan Rabbani ini adalah rahmat bagi umat dengan tidak membebani mereka dengan sesuatu yang tidak mampu dipikul. Para sahabat mempelajari Al-Qur’an dari Rasulullah saw mengikut lahjah dan kabilah mereka. Kemudian setelah sempurna, mereka beranjak untuk menyampaikan Al-Qur’an secara lisan. Maka setiap sahabat membacakan kepada generasi setelahnya sebagaimana apa yang dipelajarinya. Misal, bagi yang mempelajari “حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ أُمَّهَاتُكُمُ وَبَنَاتُكُمُ وَأَخَوٰتـُكُمُ وَعَمَّـٰتـُكُمُ” dengan dhommah mim jama`, begitu pulalah menyampaikannya. Sedangkan bagi yang bertalaqqi “حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوٰتـُكُمْ وَعَمَّـٰتـُكُمْ” (An-Nisa: 23) dengan sukun mim jama`, dengan begitu pulalah menyampaikannya.
Dengan cara itulah Al-Qur’an disampaikan kepada tabi`in. Setiap sahabat mengajarkan kepada generasi setelahnya sebagaimana yang ia pelajari. Maka kentaralah perbedaan cara membaca (qiro’at) pada nash al-Qur’an.
AL-QUR'AN PENUNTUN KU
Beralih ke masa abad kedua Hijriah dimana terjadi perumusan dan penulisan ilmu-ilmu syar`i. Pada masa Nabi saw, tidak ada penulisan ilmu dari beliau selain Al-Qur’an. Nabi saw berkata, “Jangan kalian tulis dariku sesuatu selain Al-Qur’an. Siapa yang menulis dariku sesuatu selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya.” Hanya sedikit, terbatas jumlahnya, dari para sahabat yang menulis selain Al-Qur’an, diantaranya `Abdullah bin `Amr bin `Ash ra. Itu dilakukan karena dikhawatirkan Al-Qur’an akan bercampur dengan tulisan-tulisan yang lain.
Pada masa perumusan di abad kedua Hijriah itu, muncullah para penulis yang memfokuskan diri membahas qiro’at qari’ tertentu yang ditulis oleh murid-murid sang qari’. Semua perawi yang mentransmisikan bacaan sama sekali tidak membuat-buat qiro’at Al-Qur’an. Tidak seperti klaim para orientalis yang mengatakan bahwa qiro’at adalah buatan para rawi. Bagaimana bisa muncul opini semacam itu?! Apakah jika (pembuatan bacaan) itu terjadi maka kaum muslimin akan mendiamkan saja?! Contoh kasus, jika kita shalat berjama`ah dan imam di hadapan kita membaca “الحمدَ لله رب العالمين” dengan fathah dal pada (الحمد) maka apa yang akan direspon oleh jama`ahnya? Semua akan merespon “الحمدُ , الحمدُ..” dan menunjukkan pengingkaran yang tegas terhadap kesalahan semacam itu meskipun hanya berupa kesalahan kecil berupa perubahan dari dhommah dal ke fathah. Itu yang akan kita lakukan, di masa kini, setelah ratusan tahun. Bayangkan apa yang akan dilakukan umat terdahulu jika kesalahan bacaan Al-Qur’an itu terjadi pada masa-masa awal dan terjadi di Makkah dan Madinah pula?!
Kemudian pada abad ketiga Hijriah, muncullah para penulis yang mengumpulkan dan membahas beberapa macam bacaan: Riwayat Warsy `an Nafi`, Riwayat Qalun `an Nafi`, riwayat fulan, riwayat fulan. Lalu muncul generasi berikutnya yang memiliki semangat yang tinggi dan mendatangi para syaikh, menjadi murid setia sang syaikh. Setelah selesai belajar dari syaikh yang satu, kemudian pergi ke syaikh yang lain dan belajar bacaan darinya. Setelah selesai membaca, kemudian pergi ke syaikh yang ketiga, keempat, kesepuluh, dan seterusnya. Akhirnya seusai itu, ia mengumpulkan semua ilmu bacaan yang diperolehnya ke dalam satu kitab. Muncullah disiplin ilmu qiro’at secara tertulis. Penting digarisbawahi, bahwa yang dimaksud adalah rumusan ilmu secara tertulis. Adapun praktek qiro’at secara lafaz telah ada sejak awal seperti yang telah dibahas sebelum ini. Tulisan-tulisan/buku-buku itu berisi pembahasan semisal: Warsy membaca (وَباِلآخِرَةِِ) dengan naql harakat hamzah ke lam sebelumnya dan dengan tarqiq ra’; fulan membaca (وَباِلآخِرَةِِ) dengan hamzah fathah dan setelahnya ra’ mufakhkham; fulan membaca (وَباِلآخِرَةِِ) dengan saktah pada lam sebelum hamzah; fulan membaca (وَباِلآخِرَةِِ) dengan imalah jika waqf. Semua itu kembali kepada cara-cara ketika ditalaqqi dari Rasulullah saw menurut perbedaan kabilah dan perbedaan lahjah.
Ada hal penting disini, apakah semua qiro’at yang diterima dari Rasulullah saw semuanya terkait dengan lahjah saja ataukah ada perkara lain? Sekitar 95% dari qiro’at Al-Qur’an berkaitan dengan perkara kebahasaan, contohnya: (يُؤْمِنُونَ) dan (يُومِِنُونَ); (مُوسَى) dengan fathah dan (مُوسَى) dengan imalah; serta contoh lain yang serupa dengan itu. Kira-kira 5% dari qiro’at berhubungan dengan makna (tidak ada kaitan dengan kabilah maupun lahjah). Dan tidak ada pertentangan makna, bahkan itu semua adalah i`jaz nash qur’ani. Misalnya pada firman Allah, “مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ” ayat itu juga dapat dibaca “مَـٰلِكِ يَوْمِ الدِّينِ” Masalah ini bukan tentang kabilah atau lahjah. Lafaz (المَلِك) -berarti raja- dan (المالك) -berarti pemilik- adalah dua hal yang berbeda. Dapat dikatakan bahwa (الإنسان مالكاً) -orang itu adalah pemilik- dan bukan (مَلِكاً) -raja-. Setiap kita adalah pemilik mobil, rumah, baju, uang, namun bukan raja. Dapat juga dikatakan bahwa (مَلِكاً) -orang itu adalah raja- dan bukan (مالك) -pemilik-. Apakah seorang raja memiliki rakyatnya, atau rumah-rumah, atau jalan-jalan? Seorang raja tidak memiliki, namun menguasai urusan pemerintahan. Maka kata (المَلِك) dibawa artinya kepada makna (الحاكم) -hakim-. Allah berkehendak untuk menyampaikan kemuliaan-Nya sebagai pemilik Hari Pembalasan dan juga sebagai hakim di Hari Pembalasan. Maka di Hari Kiamat tidak ada yang dapat mengaku memiliki sesuatupun, karena semuanya milik Allah; juga tidak ada yang dapat bertindak sebagai pemegang urusan, karena semua urusan ada pada Allah. Allah berfirman, “(Yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatupun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (Lalu Allah berfirman): ‘Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?’ Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (Ghafir: 16) Allah juga berfirman, “Katakanlah: ‘Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan..” (Ali `Imran: 26) Tidak difirmankan “ملِكَ الملك”; akan tetapi “مَـٰلِكَ الْمُلْكِ” Dan firman Allah “مَلِكِ النَّاسِ” (An-Nas: 2) tidak difirmankan “مَالكِ الناس” Seperti halnya ayat “مَـٰلِكَ الْمُلْكِ” menyampaikan bahwa Allah adalah pemilik (المالك); dan ayat “مَلِكِ النَّاسِ” menyampaikan bahwa Allah adalah raja (مَلِك) dalam arti hakim atau pemegang kekuasaan; ayat pada surat Al-Fatihah dalam nash yang sama dan pada saat yang sama menyampaikan bahwa Allah adalah raja sekaligus juga pemilik. Dengan dua macam qiro’at pada kalimat (مـلِكَ) bernilai seperti dua ayat yang satu sama lain maknanya saling menyempurnakan. Tidaklah ada pertentangan maupun konflik diantaranya. Hal ini termasuk dari sekian mukjizat pada nash Al-Qur’an.
Contoh lain pada firman Allah, “وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ” (Al-Baqarah: 10) Pada qiro’at yang lain untuk ayat yang sama dibaca “وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يُكَذِّبُونَ” Hal itu tidak ada hubungan dengan kabilah dan lahjah. Kata (يَكْذِبون) adalah fi`il mudhari` yang mana fi’il madhi-nya (كَذَبَ); sedangkan kata (كَذّبَ) adalah fi`il mudhari` yang mana fi`il madhi-nya (كَذّبَ). Kata (كَذَبَ) dengan takhfif berarti “jika berkata, ia berdusta.” Adapun kata (كذّب) dengan tasydid memiliki makna “ia berkata kepada orang lain: engkau dusta.” Yang satu maksudnya “berdusta”; yang satu lagi maksudnya “mendustakan.” Maka Allah memberitahu kita bahwa mereka adalah kaum yang berkata dusta sekaligus juga jika para rasul datang, mereka mendustakannya. Dengan demikian kedua qiro’at pada nash yang sama ini serupa dengan dua ayat masing-masing mengabarkan makna yang berbeda satu sama lain, akan tetapi tidak bertolak-belakang ataupun paradoks antara dua makna tersebut.
Perhatikan kembali bahwa jenis perbedaan cara membaca ini mungkin tidak melebihi 5% dari keseluruhan qiro’at Al-Qur’an. Adapun sebagian besar perkara qiro’at adalah yang berkaitan dengan dialek. Ada penentang-penentang Islam yang berpendapat bahwa qiro’at ini adalah buatan para qari’. Dengan ini kita bisa balik bertanya: Siapa yang membuat?! Bagaimana membuatnya?! Siapa yang akan membiarkan ada orang membuat-buat sesuatu tentang Al-Qur’an?!
Tugas membawa bacaan (qiro’at) Al-Qur’an secara lisan dari generasi ke generasi itu tetap ada hingga sekarang. Tugas itu diterima oleh qari’ mutakhashshishin. Tidak semua muslim berkewajiban untuk menguasainya. Jika ditanya, apakah kita semua ahli hadits? Apakah kita semua ahli fiqh? Begitu pula tidak semua dari kita adalah qari’. Akan tetapi menjadi fardhu kifayah bagi umat agar ada di antara mereka muhadditsin yang memperhatikan hadits Rasulullah saw karena dikhawatirkan terjadi perubahan atasnya. Juga menjadi fardhu kifayah bagi umat supaya ada di antara mereka qurra’ yang memperhatikan nash Al-Qur’an dengan segala perbedaan qiro’atnya. Mereka adalah bagian dari umat yang bangkit untuk menjaga bagian-bagian syari`at. Fuqoha menjaga bagiannya, ulama ushul menjaga bagiannya, da`i menjaga bagiannya, cendekiawan Islam menjaga bagiannya, ahli ekonomi Islam menjaga bagiannya, ahli politik Islam menjaga bagiannya, semuanya berintegrasi dalam menjaga syari`at dan menjaga ad-dien.
Dengan qiro’at Al-Qur’an ini -dengan rahmat Allah- hingga kini setelah 1400 tahun, masih ada di antara kita qurra’ mutqinun di Syam, di Mesir, di Turki, di Yaman, di Maroko, dan di sejumlah negara muslim. Yang mereka semua bertalaqqi Al-Qur’an dengan semua qiro’atnya dari para guru mereka dengan sanad yang bersambung hingga Rasulullah saw. Silsilah sanad para syaikh yang dikenal namanya, diketahui wafatnya, dan diketahui hidupnya. Dengan kualitas yang seandainya Imam Al-Bukhari melihatnya pasti beliau akan mengambil darinya. Adapun silsilah antara kita dengan Rasulullah saw yang terpendek (sanad `ali) pada zaman ini adalah 27 orang. Cukuplah bagi mereka bahwa Allah telah memilih mereka untuk menerima estafet kitab-Nya dari generasi ke generasi. Allah berfirman, “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami” (Fathir: 32) Perhatikan kata “اصْطَفَيْنَا” (telah Kami pilih) Siapakah yang memilih? Allah-lah yang memilih. Dengan telinganya, para qari` itu telah mendengar (sima`an) Al-Qur’an dari gurunya ketika gurunya melafalkan. Kemudian juga melafalkan di hadapan gurunya (`ardhan) selagi telinga gurunya mendengarkannya. Begitu pulalah gurunya kepada gurunya, lalu kepada guru sebelumnya hingga para sahabat kepada Rasulullah saw. Mutawatir.
Maka angkatlah kepalamu, dan berbanggalah dengan kitab Rabb-mu yang bersandar di kedua tanganmu, yang sampai kepadamu dari Rasulullah saw secara lisan dan tulisan, dengan cara dokumentasi yang agung, yang dikenal dan dipuji oleh para cendekiawan di universitas, yang dibicarakan metodologinya serta objektivitasnya. Apa yang dilakukan oleh para salaf (pendahulu) kita adalah cara dokumentasi dengan derajat yang tinggi. Segala puji bagi Allah. Maka berbahagialah dengan hal ini dan bersyukurlah atas nikmat Allah dengan hadirnya Al-Qur’an di antara kita, shahih tanpa perubahan, komplit tanpa pengurangan. Tidak akan pernah didekati perubahan atau penyelewengan hingga Allah mengizinkannya dan hingga akhir zaman.
Disebutkan di sebagian atsar: Sesungguhnya akhir dari Al-Qur’an -karena sesungguhnya ia terjaga dari perubahan, dan tidak akan datang kiamat kecuali setelahnya-, manusia bangun di pagi hari dan ketika semua yang menghafal bagian dari Al-Qur’an telah melupakannya serta mushhaf hanyalah tersisa lembaran-lembaran kertas, dan Allah telah menelantarkan penduduk bumi karena banyakanya kerusakan pada zaman itu, seolah-olah Allah berkata, “Kalian tidak layak disapa karena kalian telah meninggalkan kalam-Ku maka pecahlah kemarahan-Ku” Dan setiap yang ada pada waktu itu adalah seburuk-buruk makhluq, mereka berkata, “Dahulu leluhur kami pernah berkata, ‘Allah, Allah’ kata yang kami dengar dari mereka, namun kami tidak menyadari dan tidak tau maknanya.” Maka pada kaum itulah terjadi kiamat.
Kita memohon ampunan Allah, dan berjanji untuk bersama-sama menerima kitab Rabb kita, serta membacanya dengan penuh perhatian, karena Allah menurunkannya untuk kita tadabburi. “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapat pelajaran.” (Shad: 29) Oleh karena itu, pertama: membacanya; kedua: mentadabburinya; ketiga: mengamalkannya. Membaca adalah satu langkah saja, kemudian tadabbur. Tidak cukup membaca tanpa tadabbur. Jika sudah membaca dan tadabbur serta memahami, itupun belum cukup. Harus mengamalkannya.
“أسأل الله عز وجل أن يبارك لنا في القرآن الكريم، وأن يُديم علينا هذه النعمة, وأن يُليِّن ألسنتنا بتلاوة القرآن, وأن يجعلنا وإياكم من أهل القرآن الذين هم أهله وخاصَّته, وأن يُطلِق ألسنتنا بتلاوة القرآن الكريم, وأن يجعلنا وإياكم عنده من المقبولين, إنه تعالى سميع قريب مجيب، والحمد لله رب العالمين.”
(selesai walillahil hamdu)
Pada masa perumusan di abad kedua Hijriah itu, muncullah para penulis yang memfokuskan diri membahas qiro’at qari’ tertentu yang ditulis oleh murid-murid sang qari’. Semua perawi yang mentransmisikan bacaan sama sekali tidak membuat-buat qiro’at Al-Qur’an. Tidak seperti klaim para orientalis yang mengatakan bahwa qiro’at adalah buatan para rawi. Bagaimana bisa muncul opini semacam itu?! Apakah jika (pembuatan bacaan) itu terjadi maka kaum muslimin akan mendiamkan saja?! Contoh kasus, jika kita shalat berjama`ah dan imam di hadapan kita membaca “الحمدَ لله رب العالمين” dengan fathah dal pada (الحمد) maka apa yang akan direspon oleh jama`ahnya? Semua akan merespon “الحمدُ , الحمدُ..” dan menunjukkan pengingkaran yang tegas terhadap kesalahan semacam itu meskipun hanya berupa kesalahan kecil berupa perubahan dari dhommah dal ke fathah. Itu yang akan kita lakukan, di masa kini, setelah ratusan tahun. Bayangkan apa yang akan dilakukan umat terdahulu jika kesalahan bacaan Al-Qur’an itu terjadi pada masa-masa awal dan terjadi di Makkah dan Madinah pula?!
Kemudian pada abad ketiga Hijriah, muncullah para penulis yang mengumpulkan dan membahas beberapa macam bacaan: Riwayat Warsy `an Nafi`, Riwayat Qalun `an Nafi`, riwayat fulan, riwayat fulan. Lalu muncul generasi berikutnya yang memiliki semangat yang tinggi dan mendatangi para syaikh, menjadi murid setia sang syaikh. Setelah selesai belajar dari syaikh yang satu, kemudian pergi ke syaikh yang lain dan belajar bacaan darinya. Setelah selesai membaca, kemudian pergi ke syaikh yang ketiga, keempat, kesepuluh, dan seterusnya. Akhirnya seusai itu, ia mengumpulkan semua ilmu bacaan yang diperolehnya ke dalam satu kitab. Muncullah disiplin ilmu qiro’at secara tertulis. Penting digarisbawahi, bahwa yang dimaksud adalah rumusan ilmu secara tertulis. Adapun praktek qiro’at secara lafaz telah ada sejak awal seperti yang telah dibahas sebelum ini. Tulisan-tulisan/buku-buku itu berisi pembahasan semisal: Warsy membaca (وَباِلآخِرَةِِ) dengan naql harakat hamzah ke lam sebelumnya dan dengan tarqiq ra’; fulan membaca (وَباِلآخِرَةِِ) dengan hamzah fathah dan setelahnya ra’ mufakhkham; fulan membaca (وَباِلآخِرَةِِ) dengan saktah pada lam sebelum hamzah; fulan membaca (وَباِلآخِرَةِِ) dengan imalah jika waqf. Semua itu kembali kepada cara-cara ketika ditalaqqi dari Rasulullah saw menurut perbedaan kabilah dan perbedaan lahjah.
Ada hal penting disini, apakah semua qiro’at yang diterima dari Rasulullah saw semuanya terkait dengan lahjah saja ataukah ada perkara lain? Sekitar 95% dari qiro’at Al-Qur’an berkaitan dengan perkara kebahasaan, contohnya: (يُؤْمِنُونَ) dan (يُومِِنُونَ); (مُوسَى) dengan fathah dan (مُوسَى) dengan imalah; serta contoh lain yang serupa dengan itu. Kira-kira 5% dari qiro’at berhubungan dengan makna (tidak ada kaitan dengan kabilah maupun lahjah). Dan tidak ada pertentangan makna, bahkan itu semua adalah i`jaz nash qur’ani. Misalnya pada firman Allah, “مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ” ayat itu juga dapat dibaca “مَـٰلِكِ يَوْمِ الدِّينِ” Masalah ini bukan tentang kabilah atau lahjah. Lafaz (المَلِك) -berarti raja- dan (المالك) -berarti pemilik- adalah dua hal yang berbeda. Dapat dikatakan bahwa (الإنسان مالكاً) -orang itu adalah pemilik- dan bukan (مَلِكاً) -raja-. Setiap kita adalah pemilik mobil, rumah, baju, uang, namun bukan raja. Dapat juga dikatakan bahwa (مَلِكاً) -orang itu adalah raja- dan bukan (مالك) -pemilik-. Apakah seorang raja memiliki rakyatnya, atau rumah-rumah, atau jalan-jalan? Seorang raja tidak memiliki, namun menguasai urusan pemerintahan. Maka kata (المَلِك) dibawa artinya kepada makna (الحاكم) -hakim-. Allah berkehendak untuk menyampaikan kemuliaan-Nya sebagai pemilik Hari Pembalasan dan juga sebagai hakim di Hari Pembalasan. Maka di Hari Kiamat tidak ada yang dapat mengaku memiliki sesuatupun, karena semuanya milik Allah; juga tidak ada yang dapat bertindak sebagai pemegang urusan, karena semua urusan ada pada Allah. Allah berfirman, “(Yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatupun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (Lalu Allah berfirman): ‘Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?’ Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (Ghafir: 16) Allah juga berfirman, “Katakanlah: ‘Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan..” (Ali `Imran: 26) Tidak difirmankan “ملِكَ الملك”; akan tetapi “مَـٰلِكَ الْمُلْكِ” Dan firman Allah “مَلِكِ النَّاسِ” (An-Nas: 2) tidak difirmankan “مَالكِ الناس” Seperti halnya ayat “مَـٰلِكَ الْمُلْكِ” menyampaikan bahwa Allah adalah pemilik (المالك); dan ayat “مَلِكِ النَّاسِ” menyampaikan bahwa Allah adalah raja (مَلِك) dalam arti hakim atau pemegang kekuasaan; ayat pada surat Al-Fatihah dalam nash yang sama dan pada saat yang sama menyampaikan bahwa Allah adalah raja sekaligus juga pemilik. Dengan dua macam qiro’at pada kalimat (مـلِكَ) bernilai seperti dua ayat yang satu sama lain maknanya saling menyempurnakan. Tidaklah ada pertentangan maupun konflik diantaranya. Hal ini termasuk dari sekian mukjizat pada nash Al-Qur’an.
Contoh lain pada firman Allah, “وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ” (Al-Baqarah: 10) Pada qiro’at yang lain untuk ayat yang sama dibaca “وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يُكَذِّبُونَ” Hal itu tidak ada hubungan dengan kabilah dan lahjah. Kata (يَكْذِبون) adalah fi`il mudhari` yang mana fi’il madhi-nya (كَذَبَ); sedangkan kata (كَذّبَ) adalah fi`il mudhari` yang mana fi`il madhi-nya (كَذّبَ). Kata (كَذَبَ) dengan takhfif berarti “jika berkata, ia berdusta.” Adapun kata (كذّب) dengan tasydid memiliki makna “ia berkata kepada orang lain: engkau dusta.” Yang satu maksudnya “berdusta”; yang satu lagi maksudnya “mendustakan.” Maka Allah memberitahu kita bahwa mereka adalah kaum yang berkata dusta sekaligus juga jika para rasul datang, mereka mendustakannya. Dengan demikian kedua qiro’at pada nash yang sama ini serupa dengan dua ayat masing-masing mengabarkan makna yang berbeda satu sama lain, akan tetapi tidak bertolak-belakang ataupun paradoks antara dua makna tersebut.
Perhatikan kembali bahwa jenis perbedaan cara membaca ini mungkin tidak melebihi 5% dari keseluruhan qiro’at Al-Qur’an. Adapun sebagian besar perkara qiro’at adalah yang berkaitan dengan dialek. Ada penentang-penentang Islam yang berpendapat bahwa qiro’at ini adalah buatan para qari’. Dengan ini kita bisa balik bertanya: Siapa yang membuat?! Bagaimana membuatnya?! Siapa yang akan membiarkan ada orang membuat-buat sesuatu tentang Al-Qur’an?!
Tugas membawa bacaan (qiro’at) Al-Qur’an secara lisan dari generasi ke generasi itu tetap ada hingga sekarang. Tugas itu diterima oleh qari’ mutakhashshishin. Tidak semua muslim berkewajiban untuk menguasainya. Jika ditanya, apakah kita semua ahli hadits? Apakah kita semua ahli fiqh? Begitu pula tidak semua dari kita adalah qari’. Akan tetapi menjadi fardhu kifayah bagi umat agar ada di antara mereka muhadditsin yang memperhatikan hadits Rasulullah saw karena dikhawatirkan terjadi perubahan atasnya. Juga menjadi fardhu kifayah bagi umat supaya ada di antara mereka qurra’ yang memperhatikan nash Al-Qur’an dengan segala perbedaan qiro’atnya. Mereka adalah bagian dari umat yang bangkit untuk menjaga bagian-bagian syari`at. Fuqoha menjaga bagiannya, ulama ushul menjaga bagiannya, da`i menjaga bagiannya, cendekiawan Islam menjaga bagiannya, ahli ekonomi Islam menjaga bagiannya, ahli politik Islam menjaga bagiannya, semuanya berintegrasi dalam menjaga syari`at dan menjaga ad-dien.
Dengan qiro’at Al-Qur’an ini -dengan rahmat Allah- hingga kini setelah 1400 tahun, masih ada di antara kita qurra’ mutqinun di Syam, di Mesir, di Turki, di Yaman, di Maroko, dan di sejumlah negara muslim. Yang mereka semua bertalaqqi Al-Qur’an dengan semua qiro’atnya dari para guru mereka dengan sanad yang bersambung hingga Rasulullah saw. Silsilah sanad para syaikh yang dikenal namanya, diketahui wafatnya, dan diketahui hidupnya. Dengan kualitas yang seandainya Imam Al-Bukhari melihatnya pasti beliau akan mengambil darinya. Adapun silsilah antara kita dengan Rasulullah saw yang terpendek (sanad `ali) pada zaman ini adalah 27 orang. Cukuplah bagi mereka bahwa Allah telah memilih mereka untuk menerima estafet kitab-Nya dari generasi ke generasi. Allah berfirman, “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami” (Fathir: 32) Perhatikan kata “اصْطَفَيْنَا” (telah Kami pilih) Siapakah yang memilih? Allah-lah yang memilih. Dengan telinganya, para qari` itu telah mendengar (sima`an) Al-Qur’an dari gurunya ketika gurunya melafalkan. Kemudian juga melafalkan di hadapan gurunya (`ardhan) selagi telinga gurunya mendengarkannya. Begitu pulalah gurunya kepada gurunya, lalu kepada guru sebelumnya hingga para sahabat kepada Rasulullah saw. Mutawatir.
Maka angkatlah kepalamu, dan berbanggalah dengan kitab Rabb-mu yang bersandar di kedua tanganmu, yang sampai kepadamu dari Rasulullah saw secara lisan dan tulisan, dengan cara dokumentasi yang agung, yang dikenal dan dipuji oleh para cendekiawan di universitas, yang dibicarakan metodologinya serta objektivitasnya. Apa yang dilakukan oleh para salaf (pendahulu) kita adalah cara dokumentasi dengan derajat yang tinggi. Segala puji bagi Allah. Maka berbahagialah dengan hal ini dan bersyukurlah atas nikmat Allah dengan hadirnya Al-Qur’an di antara kita, shahih tanpa perubahan, komplit tanpa pengurangan. Tidak akan pernah didekati perubahan atau penyelewengan hingga Allah mengizinkannya dan hingga akhir zaman.
Disebutkan di sebagian atsar: Sesungguhnya akhir dari Al-Qur’an -karena sesungguhnya ia terjaga dari perubahan, dan tidak akan datang kiamat kecuali setelahnya-, manusia bangun di pagi hari dan ketika semua yang menghafal bagian dari Al-Qur’an telah melupakannya serta mushhaf hanyalah tersisa lembaran-lembaran kertas, dan Allah telah menelantarkan penduduk bumi karena banyakanya kerusakan pada zaman itu, seolah-olah Allah berkata, “Kalian tidak layak disapa karena kalian telah meninggalkan kalam-Ku maka pecahlah kemarahan-Ku” Dan setiap yang ada pada waktu itu adalah seburuk-buruk makhluq, mereka berkata, “Dahulu leluhur kami pernah berkata, ‘Allah, Allah’ kata yang kami dengar dari mereka, namun kami tidak menyadari dan tidak tau maknanya.” Maka pada kaum itulah terjadi kiamat.
Kita memohon ampunan Allah, dan berjanji untuk bersama-sama menerima kitab Rabb kita, serta membacanya dengan penuh perhatian, karena Allah menurunkannya untuk kita tadabburi. “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapat pelajaran.” (Shad: 29) Oleh karena itu, pertama: membacanya; kedua: mentadabburinya; ketiga: mengamalkannya. Membaca adalah satu langkah saja, kemudian tadabbur. Tidak cukup membaca tanpa tadabbur. Jika sudah membaca dan tadabbur serta memahami, itupun belum cukup. Harus mengamalkannya.
“أسأل الله عز وجل أن يبارك لنا في القرآن الكريم، وأن يُديم علينا هذه النعمة, وأن يُليِّن ألسنتنا بتلاوة القرآن, وأن يجعلنا وإياكم من أهل القرآن الذين هم أهله وخاصَّته, وأن يُطلِق ألسنتنا بتلاوة القرآن الكريم, وأن يجعلنا وإياكم عنده من المقبولين, إنه تعالى سميع قريب مجيب، والحمد لله رب العالمين.”
(selesai walillahil hamdu)
40 HADITS AL-QUR'AN
Hadits 1
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ الْمَكِّيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin `Abbad Al-Makki: telah menceritakan kepada kami Sufyan: dari Suhail dari `Atha’ bin Yazid dari Tamim Ad-Dari; bahwa Nabi shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin, serta kaum awam mereka.”
HR Muslim [82]
Lihat juga: Abu Daud [4293]; Tirmidzi [1849]; Nasa’i [4126], [4127], [4128], [4129]; Ahmad [3111], [7613], [16332], [16333], [16336], [16337]; Darimi [2636]
Hadits 2
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُخَارِقٍ سَمِعْتُ طَارِقًا قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ
إِنَّ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Walid: telah menceritakan kepada kami Syu`bah: dari Mukhariq: saya mendengar Thariq berkata; bahwa `Abdullah berkata, “Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu `alaihi wasallam.”
HR Bukhari [5633]
Lihat juga: Bukhari [6735]; Muslim [1435]; Ahmad [13815], [13909], [14455]; Nasa’i [1560]
Hadits 3
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ زُرَارَةَ عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامٍ قَالَ
سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ أَخْبِرِينِي عَنْ خُلُقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq: dari Ma`mar dari Qatadah dari Zurarah dari Sa`d bin Hisyam berkata; bahwa saya bertanya kepada `A’isyah, “Tolong kabarkan kepadaku tentang akhlak Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam.” `A’isyah menjawab, “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.”
HR Ahmad [24139]
Lihat juga: Muslim [1233]; Ahmad [23134], [23460], [23495], [24139], [24371], [24629]; Abu Daud [1144]; Darimi [1439]; Ibnu Majah [2324]; Nasa’i [1583]
Hadits 4
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ عَدِيٍّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ أَبِي سِنَانٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ عَنْ الْحَارِثِ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمَّتَكَ سَتُفْتَتَنُ مِنْ بَعْدِكَ قَالَ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ سُئِلَ مَا الْمَخْرَجُ مِنْهَا قَالَ الْكِتَابُ الْعَزِيزُ الَّذِي { لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ } مَنْ ابْتَغَى الْهُدَى فِي غَيْرِهِ أَضَلَّهُ اللَّهُ وَمَنْ وَلِيَ هَذَا الْأَمْرَ مِنْ جَبَّارٍ فَحَكَمَ بِغَيْرِهِ قَصَمَهُ اللَّهُ هُوَ الذِّكْرُ الْحَكِيمُ وَالنُّورُ الْمُبِينُ وَالصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ فِيهِ خَبَرُ مَنْ قَبْلَكُمْ وَنَبَأُ مَا بَعْدَكُمْ وَحُكْمُ مَا بَيْنَكُمْ وَهُوَ الْفَصْلُ لَيْسَ بِالْهَزْلِ وَهُوَ الَّذِي سَمِعَتْهُ الْجِنُّ فَلَمْ تَتَنَاهَى أَنْ قَالُوا { إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ } وَلَا يَخْلَقُ عَنْ كَثْرَةِ الرَّدِّ وَلَا تَنْقَضِي عِبَرُهُ وَلَا تَفْنَى عَجَائِبُهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-`Ala’: telah menceritakan kepada kami Zakariya bin `Adi: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah: dari Abu Sinan dari `Amr bin Murrah dari Abu Al-Bakhtari dari Al-Harits dari `Ali; ia berkata, “Dikatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya umatmu akan mengalami fitnah setelahmu.’” `Ali berkata, “Lalu orang itu bertanya lagi kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, atau beliau ditanya, ‘Apa jalan keluar darinya?’ Beliau menjawab, ‘Kitab yang mulia, yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji (QS Fushshilat: 42). Barangsiapa mencari petunjuk pada kitab selainnya, niscaya Allah akan menyesatkannya. Dan siapa memegang urusan ini dari orang-orang yang sombong, lalu ia memutuskan tidak berdasarkan Al-Qur’an, niscaya Allah akan membinasakannya. Ia (Al-Qur’an) adalah peringatan yang bijaksana, cahaya yang terang dan jalan yang lurus. Di dalamnya terdapat kabar tentang orang-orang sebelum kalian dan berita orang-orang setelah kalian, serta ketentuan hukum di antara kalian. Ia adalah kitab yang jelas dan pasti, bukan senda gurau. Ia adalah kitab yang tidak akan habis jika didengar oleh bangsa jin, hingga mereka berkata, Sesungguhnya kami telah mendengar Al-Qur’an yang menakjubkan, yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar (QS Al-Jin: 1-2). Tidak membuat bosan pembacanya karena banyak pengulangan, ti-dak pernah putus pelajarannya dan tidak pernah habis keajaibannya.’”
HR Darimi [3198]
Tahqiq Husein Salim Asad: Isnadnya hasan
Hadits 5
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَامِرِ بْنِ وَاثِلَةَ أَنَّ نَافِعَ بْنَ عَبْدِ الْحَارِثِ لَقِيَ عُمَرَ بِعُسْفَانَ وَكَانَ عُمَرُ يَسْتَعْمِلُهُ عَلَى مَكَّةَ فَقَالَ مَنْ اسْتَعْمَلْتَ عَلَى أَهْلِ الْوَادِي فَقَالَ ابْنَ أَبْزَى قَالَ وَمَنْ ابْنُ أَبْزَى قَالَ مَوْلًى مِنْ مَوَالِينَا قَالَ فَاسْتَخْلَفْتَ عَلَيْهِمْ مَوْلًى قَالَ إِنَّهُ قَارِئٌ لِكِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِنَّهُ عَالِمٌ بِالْفَرَائِضِ
قَالَ عُمَرُ أَمَا إِنَّ نَبِيَّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
Dan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb: telah menceritakan kepada kami Ya`qub bin Ibrahim: telah menceritakan kepadaku bapakku: dari Ibnu Syihab dari `Amir bin Watsilah; bahwasanya Nafi` bin `Abdul Harits, pada suatu ketika bertemu dengan `Umar di `Usfan. Ketika itu, Nafi` bertugas sebagai pejabat di Kota Makkah. `Umar bertanya kepada Nafi`, “Siapa yang Anda angkat sebagai kepala bagi penduduk Wadhi?” Nafi` menjawab, “Ibnu Abza.” `Umar bertanya lagi, “Siapa itu Ibnu Abza?” Nafi` menjawab, “Salah seorang maula (budak yang telah dimerdekakan) di antara beberapa maula kami.” Umar bertanya, “Kenapa maula yang diangkat?” Nafi` menjawab, “Karena ia adalah seorang yang menguasai tentang Kitabullah dan pandai tentang ilmu fara’idh (ilmu tentang pembagian harta warisan).” `Umar berkata, “Adapun sesungguhnya Nabi kalian shallallahu `alaihi wasallam telah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah akan memuliakan suatu kaum dengan kitab ini (Al-Qur’an) dan menghinakan yang lain.’”
HR Muslim [1353]
Lihat juga: Ahmad [226]; Darimi [3231]; Ibnu Majah [214]
Hadits 6
حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بُدَيْلٍ الْعُقَيْلِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَنَسٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنْ النَّاسِ فَقِيلَ مَنْ أَهْلُ اللَّهِ مِنْهُمْ قَالَ أَهْلُ الْقُرْآنِ هُمْ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ
Telah menceritakan kepada kami `Abdushshamad: telah menceritakan kepada kami `Abdurrahman bin Budail Al-`Uqaili: dari bapaknya dari Anas; ia berkata, “Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah mempunyai banyak keluarga dari kalangan manusia.’ Maka dikatakan kepada beliau, ‘Siapakah keluarga Allah dari kalangan mereka?’ Beliau bersabda, ‘Ahlul Qur’an adalah keluarga Allah dan orang-orang khusus-Nya.’”
HR Ahmad [11831]
Lihat juga: Ahmad [11844]
Para perawinya tsiqah `adil dan shaduuq
Hadits 7
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ وَهْبِ بْنِ عَطِيَّةَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا مَرْزُوقُ بْنُ أَبِي الْهُذَيْلِ حَدَّثَنِي الزُّهْرِيُّ حَدَّثَنِي أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْأَغَرُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Wahb bin `Athiyyah: telah menceritakan kepada kami Al-Walid bin Muslim: telah menceritakan kepada kami Marzuq bin Abu Hudzail: telah menceritakan kepadaku Az-Zuhri: telah menceritakan kepadaku Abu `Abdullah Al-Aghar: dari Abu Hurairah; ia berkata, “Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya amal kebaikan yang akan mengiringi seorang mukmin setelah ia meninggal adalah ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, anak shalih yang ia tinggalkan dan Al-Qur’an yang ia wariskan, atau masjid yang ia bangun, atau rumah yang ia bangun untuk ibnu sabil, atau sungai yang ia alirkan (untuk orang lain), atau sedekah yang ia keluarkan dari harta miliknya di masa sehat sewaktu hidupnya; semua itu akan mengiringinya setelah meninggal.”
HR Ibnu Majah [238]
Tahqiq Albani: Hasan
Hadits 8
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ وَأَبُو نُعَيْمٍ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ أَبِي النَّجُودِ عَنْ زِرٍّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُ بِهَا
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan: telah menceritakan kepada kami Abu Daud Al-Hafari dan Abu Nu`aim: dari Sufyan dari `Ashim bin Abi An-Najud dari Zirr dari Abdullah bin `Amr; dari Nabi shallallahu `alaihi wasallam beliau bersabda, “Kelak akan dikatakan kepada ahli Al-Qur’an, ‘Bacalah dan naiklah, kemudian bacalah dengan tartil sebagaimana kamu membacanya ketika di dunia, karena sesungguhnya tempatmu ada pada akhir ayat yang kamu baca.’”
HR Tirmidzi [2838]
Lihat juga: Ahmad [6508]; Abu Daud [1252]
Tahqiq Albani: Hasan
Hadits 9
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ حُيَيِّ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Dawud: telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi`ah: dari Huyai bin `Abdullah dari Abu `Abdurrahman Al-Hubuli dari Abdullah bin `Amr; bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Puasa dan Al-Qur’an kelak pada hari kiamat akan memberi syafa`at kepada seorang hamba. Puasa berkata, ‘Duhai Rabb, aku telah menahannya dari makanan dan nafsu syahwat di siang hari, maka izinkahlah aku memberi syafa`at kepadanya.’ Dan Al-Qur’an berkata, ‘aku telah menahannya dari tidur di malam hari, maka izinkanlah aku memberi syafa`at kepadanya.’” Beliau melanjutkan sabdanya, “Maka mereka berdua (puasa dan Al-Qur’an) pun memberi syafa`at kepadanya.”
HR Ahmad [6337]
Para perawinya tsiqah `adil dan maqbul
Hadits 10
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا بَشِيرُ بْنُ الْمُهَاجِرِ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ تَعَلَّمُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلَا يَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ قَالَ ثُمَّ مَكَثَ سَاعَةً ثُمَّ قَالَ تَعَلَّمُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ وَآلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا الزَّهْرَاوَانِ يُظِلَّانِ صَاحِبَهُمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ غَيَايَتَانِ أَوْ فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ وَإِنَّ الْقُرْآنَ يَلْقَى صَاحِبَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِينَ يَنْشَقُّ عَنْهُ قَبْرُهُ كَالرَّجُلِ الشَّاحِبِ فَيَقُولُ لَهُ هَلْ تَعْرِفُنِي فَيَقُولُ مَا أَعْرِفُكَ فَيَقُولُ لَهُ هَلْ تَعْرِفُنِي فَيَقُولُ مَا أَعْرِفُكَ فَيَقُولُ أَنَا صَاحِبُكَ الْقُرْآنُ الَّذِي أَظْمَأْتُكَ فِي الْهَوَاجِرِ وَأَسْهَرْتُ لَيْلَكَ وَإِنَّ كُلَّ تَاجِرٍ مِنْ وَرَاءِ تِجَارَتِهِ وَإِنَّكَ الْيَوْمَ مِنْ وَرَاءِ كُلِّ تِجَارَةٍ فَيُعْطَى الْمُلْكَ بِيَمِينِهِ وَالْخُلْدَ بِشِمَالِهِ وَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ تَاجُ الْوَقَارِ وَيُكْسَى وَالِدَاهُ حُلَّتَيْنِ لَا يُقَوَّمُ لَهُمَا أَهْلُ الدُّنْيَا فَيَقُولَانِ بِمَ كُسِينَا هَذِهِ فَيُقَالُ بِأَخْذِ وَلَدِكُمَا الْقُرْآنَ ثُمَّ يُقَالُ لَهُ اقْرَأْ وَاصْعَدْ فِي دَرَجَةِ الْجَنَّةِ وَغُرَفِهَا فَهُوَ فِي صُعُودٍ مَا دَامَ يَقْرَأُ هَذًّا كَانَ أَوْ تَرْتِيلًا
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu`aim: telah menceritakan kepada kami Basyir bin Al-Muhajir: telah menceritakan kepadaku `Abdullah bin Buraidah: dari ayahnya yang berkata, “Aku duduk di dekat Nabi shallallahu `alaihi wasallam, aku mendengar beliau bersabda, ‘Pelajarilah Surat Al-Baqarah karena mengambilnya berkah dan meninggalkannya rugi, tidak mampu dikalahkan oleh tukang-tukang sihir.’ Beliau diam sesaat kemudian bersabda, ‘Pelajarilah Surat Al-Baqarah dan Ali `Imran karena keduanya adalah dua bunga yang menaungi pemiliknya pada hari kiamat, keduanya seperti dua awan, naungan atau dua kelompok burung berbaris. Dan sungguh Al-Qur’an akan menemui pemiliknya pada hari kiamat saat kuburnya terbelah, seperti orang kurus, ia berkata, ‘Apa kau mengenaliku?’ Pemilik Al-Quran menjawab, ‘Aku tidak mengenalimu’ Ia berkata, ‘Apa kau mengenaliku?’ Pemilik Al-Qur’an menjawab, ‘Aku tidak mengenalimu.’ Ia berkata, ‘Aku adalah temanmu, Al-Qur’an, yang membuatmu haus di tengah hari dan membuatmu bergadang di malam hari. Setiap pedagang berada dibelakang dagangannya dan engkau hari ini berada dibelakang daganganmu.’ Kemudian ia diberi kerajaan di tangan kanannya dan keabadian di tangan kirinya, di kepalanya dikenakan mutiara kemuliaan dan kedua orang tuanya dikenakan dua hiasan yang tidak bisa dinilai oleh penduduk dunia, lalu keduanya berkata, ‘Kenapa aku dikenakan perhiasan ini?’ Dikatakan pada keduanya, ‘Karena anak kalian berdua mempelajari Al-Quran.’ Kemudian dikatakan padanya, ‘Bacalah dan naiklah ke tingkat surga dan kamar-kamarnya. Ia senantiasa naik selama ia membaca dengan cepat atau dengan tartil.’”
HR Ahmad [21872]
Lihat juga: Ahmad [21898]; Ibnu Majah [3771]; Darimi [3257]
Tahqiq Albani: Hasan pada lafazh Ibnu Majah
Hadits 11
حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي عَلْقَمَةُ بْنُ مَرْثَدٍ سَمِعْتُ سَعْدَ بْنَ عُبَيْدَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
قَالَ وَأَقْرَأَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ فِي إِمْرَةِ عُثْمَانَ حَتَّى كَانَ الْحَجَّاجُ قَالَ وَذَاكَ الَّذِي أَقْعَدَنِي مَقْعَدِي هَذَا
Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal: telah menceritakan kepada kami Syu`bah; ia berkata, telah mengabarkan kepadaku `Alqamah bin Martsad: aku mendengar Sa`d bin Ubaidah: dari Abu `Abdurrahman As-Sulami dari `Utsman radhiallahu `anhu dari Nabi shallallahu `alaihi wasallam; beliau bersabda, “Orang yang paling baik di antara kalian adalah seorang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” Abu `Abdurrahman membacakan (Al-Qur’an) pada masa `Utsman hingga masa Al-Hajjaj. Ia (Abu `Abdurrahman) pun berkata, “Dan hal itulah yang menjadikanku duduk di tempat dudukku ini.”
HR Bukhari [4639]
Lihat juga Tirmidzi [2832]; Ahmad [389]; Darimi [3204]
Hadits 12
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَيْرَةَ عَنْ زَوْجِ دُرَّةَ بِنْتِ أَبِي لَهَبٍ عَنْ دُرَّةَ بِنْتِ أَبِي لَهَبٍ قَالَتْ
قَامَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ النَّاسِ أَقْرَؤُهُمْ وَأَتْقَاهُمْ وَآمَرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَأَنْهَاهُمْ عَنْ الْمُنْكَرِ وَأَوْصَلُهُمْ لِلرَّحِمِ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin `Abdul Malik: telah menceritakan kepada kami Syarik: dari Simak dari `Abdullah bin `Umairah dari Suaminya Durrah binti Abu Lahab dari Durrah binti Abu Lahab dia berkata, “Seorang laki-laki berdiri di hadapan Nabi shallallahu `alaihi wasallam, sedangkan beliau berada di atas mimbar. Laki-laki itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling baik?’ Beliau bersabda, ‘Manusia yang paling baik adalah yang paling mengerti (Kitabullah), paling bertakwa, paling sering amar ma`ruf nahi munkar, dan yang paling sering menjalin silaturrahim.”
HR Ahmad [26165]
Para perawinya tsiqah dan maqbul
Hadits 13
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا حَسَدَ إِلَّا عَلَى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَقَامَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَرَجُلٌ أَعْطَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يَتَصَدَّقُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman: telah mengabarkan kepada kami Syu`aib: dari Az-Zuhri; ia berkata: telah menceritakan kepadaku Salim bin `Abdullah; bahwasanya `Abdullah bin `Umar radhiallahu `anhuma berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak diperbolehkan hasad kecuali pada dua hal, yaitu: Seorang yang diberi karunia Al-Qur’an oleh Allah sehingga ia membacanya (shalat dengannya) di pertengahan malam; Dan seseorang yang diberi karunia harta oleh, sehingga ia menginfakkannya pada malam dan siang hari.’”
HR Bukhari [4637]
Lihat juga: Bukhari [4638], [6691], [6974], [6975]; Tirmidzi [1859]; Ibnu Majah [4199]; Ahmad [4322], [4688], [5361], [6115], [9824]
Hadits 14
و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ عَنْ مُوسَى بْنِ عُلَيٍّ قَالَ سَمِعْتُ أَبِي يُحَدِّثُ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِي الصُّفَّةِ فَقَالَ أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَغْدُوَ كُلَّ يَوْمٍ إِلَى بُطْحَانَ أَوْ إِلَى الْعَقِيقِ فَيَأْتِيَ مِنْهُ بِنَاقَتَيْنِ كَوْمَاوَيْنِ فِي غَيْرِ إِثْمٍ وَلَا قَطْعِ رَحِمٍ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ نُحِبُّ ذَلِكَ قَالَ أَفَلَا يَغْدُو أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَعْلَمُ أَوْ يَقْرَأُ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ وَثَلَاثٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلَاثٍ وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَرْبَعٍ وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنْ الْإِبِلِ
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah: telah menceritakan kepada kami Al-Fadhlu bin Dukain: dari Musa bin `Ulay; ia berkata, saya mendengar bapakku menceritakan dari `Uqbah bin `Amir; ia berkata, “Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam keluar sementara kami sedang berada di Shuffah (tempat berteduhnya para fuqara dari kalangan muhajirin), kemudian beliau bertanya, ‘Siapakah di antara kalian yang suka pergi ke Buthhan atau ke `Aqiq, lalu ia pulang dengan membawa dua ekor unta yang gemuk-gemuk dengan tanpa membawa dosa dan tidak pula memutuskan silaturrahim?’ Maka kami pun menjawab, ‘Ya Rasulullah, kami semua menyukai hal itu.’ beliau melanjutkan sabdanya, ‘Sungguh, salah seorang dari kalian pergi ke masjid lalu ia mempelajari atau membaca dua ayat dari kitabullah `azza wajalla adalah lebih baik baginya daripada dua unta, tiga (ayat) lebih baik dari tiga ekor unta, empat ayat lebih baik daripada empat ekor unta, dan berapapun jumlah unta.’”
HR Muslim [1336]
Lihat juga: Abu Daud [1244]; Ahmad [8252], [16767]
Hadits 15
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At-Tamimi dan Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Muhammad bin Al-’Ala Al-Hamdani -dan lafadh ini milik Yahya-; dia berkata: telah mengabarkan kepada kami, dan berkata yang lainnya, telah menceritakan kepada kami: Abu Mu`awiyah dari Al-A`masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah; dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, ‘Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutup (aib)-nya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim. Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke surga baginya. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid (rumah Allah) untuk membaca Al-Qur’an, melainkan mereka akan diliputi ketenangan, rahmat, dan dikelilingi para malaikat, serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya. Barang siapa yang ketinggalan amalnya, maka nasabnya tidak akan meninggikannya.’”
HR Muslim [4867]
Lihat juga: Abu Daud [1243]; Ahmad [8906]; Darimi [359]
Hadits 16
و حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ وَاللَّفْظُ لِابْنِ الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ قَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ يَقُولُا
قَرَأَ رَجُلٌ الْكَهْفَ وَفِي الدَّارِ دَابَّةٌ فَجَعَلَتْ تَنْفِرُ فَنَظَرَ فَإِذَا ضَبَابَةٌ أَوْ سَحَابَةٌ قَدْ غَشِيَتْهُ قَالَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اقْرَأْ فُلَانُ فَإِنَّهَا السَّكِينَةُ تَنَزَّلَتْ عِنْدَ الْقُرْآنِ أَوْ تَنَزَّلَتْ لِلْقُرْآنِ
Dan telah menceritakan kepada kami Ibnul Mutsanna dan Ibnu Basysyar -sedangkan lafazh ini dari Ibnul Mutsanna- keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja`far: telah menceritakan kepada kami Syu`bah: dari Abu Ishaq; ia berkata: saya mendengar Al-Bara’a berkata, “Seorang laki-laki membaca surat Al-Kahfi, sementara di dalam rumahnya terdapat seekor kuda. Tiba-tiba kuda itu lari, maka ia pun melihat dan ternyata ada awan yang menaunginya. Maka laki-laki itu pun menuturkan kejadian itu kepada Nabi shallallahu `alaihi wasallam. Beliau bersabda, ‘Itu adalah As-Sakinah (ketenangan) yang turun saat (membaca Al-Qur’an) atau untuk (pembaca) Al-Qur’an.’”
HR Muslim [1326]
Lihat juga: Bukhari [3345], [4462]; Ahmad [17744], [17776]
Hadits 17
حَدَّثَنَا هُدْبَةُ بْنُ خَالِدٍ أَبُو خَالِدٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالْأُتْرُجَّةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ وَالَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالتَّمْرَةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلَا رِيحَ لَهَا وَمَثَلُ الْفَاجِرِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْفَاجِرِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ طَعْمُهَا مُرٌّ وَلَا رِيحَ لَهَا
Telah menceritakan kepada kami Hudbah bin Khalid Abu Khalid: telah menceritakan kepada kami Hammam: telah menceritakan kepada kami Qatadah: telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik: dari Abu Musa Al-Asy`ari dari Nabi shallallahu `alaihi wasallam; beliau bersabda, “Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an adalah seperti buah Utrujjah, rasanya lezat dan baunya juga sedap. Sedang orang yang tidak membaca Al-Qur’an adalah seperti buah kurma, rasanya manis, namun baunya tidak ada. Adapun orang fajir yang membaca Al-Qur’an adalah seperti buah Raihanah, baunya harum, namun rasanya pahit. Dan perumpamaan orang fajir yang tidak membaca Al-Qur’an adalah seperti buah Hanzhalah, rasanya pahit dan baunya tidak ada.”
HR Bukhari [4632]
Lihat juga: Bukhari [4671], [5007], [7005]; Muslim [1328]; Abu Daud [4191]; Ahmad [18728], [18789], [18833]; Darimi [3229], [3230]; Ibnu Majah [210]; Nasa’i [4952]; Tirmidzi [2791]
Hadits 18
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ الْحَنَفِيُّ حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ عُثْمَانَ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ مُوسَى قَال سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ كَعْبٍ الْقُرَظِيَّ قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar: telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al-Hanafi: telah menceritakan kepada kami Adh-dhahhak bin `Utsman: dari Ayyub bin Musa; ia berkata: Aku mendengar Muhammad bin Ka`ab Al-Qurazhi berkata: Aku mendengar `Abdullah bin Mas`ud berkata, “Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur’an), maka baginya satu pahala kebaikan dan satu pahala kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali. Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim itu satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf.’”
HR Tirmidzi [2835]
Tahqiq Albani: Shahih
Hadits 19
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ قَالَ سَمِعْتُ زُرَارَةَ بْنَ أَوْفَى يُحَدِّثُ عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامٍ عَنْ عَائِشَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهُوَ حَافِظٌ لَهُ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَمَثَلُ الَّذِي يَقْرَأُ وَهُوَ يَتَعَاهَدُهُ وَهُوَ عَلَيْهِ شَدِيدٌ فَلَهُ أَجْرَانِ
Telah menceritakan kepada kami Adam: telah menceritakan kepada kami Syu`bah: telah menceritakan kepada kami Qatadah; ia berkata: Aku mendengar Zurarah bin Aufa menceritakan: dari Sa`d bin Hisyam dari `A’isyah dari Nabi shallallahu `alaihi wasallam, beliau bersabda, “Perumpamaan orang membaca Al Qur’an sedangkan ia menghafalnya, maka ia akan bersama para malaikat mulia. Sedangkan perumpamaan seorang yang membaca Al-Qur’an dengan tekun, dan ia mengalami kesulitan atasnya, maka dia akan mendapat dua pahala.”
HR Bukhari [4556]
Lihat juga: Muslim [1329]; Abu Daud [1242]; Ahmad [23080], [24197], [24413], [25093], [23526], [24835], [23493], [23644]; Darimi [3234]; Ibnu Majah [3769]; Tirmidzi [2829]
Hadits 20
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ زُرَارَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ قَابُوسَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الرَّجُلَ الَّذِي لَيْسَ فِي جَوْفِهِ مِنْ الْقُرْآنِ شَيْءٌ كَالْبَيْتِ الْخَرِبِ
Telah menceritakan kepada kami `Amr bin Zurarah: telah menceritakan kepada kami Jarir: dari Qabus dari Ayahnya dari Ibnu Abbas; ia berkata, “Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya seorang yang tidak ada sedikit pun bacaan Al-Qur’an di dalam rongga (dadanya), seperti rumah yang hancur.’”
HR Darimi [3172]
Lihat juga: Ahmad [1846]; Tirmidzi [2837]
Tahqiq Husein Salim Asad: Isnadnya hasan
Hadits 21
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْقَارِيُّ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa`id: telah menceritakan kepada kami Ya`qub -yaitu ibnu `Abdurrahman Al-Qariy-: dari Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah; bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, sesungguhnya syetan itu akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah.”
HR Muslim [1300]
Lihat juga: Ahmad [7487], [8089], [8560], [8681]; Tirmidzi [2802]
Hadits 22
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنِي أَبُو مُحَمَّدٍ سَعِيدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجَرْمِيُّ قَدِمَ عَلَيْنَا مِنْ الْكُوفَةِ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأُمَوِيُّ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ ح قَالَ عَبْد اللَّهِ و حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ
تَمَارَيْنَا فِي سُورَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ فَقُلْنَا خَمْسٌ وَثَلَاثُونَ آيَةً سِتٌّ وَثَلَاثُونَ آيَةً قَالَ فَانْطَلَقْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدْنَا عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُنَاجِيهِ فَقُلْنَا إِنَّا اخْتَلَفْنَا فِي الْقِرَاءَةِ فَاحْمَرَّ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَقْرَءُوا كَمَا عُلِّمْتُمْ
Telah menceritakan kepada kami `Abdullah: telah menceritakan kepadaku Abu Muhammad Sa`id Bin Muhammad Al-Jarmi yang datang kepada kami dari Kufah: telah menceritakan kepada kami Yahya Bin Sa`id Al-Umawi: dari Al-A`masy dari `Ashim dari Zirr Bin Hubaisy. (Jalur lain) Berkata `Abdullah bin Ahmad bin Hambal: Dan telah menceritakan kepadaku Sa`id Bin Yahya Bin Sa`id: telah menceritakan kepada kami bapakku: telah menceritakan kepada kami Al-A`masy: dari `Ashim dari Zirr Bin Hubaisy; dia berkata: `Abdullah Bin Mas`ud berkata, “Kami berdebat tentang satu surat dalam Al-Qur’an. Kami berkata, ‘Ada tiga puluh lima ayat.’; ‘Ada tiga puluh enam ayat.’” `Abdullah Bin Mas`ud berkata, “Maka kami pergi kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dan kami dapati `Ali sedang berbincang dengan beliau. Maka kami berkata, ‘Sesungguhnya kami berselisih dalam masalah bacaan.’ Maka merahlah wajah Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dan berkatalah `Ali, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam menyuruh kalian untuk membaca Al-Qur’an sesuai dengan yang diajarkan kepada kalian.’”
HR Ahmad [791]
Para perawinya tsiqah, shaduuq, serta maqbul
Hadits 23
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سُئِلَ أَنَسٌ
كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَتْ مَدًّا ثُمَّ قَرَأَ
}بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {
يَمُدُّ بِبِسْمِ اللَّهِ وَيَمُدُّ بِالرَّحْمَنِ وَيَمُدُّ بِالرَّحِيمِ
Telah menceritakan kepada kami `Amr bin `Ashim: telah menceritakan kepa-da kami Hammam: dari Qatadah; ia berkata: Anas pernah ditanya, “Bagaimankah bacaan Nabi shallallahu `alaihi wasallam?” Ia pun menjawab, “Bacaan beliau adalah panjang (mad).” Lalu ia pun membaca, “Bismillaahirrahmaanirrahiim.” Anas menjelaskan, “Beliau memanjangkan bacaan, ‘Bismillaah’ dan juga memanjangkan bacaan, ‘Arrahmaan’ serta bacaan, ‘Arrahiim.’”
HR Bukhari [4658]
Lihat juga: Nasa’i [1004]; Ahmad [13562]
Hadits 24
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ طَلْحَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْسَجَةَ عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
Telah menceritakan kepada kami `Utsman bin Abu Syaibah: telah mencerita-kan kepada kami Jarir: dari Al-A`masy dari Thalhah dari `Abdurrahman bin `Au-sajah dari Al-Bara’ bin `Azib; ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Perindahlah Al-Qur’an dengan suara kalian.”
HR Abu Daud [1256]
Lihat juga: Ahmad [17763], [17784], [17873], [17960], [17955]; Darimi [3364]; Ibnu Majah [1332]; Nasa’i [1005], [1006]
Tahqiq Albani: Shahih
Hadits 25
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
وَزَادَ غَيْرُهُ يَجْهَرُ بِهِ
Telah menceritakan kepada kami Ishaq: telah menceritakan kepada kami Abu `Ashim: telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij: telah mengabarkan kepada kami Ibnu Syihab dari Abu Salamah dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” Dan yang lain menambahkan (maksudnya): mengeraskan (men-jahr-kan) bacaan.
HR Bukhari [6973]
Lihat juga: Bukhari [6928]; Abu Daud [1257], [1258]; Ahmad [1396], [1430], [1467]; Darimi [1452], [3352]; Ibnu Majah [1327]
Hadits 26
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ بَحْرٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ هَانِئِ بْنِ هَانِئٍ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
كَانَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُخَافِتُ بِصَوْتِهِ إِذَا قَرَأَ وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَجْهَرُ بِقِرَاءَتِهِ وَكَانَ عَمَّارٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا قَرَأَ يَأْخُذُ مِنْ هَذِهِ السُّورَةِ وَهَذِهِ فَذُكِرَ ذَاكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِأَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِمَ تُخَافِتُ قَالَ إِنِّي لَأُسْمِعُ مَنْ أُنَاجِي وَقَالَ لِعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِمَ تَجْهَرُ بِقِرَاءَتِكَ قَالَ أُفْزِعُ الشَّيْطَانَ وَأُوقِظُ الْوَسْنَانَ وَقَالَ لِعَمَّارٍ وَلِمَ تَأْخُذُ مِنْ هَذِهِ السُّورَةِ وَهَذِهِ قَالَ أَتَسْمَعُنِي أَخْلِطُ بِهِ مَا لَيْسَ مِنْهُ قَالَ لَا قَالَ فَكُلُّهُ طَيِّبٌ
Telah menceritakan kepada kami `Ali bin Bahr: telah menceritakan kepada kami `Isa bin Yunus: telah menceritakan kepada kami Zakariya: dari Abu Ishaq dari Hani’ bin Hani’ dari `Ali radhiallahu `anhu; dia berkata, “Abu Bakar radhial-lahu `anhu apabila membaca Al-Qur’an dia membacanya dengan melembutkan suaranya, `Umar radhiallahu `anhu membaca dengan mengeraskan suaranya, sedangkan `Ammar radhiallahu `anhu membaca Al-Qur’an dengan mengambil dari surat ini dan dari surat itu. Kemudian hal itu disampaikan kepada Nabi shallallahu `alaihi wasallam, maka beliau berkata kepada Abu Bakar, ‘Kenapa kamu membaca dengan pelan?’ Dia menjawab, ‘Aku memperdengarkan kepada Dzat yang bermunajat kepada-Nya.’ Beliau bertanya kepada `Umar, ‘Kenapa kamu mengeraskan bacaanmu?’ Dia menjawab, ‘Saya ingin mengusir syetan dan membangunkan orang yang mengantuk.’ Beliau juga bertanya kepada `Ammar, ‘Kenapa kamu mengambil dari surat ini dan dari surat itu?’ Dia menjawab, ‘Apakah anda mendengarku mencampuradukkan sesuatu yang bukan darinya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Semuanya baik.’”
HR Ahmad [823]
Para perawinya tsiqah
Hadits 27
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ وَابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنْ الْمُسْتَوْرِدِ بْنِ الْأَحْنَفِ عَنْ صِلَةَ بْنِ زُفَرَ عَنْ حُذَيْفَةَ
أَنَّهُ صَلَّى إِلَى جَنْبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَرَأَ فَكَانَ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ عَذَابٍ وَقَفَ وَتَعَوَّذَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ وَقَفَ فَدَعَا
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Basyar: dia berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya dan `Abdurrahman dan Ibnu Abu `Adi: dari Syu`bah dari Sulaiman dari Sa`d bin `Ubaidah dari Al-Mustaurid bin Al-Ahnaf dari Shilah bin Zufar dari Hudzaifah; dia berkata bahwa pada suatu malam ia pernah mengerjakan shalat di samping Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, dan beliau membaca surat. Jika beliau melalui bacaan yang berkenaan tentang adzab maka beliau berhenti dan ber-ta`awudz (berlindung), sedangkan jika beliau melalui ayat yang berkenaan dengan rahmat maka beliau berhenti serta berdoa.
HR Nasa’i [998]
Lihat juga: Ibnu Majah [1341]
Tahqiq Albani: Shahih
Hadits 28
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ الضَّرِيرُ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَدَنِيُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْمَعِيلَ بْنِ مُجَمِّعٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ صَوْتًا بِالْقُرْآنِ الَّذِي إِذَا سَمِعْتُمُوهُ يَقْرَأُ حَسِبْتُمُوهُ يَخْشَى اللَّهَ
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu`adz Adh-Dharir: telah menceritakan kepada kami `Abdullah bin Ja`far Al-Madani: telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Isma`il bin Mujammi`: dari Abu Zubair dari Jabir; ia berkata, “Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya orang yang paling baik suaranya dalam membaca Al-Qur’an adalah orang yang apabila kalian mendengarnya sedang membaca (Al-Qur’an), kalian mengiranya ia takut kepada Allah.’”
HR Ibnu Majah [1329]
Lihat juga: Darimi [3353]
Tahqiq Albani: Shahih
Hadits 29
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا أَبُو قُدَامَةَ الْحَارِثُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ أَبِي عِمْرَانَ عَنْ جُنْدَبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا الْقُرْآنَ مَا ائْتَلَفَتْ عَلَيْهِ قُلُوبُكُمْ فَإِذَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ فَقُومُوا
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya: telah mengabarkan kepada kami Abu Qudamah Al-Harits bin `Ubaid: dari Abu `Imran dari Jundab bin `Abdullah Al-Bajali; dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, selama perhatian hatimu terpusat padanya. Apabila kalian bimbang, maka berhentilah.”
HR Muslim [4819]
Lihat juga: Bukhari [4672], [4673], [6816], [6817]; Muslim [4820]; Ahmad [18062]; Darimi [3225], [3226], [3227]
Hadits 30
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ ح و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ وَحَرْمَلَةُ قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ بْنِ يَزِيدَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ وَعُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَخْبَرَاهُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُا
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ أَوْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ فَقَرَأَهُ فِيمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الظُّهْرِ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنْ اللَّيْلِ
Telah menceritakan kepada kami Harun bin Ma`ruf: telah menceritakan kepada kami `Abdullah bin Wahb; (dan diriwayatkan dari jalur lain) Telah menceritakan kepadaku Abu Thahir dan Harmalah; keduanya berkata: telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahab: dari Yunus bin Yazid dari Ibnu Syihab dari Sa’ib bin Yazid dan `Ubaidullah bin `Abdillah, keduanya mengabarkan kepadanya: dari `Abdurrahman bin `Abdul Qariy; katanya: Aku mendengar `Umar bin Khattab mengatakan: Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang ketiduran dari hizib (bacaan Al-Qur’an) atau sesuatu daripadanya, lantas ia membacanya di waktu antara shalat fajar (subuh) dan shalat zhuhur, maka akan dicatat baginya sebagaimana ia membacanya ketika malam hari.”
HR Muslim [1236]
Lihat juga: Abu Daud [1118]; Darimi [1441]; Ibnu Majah [1333]; Nasa’i [1767], [1768]; Tirmidzi [530]
Hadits 31
حَدَّثَنِي الْقَاسِمُ بْنُ زَكَرِيَّاءَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ شَيْبَانَ عَنْ يَحْيَى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَوْلَى بَنِي زُهْرَةَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ وَأَحْسَبُنِي قَدْ سَمِعْتُهُ أَنَا مِنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَأْ الْقُرْآنَ فِي كُلِّ شَهْرٍ قَالَ قُلْتُ إِنِّي أَجِدُ قُوَّةً قَالَ فَاقْرَأْهُ فِي عِشْرِينَ لَيْلَةً قَالَ قُلْتُ إِنِّي أَجِدُ قُوَّةً قَالَ فَاقْرَأْهُ فِي سَبْعٍ وَلَا تَزِدْ عَلَى ذَلِكَ
Telah menceritakan kepadaku Al-Qasim bin Zakariya: telah menceritakan ke-pada kami `Ubaidullah bin Musa: dari Syaiban dari Yahya: dari Muhammad bin `Abdurrahman, maula Bani Zuhrah dari Abu Salamah; ia berkata, -dan saya me-nyangka bahwa (ia berkata)- saya telah mendengarnya dari Abu Salamah dari `Abdullah bin `Amr radhiallahu `anhuma; ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Bacalah (khatamkanlah) Al-Qur’an sekali pada setiap bulannya.” Saya berkata, “Saya masih kuat (dari itu).” Beliau bersabda, “Kalau begitu, pada setiap dua puluh hari sekali.” Saya berkata lagi, “Saya masih kuat (kurang dari itu).” Beliau bersabda, “Kalau begitu, bacalah (khatamkanlah) pada setiap tujuh hari sekali, dan jangan kamu menguranginya lagi.”
HR Muslim [1964]
Lihat juga: Bukhari [4666]; Abu Daud [1180], [1183]; Darimi [3350]
Hadits 32
قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الطَّائِفِيُّ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَوْسٍ الثَّقَفِيِّ عَنْ جَدِّهِ أَوْسِ بْنِ حُذَيْفَةَ قَالَ
كُنْتُ فِي الْوَفْدِ الَّذِينَ أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْلَمُوا مِنْ ثَقِيفٍ مِنْ بَنِي مَالِكٍ أَنْزَلَنَا فِي قُبَّةٍ لَهُ فَكَانَ يَخْتَلِفُ إِلَيْنَا بَيْنَ بُيُوتِهِ وَبَيْنَ الْمَسْجِدِ فَإِذَا صَلَّى الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ انْصَرَفَ إِلَيْنَا وَلَا نَبْرَحُ حَتَّى يُحَدِّثَنَا وَيَشْتَكِي قُرَيْشًا وَيَشْتَكِي أَهْلَ مَكَّةَ ثُمَّ يَقُولُ لَا سَوَاءَ كُنَّا بِمَكَّةَ مُسْتَذَلِّينَ وَمُسْتَضْعَفِينَ فَلَمَّا خَرَجْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ كَانَتْ سِجَالُ الْحَرْبِ عَلَيْنَا وَلَنَا فَمَكَثَ عَنَّا لَيْلَةً لَمْ يَأْتِنَا حَتَّى طَالَ ذَلِكَ عَلَيْنَا بَعْدَ الْعِشَاءِ قَالَ قُلْنَا مَا أَمْكَثَكَ عَنَّا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ طَرَأَ عَلَيَّ حِزْبٌ مِنْ الْقُرْآنِ فَأَرَدْتُ أَنْ لَا أَخْرُجَ حَتَّى أَقْضِيَهُ قَالَ فَسَأَلْنَا أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَصْبَحْنَا قَالَ قُلْنَا كَيْفَ تُحَزِّبُونَ الْقُرْآنَ قَالُوا نُحَزِّبُهُ ثَلَاثَ سُوَرٍ وَخَمْسَ سُوَرٍ وَسَبْعَ سُوَرٍ وَتِسْعَ سُوَرٍ وَإِحْدَى عَشْرَةَ سُورَةً وَثَلَاثَ عَشْرَةَ سُورَةً وَحِزْبَ الْمُفَصَّلِ مِنْ قَافْ حَتَّى يُخْتَمَ
(Ahmad bin Hanbal) berkata: telah menceritakan kepada kami `Abdurrahman bin Mahdi: telah menceritakan kepada kami `Abdullah bin `Abdurrahman Ath-Tha’ifi: dari `Utsman bin `Abdullah bin Aus Ats-Tsaqafi dari kakeknya, Aus bin Hudzaifah yang berkata: Saya berada dalam rombongan utusan yang mendatangi Nabi shallallahu `alaihi wasallam. Mereka telah masuk Islam, dari kabilah Tsaqif, dari Bani Malik. Kami mendatangi kemah besar beliau, yang kemah tersebut berada antara rumahnya dan masjid. Jika beliau telah melaksanakan shalat Isya’ pada akhir malam, beliau mengunjungi kami, dan kami tidak meninggalkan tempat itu sampai beliau menceritakan kepada kami dan mengadukan penderitaannya dari orang Quraisy dan penduduk Makkah. Selanjutnya beliau bersabda, “Tidak sama, kami di Makkah dalam keadaan selalu dihinakan dan dilemahkan. Tatkala kami keluar ke Madinah, terjadilah peperangan. Kemenangan dan kekalahan terjadi silih berganti, terkadang kami menerima kekalahan, namun terkadang memperoleh kemenangan.” Suatu malam beliau tidak mendatangi kami, hal itu berlalu sekian lama sesudah waktu Isya’. (Aus bin Hudzaifah) berkata: kami berkata, “Apa yang menyebabkan anda meninggalkan kami wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Telah turun kepadaku hizb Al-Qur’an, sehingga aku tidak ingin keluar sampai hal (hizb) itu selesai.” (Aus bin Hudzaifah) berkata, “Kami bertanya kepada para sahabat Rasulullah ahallallahu `alaihi wasallam pada pagi harinya, ‘Bagaimana kalian membagi pengelompokan Al-Qur’an?’ Mereka menjawab, ‘Kami membaginya menjadi tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan surat, sebelas surat, tiga belas surat, dan hizb Al-Mufashshal yaitu dari surat Qaf sampai akhir.’”
HR Ahmad [15578]
Lihat juga: Ahmad [18248]
Para perawinya tsiqah hafidz dan maqbul
Hadits 33
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي وَأَبُو مُعَاوِيَةَ ح و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَاللَّفْظُ لَهُ قَالَ أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ شَقِيقٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ
تَعَاهَدُوا هَذِهِ الْمَصَاحِفَ وَرُبَّمَا قَالَ الْقُرْآنَ فَلَهُوَ أَشَدُّ تَفَصِّيًا مِنْ صُدُورِ الرِّجَالِ مِنْ النَّعَمِ مِنْ عُقُلِهِ قَالَ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَقُلْ أَحَدُكُمْ نَسِيتُ آيَةَ كَيْتَ وَكَيْتَ بَلْ هُوَ نُسِّيَ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair: telah menceritakan kepada kami bapakku dan Abu Mu`awiyah. (Dalam jalur lain) Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya -lafazh adalah miliknya-, ia berkata: telah mengabarkan kepada kami Abu Mu`awiyah: dari Al-A`masy dari Syaqiq; ia berkata: `Abdullah (Ibnu Mas`ud) berkata, “Sering-seringlah kalian membaca Mushhaf ini -sepertinya ia juga mengatakan Al-Qur’an-, karena ia lebih cepat hilangnya dari dada para penghafalnya daripada unta dari ikatannya.” `Abdullah berkata: Dan Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam telah bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mengatakan, ‘Saya telah lupa ayat ini dan itu.’ Akan tetapi hendaklah ia mengatakan, ‘Saya telah dilupakan.’”
HR Muslim [1315]
Lihat juga: Bukhari [4651], [4643]; Muslim [1313], [1314], [1316]; Ahmad [3437], [3764], [3816], [3876], [3962], [4062], [4148], [4436], [4529], [4613], [5063], [5653]; Darimi [2627], [3213]; Nasa’i [933], [934]; Tirmidzi [2866]; Ibnu Majah [3773]
Hadits 34
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا مُغِيرَةُ بْنُ زِيَادٍ الْمَوْصِلِيُّ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ نُسَيٍّ عَنْ الْأَسْوَدِ بْنِ ثَعْلَبَةَ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ
عَلَّمْتُ نَاسًا مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ الْقُرْآنَ وَالْكِتَابَةَ فَأَهْدَى إِلَيَّ رَجُلٌ مِنْهُمْ قَوْسًا فَقُلْتُ لَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهَا فَقَالَ إِنْ سَرَّكَ أَنْ تُطَوَّقَ بِهَا طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا
Telah menceritakan kepada kami `Ali bin Muhammad dan Muhammad bin Isma`il, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Waki`: telah menceritakan kepada kami Mughirah bin Ziyad Al-Maushili: dari Ubadah bin Nusay dari Al-Aswad bin Tsa`labah dari `Ubadah bin Ash-Shamit; ia berkata, “Aku mengajari Al-Qur’an dan menulis kepada beberapa orang dari penghuni Ash-Shuffah, lalu seorang dari mereka memberiku hadiah sebuah busur panah. Maka aku pun berkata, ‘Ini bukanlah termasuk harta, dan aku gunakan di jalan Allah.’ Lalu aku tanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Beliau menjawab, ‘Jika engkau suka untuk dikalungi api neraka, maka terimalah.’”
HR Ibnu Majah [2148]
Lihat juga: Abu Daud [2964]; Ahmad [21632]
Tahqiq Albani: Shahih
Hadits 35
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنِ الدَّسْتُوَائِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي رَاشِدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِبْلٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَلَا تَأْكُلُوا بِهِ وَلَا تَسْتَكْثِرُوا بِهِ وَلَا تَجْفُوا عَنْهُ وَلَا تَغْلُوا فِيهِ
Telah menceritakan kepada kami Waki`: dari Ad-Dastuwa’i dari Yahya bin Abu Katsir dari Abu Rasyid dari `Abdurrahman bin Syibl; ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, janganlah kalian ma-kan dengannya, jangan pula memperbanyak (harta) dengannya, jangan terlalu kaku dan janganlah berlebihan di dalamnya.”
HR Ahmad [14986]
Lihat juga: Ahmad [14981], [15110], [15115], [15117]
Para perawinya tsiqah.
Hadits 36
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ خَيْثَمَةَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ
أَنَّهُ مَرَّ عَلَى قَاصٍّ يَقْرَأُ ثُمَّ سَأَلَ فَاسْتَرْجَعَ ثُمَّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلْ اللَّهَ بِهِ فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ يَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan: telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad: telah menceritakan kepada kami Sufyan: dari Al-A`masy dari Khaitsamah dari Al-Hasan dari `Imran bin Hushain; ia melewati tukang cerita tengah membaca Al-Qur’an, setelah itu ia meminta, lalu `Imran kembali kemudian berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa membaca Al-Qur’an, hendaklah meminta kepada Allah dengannya, karena sungguh akan datang suatu kaum yang membaca Al-Qur’an, lalu dengannya mereka meminta-minta kepada orang.’”
HR Tirmidzi [2841]
Tahqiq Albani: Hasan
Hadits 37
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَخْرُجُ فِيكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلَاتَكُمْ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ يَنْظُرُ فِي النَّصْلِ فَلَا يَرَى شَيْئًا وَيَنْظُرُ فِي الْقِدْحِ فَلَا يَرَى شَيْئًا وَيَنْظُرُ فِي الرِّيشِ فَلَا يَرَى شَيْئًا وَيَتَمَارَى فِي الْفُوقِ
Telah menceritakan kepada kami `Abdullah bin Yusuf: telah mengabarkan kepada kami Malik: dari Yahya bin Sa`id dari Muhammad bin Ibrahim bin Al-Harits At-Taimi dari Abu Salamah bin `Abdurrahman dari Abu Sa`id Al-Khudri radhiallahu `anhu; ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Akan ada suatu kaum yang berada ditengah-tengah kalian, dan kalian akan meremehkan shalat kalian bila melihat shalat mereka, begitu juga dengan shaum kalian jika melihat shaum mereka, serta amal kalian jika melihat amal mereka. Dan mereka membaca Al-Qur’an, namun bacaan mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan, mereka keluar dari Ad-Din, sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya. Ia melihat pada ujung panahnya, namun ia tidak mendapatkan sesuatu, kemudian melihat pada lubangnya, juga tak menemukan sesuatu, lalu ia melihat pada bulunya juga tidak melihat sesuatu. Ia pun saling berselisih akan ujung panahnya.”
HR Bukhari [4670]
Lihat juga: Muslim [1771]; Muwatha [428]
Hadits 38
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَبِيبٍ الْحَارِثِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ قَالَ
تَفَرَّقَ النَّاسُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ لَهُ نَاتِلُ أَهْلِ الشَّامِ أَيُّهَا الشَّيْخُ حَدِّثْنَا حَدِيثًا سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Habib Al-Haritsi: telah menceritakan kepada kami Khalid bin Al Harits: telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij: telah menceritakan kepadaku Yunus bin Yusuf: dari Sulaiman bin Yasar; ia berkata: Orang-orang berpencar dari hadapan Abu Hurairah, setelah itu Natil, seorang penduduk Syam, berkata, “Wahai Syaikh, ceritakanlah kepada kami hadits yang pernah kamu dengar dari Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam!” Dia menjawab, “Ya, saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya manusia yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat ialah seseorang yang mati syahid, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, lantas Dia (Allah) bertanya, ‘Apa yang telah kamu lakukan di dunia wahai hamba-Ku? Dia menjawab, ‘Saya berjuang dan berperang demi Engkau ya Allah sehingga saya mati syahid.’ Allah berfirman, ‘Dusta kamu, sebenarnya kamu berperang bukan karena untuk-Ku, melainkan agar kamu disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah menyandang gelar tersebut.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat?’ Dia menjawab, ‘Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca Al-Qur’an demi Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Dan seorang laki-laki yang diberi keluasan rezeki oleh Allah, kemudian dia menginfakkan hartanya semua, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat dengannya?’ Dia menjawab, ‘Saya tidak meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan harta benda tersebut di jalan yang Engkau ridhai.’ Allah berfirman, ‘Dusta kamu, akan tetapi kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.’”
HR Muslim [3527]
Lihat juga: Nasa’i [3086]; Ahmad [7928]
Hadits 39
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا حَبَّانُ بْنُ هِلَالٍ حَدَّثَنَا أَبَانُ حَدَّثَنَا يَحْيَى أَنَّ زَيْدًا حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا سَلَّامٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَآَنِ أَوْ تَمْلَأُ مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالصَّلَاةُ نُورٌ وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَايِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur: telah menceritakan kepada kami Habban bin Hilal: telah menceritakan kepada kami Aban: telah menceritakan kepada kami Yahya: bahwa Zaid telah menceritakan kepadanya: bahwa Abu Sallam telah menceritakan kepadanya: dari Abu Malik Al-Asy`ari; dia berkata, “Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, ‘Bersuci adalah setengah dari iman; alhamdulillah memenuhi timbangan; subhanallah wa alhamdulillah keduanya memenuhi, atau salah satunya memenuhi apa yang ada antara langit dan bumi; shalat adalah cahaya; sedekah adalah petunjuk; kesabaran adalah sinar; dan Al-Qur’an adalah hujjah untuk amal kebaikanmu dan hujjah atas amal kejelekanmu. Setiap manusia berusaha, maka ada orang yang menjual dirinya sehingga membebaskannya atau menghancurkannya.’”
HR Muslim [328]
Lihat juga: Ahmad [21834]; Darimi [651]; Ibnu Majah [276]; Nasa’i [2394]; Tirmidzi [3439]
Hadits 40
حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَنْبَأَنَا فُضَيْلُ بْنُ مَرْزُوقٍ حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ الْجُهَنِيُّ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَصَابَ أَحَدًا قَطُّ هَمٌّ وَلَا حَزَنٌ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي إِلَّا أَذْهَبَ اللَّهُ هَمَّهُ وَحُزْنَهُ وَأَبْدَلَهُ مَكَانَهُ فَرَجًا قَالَ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نَتَعَلَّمُهَا فَقَالَ بَلَى يَنْبَغِي لِمَنْ سَمِعَهَا أَنْ يَتَعَلَّمَهَا
Telah menceritakan kepada kami Yazid: telah memberitakan kepada kami Fudhail bin Marzuq: telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Al-Juhani: dari Al-Qosim bin `Abdurrahman dari ayahnya dari `Abdullah; ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seseorang mengalami kesedihan dan tidak pula duka, lalu ia mengucapkan: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu dan anak hamba wanita-Mu, ubun-ubunku berada di Tangan-Mu, Hukum-Mu berlaku padaku dan ketetapan-Mu padaku adalah adil. Aku memohon kepada-Mu dengan segenap Nama-Mu atau yang Engkau namai diri-Mu dengannya, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu atau engkau turunkan di dalam kitab-Mu atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, agar Engkau menjadikan Al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku dan cahaya dadaku serta penawar kesedihanku dan pelenyap dukaku.’ Kecuali Allah akan menghilangkan kesedihan dan kedukaan serta menggantinya dengan jalan keluar.” Ia berkata: Lalu dikatakan, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mempelajarinya?” Beliau menjawab, “Tentu, orang yang telah mendengarnya semestinya mempelajarinya.”
HR Ahmad [3528]
Lihat juga: Ahmad [4091]
Para perawinya tsiqah dan maqbul
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ الْمَكِّيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin `Abbad Al-Makki: telah menceritakan kepada kami Sufyan: dari Suhail dari `Atha’ bin Yazid dari Tamim Ad-Dari; bahwa Nabi shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin, serta kaum awam mereka.”
HR Muslim [82]
Lihat juga: Abu Daud [4293]; Tirmidzi [1849]; Nasa’i [4126], [4127], [4128], [4129]; Ahmad [3111], [7613], [16332], [16333], [16336], [16337]; Darimi [2636]
Hadits 2
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُخَارِقٍ سَمِعْتُ طَارِقًا قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ
إِنَّ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Walid: telah menceritakan kepada kami Syu`bah: dari Mukhariq: saya mendengar Thariq berkata; bahwa `Abdullah berkata, “Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu `alaihi wasallam.”
HR Bukhari [5633]
Lihat juga: Bukhari [6735]; Muslim [1435]; Ahmad [13815], [13909], [14455]; Nasa’i [1560]
Hadits 3
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ زُرَارَةَ عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامٍ قَالَ
سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ أَخْبِرِينِي عَنْ خُلُقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq: dari Ma`mar dari Qatadah dari Zurarah dari Sa`d bin Hisyam berkata; bahwa saya bertanya kepada `A’isyah, “Tolong kabarkan kepadaku tentang akhlak Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam.” `A’isyah menjawab, “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.”
HR Ahmad [24139]
Lihat juga: Muslim [1233]; Ahmad [23134], [23460], [23495], [24139], [24371], [24629]; Abu Daud [1144]; Darimi [1439]; Ibnu Majah [2324]; Nasa’i [1583]
Hadits 4
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ عَدِيٍّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ أَبِي سِنَانٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ عَنْ الْحَارِثِ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمَّتَكَ سَتُفْتَتَنُ مِنْ بَعْدِكَ قَالَ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ سُئِلَ مَا الْمَخْرَجُ مِنْهَا قَالَ الْكِتَابُ الْعَزِيزُ الَّذِي { لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ } مَنْ ابْتَغَى الْهُدَى فِي غَيْرِهِ أَضَلَّهُ اللَّهُ وَمَنْ وَلِيَ هَذَا الْأَمْرَ مِنْ جَبَّارٍ فَحَكَمَ بِغَيْرِهِ قَصَمَهُ اللَّهُ هُوَ الذِّكْرُ الْحَكِيمُ وَالنُّورُ الْمُبِينُ وَالصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ فِيهِ خَبَرُ مَنْ قَبْلَكُمْ وَنَبَأُ مَا بَعْدَكُمْ وَحُكْمُ مَا بَيْنَكُمْ وَهُوَ الْفَصْلُ لَيْسَ بِالْهَزْلِ وَهُوَ الَّذِي سَمِعَتْهُ الْجِنُّ فَلَمْ تَتَنَاهَى أَنْ قَالُوا { إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ } وَلَا يَخْلَقُ عَنْ كَثْرَةِ الرَّدِّ وَلَا تَنْقَضِي عِبَرُهُ وَلَا تَفْنَى عَجَائِبُهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-`Ala’: telah menceritakan kepada kami Zakariya bin `Adi: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah: dari Abu Sinan dari `Amr bin Murrah dari Abu Al-Bakhtari dari Al-Harits dari `Ali; ia berkata, “Dikatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya umatmu akan mengalami fitnah setelahmu.’” `Ali berkata, “Lalu orang itu bertanya lagi kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, atau beliau ditanya, ‘Apa jalan keluar darinya?’ Beliau menjawab, ‘Kitab yang mulia, yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji (QS Fushshilat: 42). Barangsiapa mencari petunjuk pada kitab selainnya, niscaya Allah akan menyesatkannya. Dan siapa memegang urusan ini dari orang-orang yang sombong, lalu ia memutuskan tidak berdasarkan Al-Qur’an, niscaya Allah akan membinasakannya. Ia (Al-Qur’an) adalah peringatan yang bijaksana, cahaya yang terang dan jalan yang lurus. Di dalamnya terdapat kabar tentang orang-orang sebelum kalian dan berita orang-orang setelah kalian, serta ketentuan hukum di antara kalian. Ia adalah kitab yang jelas dan pasti, bukan senda gurau. Ia adalah kitab yang tidak akan habis jika didengar oleh bangsa jin, hingga mereka berkata, Sesungguhnya kami telah mendengar Al-Qur’an yang menakjubkan, yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar (QS Al-Jin: 1-2). Tidak membuat bosan pembacanya karena banyak pengulangan, ti-dak pernah putus pelajarannya dan tidak pernah habis keajaibannya.’”
HR Darimi [3198]
Tahqiq Husein Salim Asad: Isnadnya hasan
Hadits 5
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَامِرِ بْنِ وَاثِلَةَ أَنَّ نَافِعَ بْنَ عَبْدِ الْحَارِثِ لَقِيَ عُمَرَ بِعُسْفَانَ وَكَانَ عُمَرُ يَسْتَعْمِلُهُ عَلَى مَكَّةَ فَقَالَ مَنْ اسْتَعْمَلْتَ عَلَى أَهْلِ الْوَادِي فَقَالَ ابْنَ أَبْزَى قَالَ وَمَنْ ابْنُ أَبْزَى قَالَ مَوْلًى مِنْ مَوَالِينَا قَالَ فَاسْتَخْلَفْتَ عَلَيْهِمْ مَوْلًى قَالَ إِنَّهُ قَارِئٌ لِكِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِنَّهُ عَالِمٌ بِالْفَرَائِضِ
قَالَ عُمَرُ أَمَا إِنَّ نَبِيَّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
Dan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb: telah menceritakan kepada kami Ya`qub bin Ibrahim: telah menceritakan kepadaku bapakku: dari Ibnu Syihab dari `Amir bin Watsilah; bahwasanya Nafi` bin `Abdul Harits, pada suatu ketika bertemu dengan `Umar di `Usfan. Ketika itu, Nafi` bertugas sebagai pejabat di Kota Makkah. `Umar bertanya kepada Nafi`, “Siapa yang Anda angkat sebagai kepala bagi penduduk Wadhi?” Nafi` menjawab, “Ibnu Abza.” `Umar bertanya lagi, “Siapa itu Ibnu Abza?” Nafi` menjawab, “Salah seorang maula (budak yang telah dimerdekakan) di antara beberapa maula kami.” Umar bertanya, “Kenapa maula yang diangkat?” Nafi` menjawab, “Karena ia adalah seorang yang menguasai tentang Kitabullah dan pandai tentang ilmu fara’idh (ilmu tentang pembagian harta warisan).” `Umar berkata, “Adapun sesungguhnya Nabi kalian shallallahu `alaihi wasallam telah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah akan memuliakan suatu kaum dengan kitab ini (Al-Qur’an) dan menghinakan yang lain.’”
HR Muslim [1353]
Lihat juga: Ahmad [226]; Darimi [3231]; Ibnu Majah [214]
Hadits 6
حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بُدَيْلٍ الْعُقَيْلِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَنَسٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنْ النَّاسِ فَقِيلَ مَنْ أَهْلُ اللَّهِ مِنْهُمْ قَالَ أَهْلُ الْقُرْآنِ هُمْ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ
Telah menceritakan kepada kami `Abdushshamad: telah menceritakan kepada kami `Abdurrahman bin Budail Al-`Uqaili: dari bapaknya dari Anas; ia berkata, “Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah mempunyai banyak keluarga dari kalangan manusia.’ Maka dikatakan kepada beliau, ‘Siapakah keluarga Allah dari kalangan mereka?’ Beliau bersabda, ‘Ahlul Qur’an adalah keluarga Allah dan orang-orang khusus-Nya.’”
HR Ahmad [11831]
Lihat juga: Ahmad [11844]
Para perawinya tsiqah `adil dan shaduuq
Hadits 7
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ وَهْبِ بْنِ عَطِيَّةَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا مَرْزُوقُ بْنُ أَبِي الْهُذَيْلِ حَدَّثَنِي الزُّهْرِيُّ حَدَّثَنِي أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْأَغَرُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Wahb bin `Athiyyah: telah menceritakan kepada kami Al-Walid bin Muslim: telah menceritakan kepada kami Marzuq bin Abu Hudzail: telah menceritakan kepadaku Az-Zuhri: telah menceritakan kepadaku Abu `Abdullah Al-Aghar: dari Abu Hurairah; ia berkata, “Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya amal kebaikan yang akan mengiringi seorang mukmin setelah ia meninggal adalah ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, anak shalih yang ia tinggalkan dan Al-Qur’an yang ia wariskan, atau masjid yang ia bangun, atau rumah yang ia bangun untuk ibnu sabil, atau sungai yang ia alirkan (untuk orang lain), atau sedekah yang ia keluarkan dari harta miliknya di masa sehat sewaktu hidupnya; semua itu akan mengiringinya setelah meninggal.”
HR Ibnu Majah [238]
Tahqiq Albani: Hasan
Hadits 8
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ وَأَبُو نُعَيْمٍ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ أَبِي النَّجُودِ عَنْ زِرٍّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُ بِهَا
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan: telah menceritakan kepada kami Abu Daud Al-Hafari dan Abu Nu`aim: dari Sufyan dari `Ashim bin Abi An-Najud dari Zirr dari Abdullah bin `Amr; dari Nabi shallallahu `alaihi wasallam beliau bersabda, “Kelak akan dikatakan kepada ahli Al-Qur’an, ‘Bacalah dan naiklah, kemudian bacalah dengan tartil sebagaimana kamu membacanya ketika di dunia, karena sesungguhnya tempatmu ada pada akhir ayat yang kamu baca.’”
HR Tirmidzi [2838]
Lihat juga: Ahmad [6508]; Abu Daud [1252]
Tahqiq Albani: Hasan
Hadits 9
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ حُيَيِّ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Dawud: telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi`ah: dari Huyai bin `Abdullah dari Abu `Abdurrahman Al-Hubuli dari Abdullah bin `Amr; bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Puasa dan Al-Qur’an kelak pada hari kiamat akan memberi syafa`at kepada seorang hamba. Puasa berkata, ‘Duhai Rabb, aku telah menahannya dari makanan dan nafsu syahwat di siang hari, maka izinkahlah aku memberi syafa`at kepadanya.’ Dan Al-Qur’an berkata, ‘aku telah menahannya dari tidur di malam hari, maka izinkanlah aku memberi syafa`at kepadanya.’” Beliau melanjutkan sabdanya, “Maka mereka berdua (puasa dan Al-Qur’an) pun memberi syafa`at kepadanya.”
HR Ahmad [6337]
Para perawinya tsiqah `adil dan maqbul
Hadits 10
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا بَشِيرُ بْنُ الْمُهَاجِرِ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ تَعَلَّمُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلَا يَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ قَالَ ثُمَّ مَكَثَ سَاعَةً ثُمَّ قَالَ تَعَلَّمُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ وَآلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا الزَّهْرَاوَانِ يُظِلَّانِ صَاحِبَهُمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ غَيَايَتَانِ أَوْ فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ وَإِنَّ الْقُرْآنَ يَلْقَى صَاحِبَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِينَ يَنْشَقُّ عَنْهُ قَبْرُهُ كَالرَّجُلِ الشَّاحِبِ فَيَقُولُ لَهُ هَلْ تَعْرِفُنِي فَيَقُولُ مَا أَعْرِفُكَ فَيَقُولُ لَهُ هَلْ تَعْرِفُنِي فَيَقُولُ مَا أَعْرِفُكَ فَيَقُولُ أَنَا صَاحِبُكَ الْقُرْآنُ الَّذِي أَظْمَأْتُكَ فِي الْهَوَاجِرِ وَأَسْهَرْتُ لَيْلَكَ وَإِنَّ كُلَّ تَاجِرٍ مِنْ وَرَاءِ تِجَارَتِهِ وَإِنَّكَ الْيَوْمَ مِنْ وَرَاءِ كُلِّ تِجَارَةٍ فَيُعْطَى الْمُلْكَ بِيَمِينِهِ وَالْخُلْدَ بِشِمَالِهِ وَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ تَاجُ الْوَقَارِ وَيُكْسَى وَالِدَاهُ حُلَّتَيْنِ لَا يُقَوَّمُ لَهُمَا أَهْلُ الدُّنْيَا فَيَقُولَانِ بِمَ كُسِينَا هَذِهِ فَيُقَالُ بِأَخْذِ وَلَدِكُمَا الْقُرْآنَ ثُمَّ يُقَالُ لَهُ اقْرَأْ وَاصْعَدْ فِي دَرَجَةِ الْجَنَّةِ وَغُرَفِهَا فَهُوَ فِي صُعُودٍ مَا دَامَ يَقْرَأُ هَذًّا كَانَ أَوْ تَرْتِيلًا
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu`aim: telah menceritakan kepada kami Basyir bin Al-Muhajir: telah menceritakan kepadaku `Abdullah bin Buraidah: dari ayahnya yang berkata, “Aku duduk di dekat Nabi shallallahu `alaihi wasallam, aku mendengar beliau bersabda, ‘Pelajarilah Surat Al-Baqarah karena mengambilnya berkah dan meninggalkannya rugi, tidak mampu dikalahkan oleh tukang-tukang sihir.’ Beliau diam sesaat kemudian bersabda, ‘Pelajarilah Surat Al-Baqarah dan Ali `Imran karena keduanya adalah dua bunga yang menaungi pemiliknya pada hari kiamat, keduanya seperti dua awan, naungan atau dua kelompok burung berbaris. Dan sungguh Al-Qur’an akan menemui pemiliknya pada hari kiamat saat kuburnya terbelah, seperti orang kurus, ia berkata, ‘Apa kau mengenaliku?’ Pemilik Al-Quran menjawab, ‘Aku tidak mengenalimu’ Ia berkata, ‘Apa kau mengenaliku?’ Pemilik Al-Qur’an menjawab, ‘Aku tidak mengenalimu.’ Ia berkata, ‘Aku adalah temanmu, Al-Qur’an, yang membuatmu haus di tengah hari dan membuatmu bergadang di malam hari. Setiap pedagang berada dibelakang dagangannya dan engkau hari ini berada dibelakang daganganmu.’ Kemudian ia diberi kerajaan di tangan kanannya dan keabadian di tangan kirinya, di kepalanya dikenakan mutiara kemuliaan dan kedua orang tuanya dikenakan dua hiasan yang tidak bisa dinilai oleh penduduk dunia, lalu keduanya berkata, ‘Kenapa aku dikenakan perhiasan ini?’ Dikatakan pada keduanya, ‘Karena anak kalian berdua mempelajari Al-Quran.’ Kemudian dikatakan padanya, ‘Bacalah dan naiklah ke tingkat surga dan kamar-kamarnya. Ia senantiasa naik selama ia membaca dengan cepat atau dengan tartil.’”
HR Ahmad [21872]
Lihat juga: Ahmad [21898]; Ibnu Majah [3771]; Darimi [3257]
Tahqiq Albani: Hasan pada lafazh Ibnu Majah
Hadits 11
حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي عَلْقَمَةُ بْنُ مَرْثَدٍ سَمِعْتُ سَعْدَ بْنَ عُبَيْدَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
قَالَ وَأَقْرَأَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ فِي إِمْرَةِ عُثْمَانَ حَتَّى كَانَ الْحَجَّاجُ قَالَ وَذَاكَ الَّذِي أَقْعَدَنِي مَقْعَدِي هَذَا
Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal: telah menceritakan kepada kami Syu`bah; ia berkata, telah mengabarkan kepadaku `Alqamah bin Martsad: aku mendengar Sa`d bin Ubaidah: dari Abu `Abdurrahman As-Sulami dari `Utsman radhiallahu `anhu dari Nabi shallallahu `alaihi wasallam; beliau bersabda, “Orang yang paling baik di antara kalian adalah seorang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” Abu `Abdurrahman membacakan (Al-Qur’an) pada masa `Utsman hingga masa Al-Hajjaj. Ia (Abu `Abdurrahman) pun berkata, “Dan hal itulah yang menjadikanku duduk di tempat dudukku ini.”
HR Bukhari [4639]
Lihat juga Tirmidzi [2832]; Ahmad [389]; Darimi [3204]
Hadits 12
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَيْرَةَ عَنْ زَوْجِ دُرَّةَ بِنْتِ أَبِي لَهَبٍ عَنْ دُرَّةَ بِنْتِ أَبِي لَهَبٍ قَالَتْ
قَامَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ النَّاسِ أَقْرَؤُهُمْ وَأَتْقَاهُمْ وَآمَرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَأَنْهَاهُمْ عَنْ الْمُنْكَرِ وَأَوْصَلُهُمْ لِلرَّحِمِ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin `Abdul Malik: telah menceritakan kepada kami Syarik: dari Simak dari `Abdullah bin `Umairah dari Suaminya Durrah binti Abu Lahab dari Durrah binti Abu Lahab dia berkata, “Seorang laki-laki berdiri di hadapan Nabi shallallahu `alaihi wasallam, sedangkan beliau berada di atas mimbar. Laki-laki itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling baik?’ Beliau bersabda, ‘Manusia yang paling baik adalah yang paling mengerti (Kitabullah), paling bertakwa, paling sering amar ma`ruf nahi munkar, dan yang paling sering menjalin silaturrahim.”
HR Ahmad [26165]
Para perawinya tsiqah dan maqbul
Hadits 13
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا حَسَدَ إِلَّا عَلَى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَقَامَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَرَجُلٌ أَعْطَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يَتَصَدَّقُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman: telah mengabarkan kepada kami Syu`aib: dari Az-Zuhri; ia berkata: telah menceritakan kepadaku Salim bin `Abdullah; bahwasanya `Abdullah bin `Umar radhiallahu `anhuma berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak diperbolehkan hasad kecuali pada dua hal, yaitu: Seorang yang diberi karunia Al-Qur’an oleh Allah sehingga ia membacanya (shalat dengannya) di pertengahan malam; Dan seseorang yang diberi karunia harta oleh, sehingga ia menginfakkannya pada malam dan siang hari.’”
HR Bukhari [4637]
Lihat juga: Bukhari [4638], [6691], [6974], [6975]; Tirmidzi [1859]; Ibnu Majah [4199]; Ahmad [4322], [4688], [5361], [6115], [9824]
Hadits 14
و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ عَنْ مُوسَى بْنِ عُلَيٍّ قَالَ سَمِعْتُ أَبِي يُحَدِّثُ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِي الصُّفَّةِ فَقَالَ أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَغْدُوَ كُلَّ يَوْمٍ إِلَى بُطْحَانَ أَوْ إِلَى الْعَقِيقِ فَيَأْتِيَ مِنْهُ بِنَاقَتَيْنِ كَوْمَاوَيْنِ فِي غَيْرِ إِثْمٍ وَلَا قَطْعِ رَحِمٍ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ نُحِبُّ ذَلِكَ قَالَ أَفَلَا يَغْدُو أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَعْلَمُ أَوْ يَقْرَأُ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ وَثَلَاثٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلَاثٍ وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَرْبَعٍ وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنْ الْإِبِلِ
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah: telah menceritakan kepada kami Al-Fadhlu bin Dukain: dari Musa bin `Ulay; ia berkata, saya mendengar bapakku menceritakan dari `Uqbah bin `Amir; ia berkata, “Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam keluar sementara kami sedang berada di Shuffah (tempat berteduhnya para fuqara dari kalangan muhajirin), kemudian beliau bertanya, ‘Siapakah di antara kalian yang suka pergi ke Buthhan atau ke `Aqiq, lalu ia pulang dengan membawa dua ekor unta yang gemuk-gemuk dengan tanpa membawa dosa dan tidak pula memutuskan silaturrahim?’ Maka kami pun menjawab, ‘Ya Rasulullah, kami semua menyukai hal itu.’ beliau melanjutkan sabdanya, ‘Sungguh, salah seorang dari kalian pergi ke masjid lalu ia mempelajari atau membaca dua ayat dari kitabullah `azza wajalla adalah lebih baik baginya daripada dua unta, tiga (ayat) lebih baik dari tiga ekor unta, empat ayat lebih baik daripada empat ekor unta, dan berapapun jumlah unta.’”
HR Muslim [1336]
Lihat juga: Abu Daud [1244]; Ahmad [8252], [16767]
Hadits 15
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At-Tamimi dan Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Muhammad bin Al-’Ala Al-Hamdani -dan lafadh ini milik Yahya-; dia berkata: telah mengabarkan kepada kami, dan berkata yang lainnya, telah menceritakan kepada kami: Abu Mu`awiyah dari Al-A`masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah; dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, ‘Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutup (aib)-nya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim. Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke surga baginya. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid (rumah Allah) untuk membaca Al-Qur’an, melainkan mereka akan diliputi ketenangan, rahmat, dan dikelilingi para malaikat, serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya. Barang siapa yang ketinggalan amalnya, maka nasabnya tidak akan meninggikannya.’”
HR Muslim [4867]
Lihat juga: Abu Daud [1243]; Ahmad [8906]; Darimi [359]
Hadits 16
و حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ وَاللَّفْظُ لِابْنِ الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ قَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ يَقُولُا
قَرَأَ رَجُلٌ الْكَهْفَ وَفِي الدَّارِ دَابَّةٌ فَجَعَلَتْ تَنْفِرُ فَنَظَرَ فَإِذَا ضَبَابَةٌ أَوْ سَحَابَةٌ قَدْ غَشِيَتْهُ قَالَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اقْرَأْ فُلَانُ فَإِنَّهَا السَّكِينَةُ تَنَزَّلَتْ عِنْدَ الْقُرْآنِ أَوْ تَنَزَّلَتْ لِلْقُرْآنِ
Dan telah menceritakan kepada kami Ibnul Mutsanna dan Ibnu Basysyar -sedangkan lafazh ini dari Ibnul Mutsanna- keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja`far: telah menceritakan kepada kami Syu`bah: dari Abu Ishaq; ia berkata: saya mendengar Al-Bara’a berkata, “Seorang laki-laki membaca surat Al-Kahfi, sementara di dalam rumahnya terdapat seekor kuda. Tiba-tiba kuda itu lari, maka ia pun melihat dan ternyata ada awan yang menaunginya. Maka laki-laki itu pun menuturkan kejadian itu kepada Nabi shallallahu `alaihi wasallam. Beliau bersabda, ‘Itu adalah As-Sakinah (ketenangan) yang turun saat (membaca Al-Qur’an) atau untuk (pembaca) Al-Qur’an.’”
HR Muslim [1326]
Lihat juga: Bukhari [3345], [4462]; Ahmad [17744], [17776]
Hadits 17
حَدَّثَنَا هُدْبَةُ بْنُ خَالِدٍ أَبُو خَالِدٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالْأُتْرُجَّةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ وَالَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالتَّمْرَةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلَا رِيحَ لَهَا وَمَثَلُ الْفَاجِرِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْفَاجِرِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ طَعْمُهَا مُرٌّ وَلَا رِيحَ لَهَا
Telah menceritakan kepada kami Hudbah bin Khalid Abu Khalid: telah menceritakan kepada kami Hammam: telah menceritakan kepada kami Qatadah: telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik: dari Abu Musa Al-Asy`ari dari Nabi shallallahu `alaihi wasallam; beliau bersabda, “Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an adalah seperti buah Utrujjah, rasanya lezat dan baunya juga sedap. Sedang orang yang tidak membaca Al-Qur’an adalah seperti buah kurma, rasanya manis, namun baunya tidak ada. Adapun orang fajir yang membaca Al-Qur’an adalah seperti buah Raihanah, baunya harum, namun rasanya pahit. Dan perumpamaan orang fajir yang tidak membaca Al-Qur’an adalah seperti buah Hanzhalah, rasanya pahit dan baunya tidak ada.”
HR Bukhari [4632]
Lihat juga: Bukhari [4671], [5007], [7005]; Muslim [1328]; Abu Daud [4191]; Ahmad [18728], [18789], [18833]; Darimi [3229], [3230]; Ibnu Majah [210]; Nasa’i [4952]; Tirmidzi [2791]
Hadits 18
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ الْحَنَفِيُّ حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ عُثْمَانَ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ مُوسَى قَال سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ كَعْبٍ الْقُرَظِيَّ قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar: telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al-Hanafi: telah menceritakan kepada kami Adh-dhahhak bin `Utsman: dari Ayyub bin Musa; ia berkata: Aku mendengar Muhammad bin Ka`ab Al-Qurazhi berkata: Aku mendengar `Abdullah bin Mas`ud berkata, “Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur’an), maka baginya satu pahala kebaikan dan satu pahala kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali. Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim itu satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf.’”
HR Tirmidzi [2835]
Tahqiq Albani: Shahih
Hadits 19
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ قَالَ سَمِعْتُ زُرَارَةَ بْنَ أَوْفَى يُحَدِّثُ عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامٍ عَنْ عَائِشَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهُوَ حَافِظٌ لَهُ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَمَثَلُ الَّذِي يَقْرَأُ وَهُوَ يَتَعَاهَدُهُ وَهُوَ عَلَيْهِ شَدِيدٌ فَلَهُ أَجْرَانِ
Telah menceritakan kepada kami Adam: telah menceritakan kepada kami Syu`bah: telah menceritakan kepada kami Qatadah; ia berkata: Aku mendengar Zurarah bin Aufa menceritakan: dari Sa`d bin Hisyam dari `A’isyah dari Nabi shallallahu `alaihi wasallam, beliau bersabda, “Perumpamaan orang membaca Al Qur’an sedangkan ia menghafalnya, maka ia akan bersama para malaikat mulia. Sedangkan perumpamaan seorang yang membaca Al-Qur’an dengan tekun, dan ia mengalami kesulitan atasnya, maka dia akan mendapat dua pahala.”
HR Bukhari [4556]
Lihat juga: Muslim [1329]; Abu Daud [1242]; Ahmad [23080], [24197], [24413], [25093], [23526], [24835], [23493], [23644]; Darimi [3234]; Ibnu Majah [3769]; Tirmidzi [2829]
Hadits 20
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ زُرَارَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ قَابُوسَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الرَّجُلَ الَّذِي لَيْسَ فِي جَوْفِهِ مِنْ الْقُرْآنِ شَيْءٌ كَالْبَيْتِ الْخَرِبِ
Telah menceritakan kepada kami `Amr bin Zurarah: telah menceritakan kepada kami Jarir: dari Qabus dari Ayahnya dari Ibnu Abbas; ia berkata, “Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya seorang yang tidak ada sedikit pun bacaan Al-Qur’an di dalam rongga (dadanya), seperti rumah yang hancur.’”
HR Darimi [3172]
Lihat juga: Ahmad [1846]; Tirmidzi [2837]
Tahqiq Husein Salim Asad: Isnadnya hasan
Hadits 21
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْقَارِيُّ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa`id: telah menceritakan kepada kami Ya`qub -yaitu ibnu `Abdurrahman Al-Qariy-: dari Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah; bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, sesungguhnya syetan itu akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah.”
HR Muslim [1300]
Lihat juga: Ahmad [7487], [8089], [8560], [8681]; Tirmidzi [2802]
Hadits 22
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنِي أَبُو مُحَمَّدٍ سَعِيدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجَرْمِيُّ قَدِمَ عَلَيْنَا مِنْ الْكُوفَةِ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأُمَوِيُّ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ ح قَالَ عَبْد اللَّهِ و حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ
تَمَارَيْنَا فِي سُورَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ فَقُلْنَا خَمْسٌ وَثَلَاثُونَ آيَةً سِتٌّ وَثَلَاثُونَ آيَةً قَالَ فَانْطَلَقْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدْنَا عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُنَاجِيهِ فَقُلْنَا إِنَّا اخْتَلَفْنَا فِي الْقِرَاءَةِ فَاحْمَرَّ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَقْرَءُوا كَمَا عُلِّمْتُمْ
Telah menceritakan kepada kami `Abdullah: telah menceritakan kepadaku Abu Muhammad Sa`id Bin Muhammad Al-Jarmi yang datang kepada kami dari Kufah: telah menceritakan kepada kami Yahya Bin Sa`id Al-Umawi: dari Al-A`masy dari `Ashim dari Zirr Bin Hubaisy. (Jalur lain) Berkata `Abdullah bin Ahmad bin Hambal: Dan telah menceritakan kepadaku Sa`id Bin Yahya Bin Sa`id: telah menceritakan kepada kami bapakku: telah menceritakan kepada kami Al-A`masy: dari `Ashim dari Zirr Bin Hubaisy; dia berkata: `Abdullah Bin Mas`ud berkata, “Kami berdebat tentang satu surat dalam Al-Qur’an. Kami berkata, ‘Ada tiga puluh lima ayat.’; ‘Ada tiga puluh enam ayat.’” `Abdullah Bin Mas`ud berkata, “Maka kami pergi kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dan kami dapati `Ali sedang berbincang dengan beliau. Maka kami berkata, ‘Sesungguhnya kami berselisih dalam masalah bacaan.’ Maka merahlah wajah Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dan berkatalah `Ali, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam menyuruh kalian untuk membaca Al-Qur’an sesuai dengan yang diajarkan kepada kalian.’”
HR Ahmad [791]
Para perawinya tsiqah, shaduuq, serta maqbul
Hadits 23
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سُئِلَ أَنَسٌ
كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَتْ مَدًّا ثُمَّ قَرَأَ
}بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {
يَمُدُّ بِبِسْمِ اللَّهِ وَيَمُدُّ بِالرَّحْمَنِ وَيَمُدُّ بِالرَّحِيمِ
Telah menceritakan kepada kami `Amr bin `Ashim: telah menceritakan kepa-da kami Hammam: dari Qatadah; ia berkata: Anas pernah ditanya, “Bagaimankah bacaan Nabi shallallahu `alaihi wasallam?” Ia pun menjawab, “Bacaan beliau adalah panjang (mad).” Lalu ia pun membaca, “Bismillaahirrahmaanirrahiim.” Anas menjelaskan, “Beliau memanjangkan bacaan, ‘Bismillaah’ dan juga memanjangkan bacaan, ‘Arrahmaan’ serta bacaan, ‘Arrahiim.’”
HR Bukhari [4658]
Lihat juga: Nasa’i [1004]; Ahmad [13562]
Hadits 24
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ طَلْحَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْسَجَةَ عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
Telah menceritakan kepada kami `Utsman bin Abu Syaibah: telah mencerita-kan kepada kami Jarir: dari Al-A`masy dari Thalhah dari `Abdurrahman bin `Au-sajah dari Al-Bara’ bin `Azib; ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Perindahlah Al-Qur’an dengan suara kalian.”
HR Abu Daud [1256]
Lihat juga: Ahmad [17763], [17784], [17873], [17960], [17955]; Darimi [3364]; Ibnu Majah [1332]; Nasa’i [1005], [1006]
Tahqiq Albani: Shahih
Hadits 25
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
وَزَادَ غَيْرُهُ يَجْهَرُ بِهِ
Telah menceritakan kepada kami Ishaq: telah menceritakan kepada kami Abu `Ashim: telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij: telah mengabarkan kepada kami Ibnu Syihab dari Abu Salamah dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” Dan yang lain menambahkan (maksudnya): mengeraskan (men-jahr-kan) bacaan.
HR Bukhari [6973]
Lihat juga: Bukhari [6928]; Abu Daud [1257], [1258]; Ahmad [1396], [1430], [1467]; Darimi [1452], [3352]; Ibnu Majah [1327]
Hadits 26
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ بَحْرٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ هَانِئِ بْنِ هَانِئٍ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
كَانَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُخَافِتُ بِصَوْتِهِ إِذَا قَرَأَ وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَجْهَرُ بِقِرَاءَتِهِ وَكَانَ عَمَّارٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا قَرَأَ يَأْخُذُ مِنْ هَذِهِ السُّورَةِ وَهَذِهِ فَذُكِرَ ذَاكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِأَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِمَ تُخَافِتُ قَالَ إِنِّي لَأُسْمِعُ مَنْ أُنَاجِي وَقَالَ لِعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِمَ تَجْهَرُ بِقِرَاءَتِكَ قَالَ أُفْزِعُ الشَّيْطَانَ وَأُوقِظُ الْوَسْنَانَ وَقَالَ لِعَمَّارٍ وَلِمَ تَأْخُذُ مِنْ هَذِهِ السُّورَةِ وَهَذِهِ قَالَ أَتَسْمَعُنِي أَخْلِطُ بِهِ مَا لَيْسَ مِنْهُ قَالَ لَا قَالَ فَكُلُّهُ طَيِّبٌ
Telah menceritakan kepada kami `Ali bin Bahr: telah menceritakan kepada kami `Isa bin Yunus: telah menceritakan kepada kami Zakariya: dari Abu Ishaq dari Hani’ bin Hani’ dari `Ali radhiallahu `anhu; dia berkata, “Abu Bakar radhial-lahu `anhu apabila membaca Al-Qur’an dia membacanya dengan melembutkan suaranya, `Umar radhiallahu `anhu membaca dengan mengeraskan suaranya, sedangkan `Ammar radhiallahu `anhu membaca Al-Qur’an dengan mengambil dari surat ini dan dari surat itu. Kemudian hal itu disampaikan kepada Nabi shallallahu `alaihi wasallam, maka beliau berkata kepada Abu Bakar, ‘Kenapa kamu membaca dengan pelan?’ Dia menjawab, ‘Aku memperdengarkan kepada Dzat yang bermunajat kepada-Nya.’ Beliau bertanya kepada `Umar, ‘Kenapa kamu mengeraskan bacaanmu?’ Dia menjawab, ‘Saya ingin mengusir syetan dan membangunkan orang yang mengantuk.’ Beliau juga bertanya kepada `Ammar, ‘Kenapa kamu mengambil dari surat ini dan dari surat itu?’ Dia menjawab, ‘Apakah anda mendengarku mencampuradukkan sesuatu yang bukan darinya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Semuanya baik.’”
HR Ahmad [823]
Para perawinya tsiqah
Hadits 27
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ وَابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنْ الْمُسْتَوْرِدِ بْنِ الْأَحْنَفِ عَنْ صِلَةَ بْنِ زُفَرَ عَنْ حُذَيْفَةَ
أَنَّهُ صَلَّى إِلَى جَنْبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَرَأَ فَكَانَ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ عَذَابٍ وَقَفَ وَتَعَوَّذَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ وَقَفَ فَدَعَا
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Basyar: dia berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya dan `Abdurrahman dan Ibnu Abu `Adi: dari Syu`bah dari Sulaiman dari Sa`d bin `Ubaidah dari Al-Mustaurid bin Al-Ahnaf dari Shilah bin Zufar dari Hudzaifah; dia berkata bahwa pada suatu malam ia pernah mengerjakan shalat di samping Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, dan beliau membaca surat. Jika beliau melalui bacaan yang berkenaan tentang adzab maka beliau berhenti dan ber-ta`awudz (berlindung), sedangkan jika beliau melalui ayat yang berkenaan dengan rahmat maka beliau berhenti serta berdoa.
HR Nasa’i [998]
Lihat juga: Ibnu Majah [1341]
Tahqiq Albani: Shahih
Hadits 28
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ الضَّرِيرُ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَدَنِيُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْمَعِيلَ بْنِ مُجَمِّعٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ صَوْتًا بِالْقُرْآنِ الَّذِي إِذَا سَمِعْتُمُوهُ يَقْرَأُ حَسِبْتُمُوهُ يَخْشَى اللَّهَ
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu`adz Adh-Dharir: telah menceritakan kepada kami `Abdullah bin Ja`far Al-Madani: telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Isma`il bin Mujammi`: dari Abu Zubair dari Jabir; ia berkata, “Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya orang yang paling baik suaranya dalam membaca Al-Qur’an adalah orang yang apabila kalian mendengarnya sedang membaca (Al-Qur’an), kalian mengiranya ia takut kepada Allah.’”
HR Ibnu Majah [1329]
Lihat juga: Darimi [3353]
Tahqiq Albani: Shahih
Hadits 29
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا أَبُو قُدَامَةَ الْحَارِثُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ أَبِي عِمْرَانَ عَنْ جُنْدَبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا الْقُرْآنَ مَا ائْتَلَفَتْ عَلَيْهِ قُلُوبُكُمْ فَإِذَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ فَقُومُوا
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya: telah mengabarkan kepada kami Abu Qudamah Al-Harits bin `Ubaid: dari Abu `Imran dari Jundab bin `Abdullah Al-Bajali; dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, selama perhatian hatimu terpusat padanya. Apabila kalian bimbang, maka berhentilah.”
HR Muslim [4819]
Lihat juga: Bukhari [4672], [4673], [6816], [6817]; Muslim [4820]; Ahmad [18062]; Darimi [3225], [3226], [3227]
Hadits 30
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ ح و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ وَحَرْمَلَةُ قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ بْنِ يَزِيدَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ وَعُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَخْبَرَاهُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُا
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ أَوْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ فَقَرَأَهُ فِيمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الظُّهْرِ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنْ اللَّيْلِ
Telah menceritakan kepada kami Harun bin Ma`ruf: telah menceritakan kepada kami `Abdullah bin Wahb; (dan diriwayatkan dari jalur lain) Telah menceritakan kepadaku Abu Thahir dan Harmalah; keduanya berkata: telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahab: dari Yunus bin Yazid dari Ibnu Syihab dari Sa’ib bin Yazid dan `Ubaidullah bin `Abdillah, keduanya mengabarkan kepadanya: dari `Abdurrahman bin `Abdul Qariy; katanya: Aku mendengar `Umar bin Khattab mengatakan: Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang ketiduran dari hizib (bacaan Al-Qur’an) atau sesuatu daripadanya, lantas ia membacanya di waktu antara shalat fajar (subuh) dan shalat zhuhur, maka akan dicatat baginya sebagaimana ia membacanya ketika malam hari.”
HR Muslim [1236]
Lihat juga: Abu Daud [1118]; Darimi [1441]; Ibnu Majah [1333]; Nasa’i [1767], [1768]; Tirmidzi [530]
Hadits 31
حَدَّثَنِي الْقَاسِمُ بْنُ زَكَرِيَّاءَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ شَيْبَانَ عَنْ يَحْيَى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَوْلَى بَنِي زُهْرَةَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ وَأَحْسَبُنِي قَدْ سَمِعْتُهُ أَنَا مِنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَأْ الْقُرْآنَ فِي كُلِّ شَهْرٍ قَالَ قُلْتُ إِنِّي أَجِدُ قُوَّةً قَالَ فَاقْرَأْهُ فِي عِشْرِينَ لَيْلَةً قَالَ قُلْتُ إِنِّي أَجِدُ قُوَّةً قَالَ فَاقْرَأْهُ فِي سَبْعٍ وَلَا تَزِدْ عَلَى ذَلِكَ
Telah menceritakan kepadaku Al-Qasim bin Zakariya: telah menceritakan ke-pada kami `Ubaidullah bin Musa: dari Syaiban dari Yahya: dari Muhammad bin `Abdurrahman, maula Bani Zuhrah dari Abu Salamah; ia berkata, -dan saya me-nyangka bahwa (ia berkata)- saya telah mendengarnya dari Abu Salamah dari `Abdullah bin `Amr radhiallahu `anhuma; ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Bacalah (khatamkanlah) Al-Qur’an sekali pada setiap bulannya.” Saya berkata, “Saya masih kuat (dari itu).” Beliau bersabda, “Kalau begitu, pada setiap dua puluh hari sekali.” Saya berkata lagi, “Saya masih kuat (kurang dari itu).” Beliau bersabda, “Kalau begitu, bacalah (khatamkanlah) pada setiap tujuh hari sekali, dan jangan kamu menguranginya lagi.”
HR Muslim [1964]
Lihat juga: Bukhari [4666]; Abu Daud [1180], [1183]; Darimi [3350]
Hadits 32
قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الطَّائِفِيُّ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَوْسٍ الثَّقَفِيِّ عَنْ جَدِّهِ أَوْسِ بْنِ حُذَيْفَةَ قَالَ
كُنْتُ فِي الْوَفْدِ الَّذِينَ أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْلَمُوا مِنْ ثَقِيفٍ مِنْ بَنِي مَالِكٍ أَنْزَلَنَا فِي قُبَّةٍ لَهُ فَكَانَ يَخْتَلِفُ إِلَيْنَا بَيْنَ بُيُوتِهِ وَبَيْنَ الْمَسْجِدِ فَإِذَا صَلَّى الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ انْصَرَفَ إِلَيْنَا وَلَا نَبْرَحُ حَتَّى يُحَدِّثَنَا وَيَشْتَكِي قُرَيْشًا وَيَشْتَكِي أَهْلَ مَكَّةَ ثُمَّ يَقُولُ لَا سَوَاءَ كُنَّا بِمَكَّةَ مُسْتَذَلِّينَ وَمُسْتَضْعَفِينَ فَلَمَّا خَرَجْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ كَانَتْ سِجَالُ الْحَرْبِ عَلَيْنَا وَلَنَا فَمَكَثَ عَنَّا لَيْلَةً لَمْ يَأْتِنَا حَتَّى طَالَ ذَلِكَ عَلَيْنَا بَعْدَ الْعِشَاءِ قَالَ قُلْنَا مَا أَمْكَثَكَ عَنَّا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ طَرَأَ عَلَيَّ حِزْبٌ مِنْ الْقُرْآنِ فَأَرَدْتُ أَنْ لَا أَخْرُجَ حَتَّى أَقْضِيَهُ قَالَ فَسَأَلْنَا أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَصْبَحْنَا قَالَ قُلْنَا كَيْفَ تُحَزِّبُونَ الْقُرْآنَ قَالُوا نُحَزِّبُهُ ثَلَاثَ سُوَرٍ وَخَمْسَ سُوَرٍ وَسَبْعَ سُوَرٍ وَتِسْعَ سُوَرٍ وَإِحْدَى عَشْرَةَ سُورَةً وَثَلَاثَ عَشْرَةَ سُورَةً وَحِزْبَ الْمُفَصَّلِ مِنْ قَافْ حَتَّى يُخْتَمَ
(Ahmad bin Hanbal) berkata: telah menceritakan kepada kami `Abdurrahman bin Mahdi: telah menceritakan kepada kami `Abdullah bin `Abdurrahman Ath-Tha’ifi: dari `Utsman bin `Abdullah bin Aus Ats-Tsaqafi dari kakeknya, Aus bin Hudzaifah yang berkata: Saya berada dalam rombongan utusan yang mendatangi Nabi shallallahu `alaihi wasallam. Mereka telah masuk Islam, dari kabilah Tsaqif, dari Bani Malik. Kami mendatangi kemah besar beliau, yang kemah tersebut berada antara rumahnya dan masjid. Jika beliau telah melaksanakan shalat Isya’ pada akhir malam, beliau mengunjungi kami, dan kami tidak meninggalkan tempat itu sampai beliau menceritakan kepada kami dan mengadukan penderitaannya dari orang Quraisy dan penduduk Makkah. Selanjutnya beliau bersabda, “Tidak sama, kami di Makkah dalam keadaan selalu dihinakan dan dilemahkan. Tatkala kami keluar ke Madinah, terjadilah peperangan. Kemenangan dan kekalahan terjadi silih berganti, terkadang kami menerima kekalahan, namun terkadang memperoleh kemenangan.” Suatu malam beliau tidak mendatangi kami, hal itu berlalu sekian lama sesudah waktu Isya’. (Aus bin Hudzaifah) berkata: kami berkata, “Apa yang menyebabkan anda meninggalkan kami wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Telah turun kepadaku hizb Al-Qur’an, sehingga aku tidak ingin keluar sampai hal (hizb) itu selesai.” (Aus bin Hudzaifah) berkata, “Kami bertanya kepada para sahabat Rasulullah ahallallahu `alaihi wasallam pada pagi harinya, ‘Bagaimana kalian membagi pengelompokan Al-Qur’an?’ Mereka menjawab, ‘Kami membaginya menjadi tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan surat, sebelas surat, tiga belas surat, dan hizb Al-Mufashshal yaitu dari surat Qaf sampai akhir.’”
HR Ahmad [15578]
Lihat juga: Ahmad [18248]
Para perawinya tsiqah hafidz dan maqbul
Hadits 33
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي وَأَبُو مُعَاوِيَةَ ح و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَاللَّفْظُ لَهُ قَالَ أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ شَقِيقٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ
تَعَاهَدُوا هَذِهِ الْمَصَاحِفَ وَرُبَّمَا قَالَ الْقُرْآنَ فَلَهُوَ أَشَدُّ تَفَصِّيًا مِنْ صُدُورِ الرِّجَالِ مِنْ النَّعَمِ مِنْ عُقُلِهِ قَالَ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَقُلْ أَحَدُكُمْ نَسِيتُ آيَةَ كَيْتَ وَكَيْتَ بَلْ هُوَ نُسِّيَ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair: telah menceritakan kepada kami bapakku dan Abu Mu`awiyah. (Dalam jalur lain) Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya -lafazh adalah miliknya-, ia berkata: telah mengabarkan kepada kami Abu Mu`awiyah: dari Al-A`masy dari Syaqiq; ia berkata: `Abdullah (Ibnu Mas`ud) berkata, “Sering-seringlah kalian membaca Mushhaf ini -sepertinya ia juga mengatakan Al-Qur’an-, karena ia lebih cepat hilangnya dari dada para penghafalnya daripada unta dari ikatannya.” `Abdullah berkata: Dan Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam telah bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mengatakan, ‘Saya telah lupa ayat ini dan itu.’ Akan tetapi hendaklah ia mengatakan, ‘Saya telah dilupakan.’”
HR Muslim [1315]
Lihat juga: Bukhari [4651], [4643]; Muslim [1313], [1314], [1316]; Ahmad [3437], [3764], [3816], [3876], [3962], [4062], [4148], [4436], [4529], [4613], [5063], [5653]; Darimi [2627], [3213]; Nasa’i [933], [934]; Tirmidzi [2866]; Ibnu Majah [3773]
Hadits 34
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا مُغِيرَةُ بْنُ زِيَادٍ الْمَوْصِلِيُّ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ نُسَيٍّ عَنْ الْأَسْوَدِ بْنِ ثَعْلَبَةَ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ
عَلَّمْتُ نَاسًا مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ الْقُرْآنَ وَالْكِتَابَةَ فَأَهْدَى إِلَيَّ رَجُلٌ مِنْهُمْ قَوْسًا فَقُلْتُ لَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهَا فَقَالَ إِنْ سَرَّكَ أَنْ تُطَوَّقَ بِهَا طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا
Telah menceritakan kepada kami `Ali bin Muhammad dan Muhammad bin Isma`il, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Waki`: telah menceritakan kepada kami Mughirah bin Ziyad Al-Maushili: dari Ubadah bin Nusay dari Al-Aswad bin Tsa`labah dari `Ubadah bin Ash-Shamit; ia berkata, “Aku mengajari Al-Qur’an dan menulis kepada beberapa orang dari penghuni Ash-Shuffah, lalu seorang dari mereka memberiku hadiah sebuah busur panah. Maka aku pun berkata, ‘Ini bukanlah termasuk harta, dan aku gunakan di jalan Allah.’ Lalu aku tanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Beliau menjawab, ‘Jika engkau suka untuk dikalungi api neraka, maka terimalah.’”
HR Ibnu Majah [2148]
Lihat juga: Abu Daud [2964]; Ahmad [21632]
Tahqiq Albani: Shahih
Hadits 35
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنِ الدَّسْتُوَائِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي رَاشِدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِبْلٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَلَا تَأْكُلُوا بِهِ وَلَا تَسْتَكْثِرُوا بِهِ وَلَا تَجْفُوا عَنْهُ وَلَا تَغْلُوا فِيهِ
Telah menceritakan kepada kami Waki`: dari Ad-Dastuwa’i dari Yahya bin Abu Katsir dari Abu Rasyid dari `Abdurrahman bin Syibl; ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, janganlah kalian ma-kan dengannya, jangan pula memperbanyak (harta) dengannya, jangan terlalu kaku dan janganlah berlebihan di dalamnya.”
HR Ahmad [14986]
Lihat juga: Ahmad [14981], [15110], [15115], [15117]
Para perawinya tsiqah.
Hadits 36
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ خَيْثَمَةَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ
أَنَّهُ مَرَّ عَلَى قَاصٍّ يَقْرَأُ ثُمَّ سَأَلَ فَاسْتَرْجَعَ ثُمَّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلْ اللَّهَ بِهِ فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ يَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan: telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad: telah menceritakan kepada kami Sufyan: dari Al-A`masy dari Khaitsamah dari Al-Hasan dari `Imran bin Hushain; ia melewati tukang cerita tengah membaca Al-Qur’an, setelah itu ia meminta, lalu `Imran kembali kemudian berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa membaca Al-Qur’an, hendaklah meminta kepada Allah dengannya, karena sungguh akan datang suatu kaum yang membaca Al-Qur’an, lalu dengannya mereka meminta-minta kepada orang.’”
HR Tirmidzi [2841]
Tahqiq Albani: Hasan
Hadits 37
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَخْرُجُ فِيكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلَاتَكُمْ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ يَنْظُرُ فِي النَّصْلِ فَلَا يَرَى شَيْئًا وَيَنْظُرُ فِي الْقِدْحِ فَلَا يَرَى شَيْئًا وَيَنْظُرُ فِي الرِّيشِ فَلَا يَرَى شَيْئًا وَيَتَمَارَى فِي الْفُوقِ
Telah menceritakan kepada kami `Abdullah bin Yusuf: telah mengabarkan kepada kami Malik: dari Yahya bin Sa`id dari Muhammad bin Ibrahim bin Al-Harits At-Taimi dari Abu Salamah bin `Abdurrahman dari Abu Sa`id Al-Khudri radhiallahu `anhu; ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Akan ada suatu kaum yang berada ditengah-tengah kalian, dan kalian akan meremehkan shalat kalian bila melihat shalat mereka, begitu juga dengan shaum kalian jika melihat shaum mereka, serta amal kalian jika melihat amal mereka. Dan mereka membaca Al-Qur’an, namun bacaan mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan, mereka keluar dari Ad-Din, sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya. Ia melihat pada ujung panahnya, namun ia tidak mendapatkan sesuatu, kemudian melihat pada lubangnya, juga tak menemukan sesuatu, lalu ia melihat pada bulunya juga tidak melihat sesuatu. Ia pun saling berselisih akan ujung panahnya.”
HR Bukhari [4670]
Lihat juga: Muslim [1771]; Muwatha [428]
Hadits 38
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَبِيبٍ الْحَارِثِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ قَالَ
تَفَرَّقَ النَّاسُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ لَهُ نَاتِلُ أَهْلِ الشَّامِ أَيُّهَا الشَّيْخُ حَدِّثْنَا حَدِيثًا سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Habib Al-Haritsi: telah menceritakan kepada kami Khalid bin Al Harits: telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij: telah menceritakan kepadaku Yunus bin Yusuf: dari Sulaiman bin Yasar; ia berkata: Orang-orang berpencar dari hadapan Abu Hurairah, setelah itu Natil, seorang penduduk Syam, berkata, “Wahai Syaikh, ceritakanlah kepada kami hadits yang pernah kamu dengar dari Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam!” Dia menjawab, “Ya, saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya manusia yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat ialah seseorang yang mati syahid, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, lantas Dia (Allah) bertanya, ‘Apa yang telah kamu lakukan di dunia wahai hamba-Ku? Dia menjawab, ‘Saya berjuang dan berperang demi Engkau ya Allah sehingga saya mati syahid.’ Allah berfirman, ‘Dusta kamu, sebenarnya kamu berperang bukan karena untuk-Ku, melainkan agar kamu disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah menyandang gelar tersebut.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat?’ Dia menjawab, ‘Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca Al-Qur’an demi Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Dan seorang laki-laki yang diberi keluasan rezeki oleh Allah, kemudian dia menginfakkan hartanya semua, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat dengannya?’ Dia menjawab, ‘Saya tidak meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan harta benda tersebut di jalan yang Engkau ridhai.’ Allah berfirman, ‘Dusta kamu, akan tetapi kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.’”
HR Muslim [3527]
Lihat juga: Nasa’i [3086]; Ahmad [7928]
Hadits 39
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا حَبَّانُ بْنُ هِلَالٍ حَدَّثَنَا أَبَانُ حَدَّثَنَا يَحْيَى أَنَّ زَيْدًا حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا سَلَّامٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَآَنِ أَوْ تَمْلَأُ مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالصَّلَاةُ نُورٌ وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَايِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur: telah menceritakan kepada kami Habban bin Hilal: telah menceritakan kepada kami Aban: telah menceritakan kepada kami Yahya: bahwa Zaid telah menceritakan kepadanya: bahwa Abu Sallam telah menceritakan kepadanya: dari Abu Malik Al-Asy`ari; dia berkata, “Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, ‘Bersuci adalah setengah dari iman; alhamdulillah memenuhi timbangan; subhanallah wa alhamdulillah keduanya memenuhi, atau salah satunya memenuhi apa yang ada antara langit dan bumi; shalat adalah cahaya; sedekah adalah petunjuk; kesabaran adalah sinar; dan Al-Qur’an adalah hujjah untuk amal kebaikanmu dan hujjah atas amal kejelekanmu. Setiap manusia berusaha, maka ada orang yang menjual dirinya sehingga membebaskannya atau menghancurkannya.’”
HR Muslim [328]
Lihat juga: Ahmad [21834]; Darimi [651]; Ibnu Majah [276]; Nasa’i [2394]; Tirmidzi [3439]
Hadits 40
حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَنْبَأَنَا فُضَيْلُ بْنُ مَرْزُوقٍ حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ الْجُهَنِيُّ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَصَابَ أَحَدًا قَطُّ هَمٌّ وَلَا حَزَنٌ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي إِلَّا أَذْهَبَ اللَّهُ هَمَّهُ وَحُزْنَهُ وَأَبْدَلَهُ مَكَانَهُ فَرَجًا قَالَ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نَتَعَلَّمُهَا فَقَالَ بَلَى يَنْبَغِي لِمَنْ سَمِعَهَا أَنْ يَتَعَلَّمَهَا
Telah menceritakan kepada kami Yazid: telah memberitakan kepada kami Fudhail bin Marzuq: telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Al-Juhani: dari Al-Qosim bin `Abdurrahman dari ayahnya dari `Abdullah; ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seseorang mengalami kesedihan dan tidak pula duka, lalu ia mengucapkan: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu dan anak hamba wanita-Mu, ubun-ubunku berada di Tangan-Mu, Hukum-Mu berlaku padaku dan ketetapan-Mu padaku adalah adil. Aku memohon kepada-Mu dengan segenap Nama-Mu atau yang Engkau namai diri-Mu dengannya, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu atau engkau turunkan di dalam kitab-Mu atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, agar Engkau menjadikan Al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku dan cahaya dadaku serta penawar kesedihanku dan pelenyap dukaku.’ Kecuali Allah akan menghilangkan kesedihan dan kedukaan serta menggantinya dengan jalan keluar.” Ia berkata: Lalu dikatakan, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mempelajarinya?” Beliau menjawab, “Tentu, orang yang telah mendengarnya semestinya mempelajarinya.”
HR Ahmad [3528]
Lihat juga: Ahmad [4091]
Para perawinya tsiqah dan maqbul
Langganan:
Komentar (Atom)